Selasa, 13 Desember 2011

BEM Tak Lagi Menjadi Lembaga Mengagumkan

Sebuah lembaga yang dulunya begitu berwibawa, kini wibawanya telah hilang. Begitulah kondisi yang terjadi pada Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Hukum Unhas. Seolah-olah, bagi mahasiswa, lembaga ini tak lagi menarik untuk diperhatikan.

Contoh yang paling konkret adalah ketika terjadi pemilihan umum, hanya satu pasangan calon yang mendaftarkan diri. Dari lebih 1200 Keluarga Mahasiswa yang berhak dipilih, hanya dua orang diantara mereka yang berniat menjadi presiden dan wakil presiden.

Kondisi ini tentu sungguh sangat memiriskan. Jika dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu. Suasana demokrasi, itu sangat terasa dan penuh tekanan layaknya pemilihan kepala daerah atau pemilihan presiden Indonesia. Bahkan, diantara pemilihan BEM di seluruh fakultas di Unhas, boleh dikata fakultas hukum yang paling memukau.

Alhasil, saat ini karena kondisinya hanya satu pasangan pendaftar, demokrasi pun mati ditelan bumi. Tak ada kampanye, tak ada debat, apa lagi penyampaian visi dan misi. Mungkin saja mereka berniat menduduki jabatan tanpa adanya tujuan yang jelas.

Klimaksnya terjadi Senin 12 Desember 2011. Ketika saya kekampus pagi hari, terlihat sebuah tenda dengan beberapa meja dan bilik pemilihan. Saya pun heran dan dalam keragu-raguan. Akhirnya, saya bertanya pada seseorang di tempat itu, yang juga setelah bertanya saya baru tahu dia adalah salah satu anggota Panitia Pemilihan Umum (PPU).

Saya : “Ini ada apa ya?”
PPU : “Ini lagi pemilu raya.”
Saya : “Waw…, kenapa tiba-tiba? Siapa calonnya?”
PPU : “Cuma satu yang mendaftar.”
Saya : “Haah, cuma satu? Terus kenapa ada pemilihan? Kalau DPM ada beberapa calonnya?”
PPU : “Pemilihannya yaitu ya atau tidak, kalau DPM calonnya ada 12.”
Saya : “Maksudnya ya atau tidak itu apa? Konsekuensinya bagaimana?”
PPU : “Pemilih itu hanya mencoblos atau menconterng ya atau tidak. Jika Pemilih dari seluruh keluarga mahasiswa tidak cukup 50% tambah 1 suara maka diulang dengan mencari calon yang baru. Ataupun lebih dari itu, kita lihat lagi yang mana lebih banyak ya atau tidak”
Saya : “Oww…, begitu ya…”

Setelah percakapan itu, saya kemudian pergi sambil tersenyum. Dalam hati berkata, mungkin ini adalah konsep demokrasi baru dalam pemilihan yaitu demokrasi “ya” atau “tidak”. Sungguh aneh!!!!

Akhirnya, pada hari itu juga setelah pemilihan dilanjutkan dengan perhitungan suara. Mayoritas memilih “ya”. Akan tetapi, suara yang masuk tidak melebihi dari 50% suara, bahkan hanya sekitar 20% suara.

Anehnya lagi, ketentuan yang saya bincangkan dengan PPU sebelumnya dihiraukan. PPU seolah-olah tidak punya aturan dan tidak tahu akan hukum. Mereka langsung menetapkan satu-satunya pasangan calon yang mendaftar menjadi Presiden dan Wakil Presiden BEM terpilih.

Pertanyaannya adalah: “Apakah dia sah?”

Secara hukum, dia tentu tidak sah meskipun ada penetapan PPU. Dia tidak mendapat dukungan mayoritas mahasiswa, namun hanya sebagian kecil golongan. Harusnya PPU tahu akan hal ini dan tidak melakukan tindakan yang hanya memperlihatkan kurangnya pengetahuan mereka tentang hukum utamanya konstitusi keluarga mahasiswa hukum unhas itu sendiri.

(Catatan: tulisan ini tidak dibuat karena adanya unsur sentiment, unsur pribadi, ataupun unsur lain yang sifatnya negatif. Akan tetapi, ini adalah bentuk analisis terhadap kondisi demokrasi di kampus ditinjau dari sudut pandang hukum).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar