Minggu, 06 Oktober 2013

Demokrasi: Berpendapat

"Berpendapat dalam demokrasi adalah keniscayaan. Begitu pula dengan menanggapi pendapat. Etikanya adalah pendapat yang dikemukakan secara lisan, mestinya ditanggapi pula secara lisan. Pendapat secara tertulis, mestinya ditanggapi pula secara tertulis. Sebuah kesalahan ketika pendapat tertulis atau lisan, kemudian dibalas dengan kekerasan." (Mushawwir Arsyad)

Selasa, 16 Juli 2013

Jadwal Motogp 2013

Bagi setiap penikmat MotoGP!!!
Mungkin banyak diantara kita yang terlewat aksi-aksi balapan motor di kelas para raja, karena bisa jadi tidak tahu jadwal balapan secara pasti.
Kali ini saya ingin memosting jadwal MotoGP seri 2013,


Jumat, 12 Juli 2013

Perbedaan antara Paten dan Desain Industri

Paten dan Desain Industri adalah dua bagian dari Hak Kekayaan Intelektual yang memiliki perbedaan mendasar, meskipun terkadang dalam suatu barang/produk mengandung paten dan desain industri. 

Paten adalah hak ekslusif yang diberikan oleh negara atas hasil invensi di bidang teknologi. Invensi mengandung ide yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses. Sedangkan, desain industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan produk, barang , komoditas industri, atau kerajinan tangan.

Dari definisi singkat di atas, maka dapat ditarik perbedaan-perbedaan antara paten dan desain industri. Paten adalah penemuan atau pengembangan di bidang teknologi yang untuk memecahkan permasalahan tertentu, sedangkan desain industri berkaitan dengan tampilan luar dari suatu barang yang bisa menimbulkan nilai keindahan/estetis. Selain itu, paten dapat dituangkan dalam bentuk produk dan proses, sedangkan pada desain industri dituangkan hanya pada barang atau produk.

Perbedaan antara Perlindungan Varietas Tanaman dengan Indikasi Geografis

Varietas tanaman dan indikasi geografis adalah dua bentuk hak kekayaan intelektual yang mirip tapi berbeda, hal ini dapat terlihat dari beberapa hal:
  1. Karena memiliki ruang lingkup yang berbeda, maka keduanya diatur oleh dua undang-undang yang berbeda. Perlindungan Varietas Tanaman diatur melalui UU No. 29 Tahun 2000, sedangkan Indikasi Geografis dikategorikan ke dalam merek yang memiliki ruang lingkup khusus, sehingga diatur dalam UU No. 15 Tahun 2001.
  2. Yang menjadi objek perlindungan dalam Varietas Tanaman adalah benih yang dapat dikembangbiakkan, sedang Indikasi Geografis yang dilindungi adalah hasil dari tanaman, tidak hanya itu, Indikasi Geografis juga tidak terbatas pada tanaman saja, melainkan juga hasil karya lain, misalnya sarung mandar di Wajo, perahu pinisi di Bulukumba, dan sebagainya.
  3. Benih yang dilindungi dalam varietas tanaman memiliki hasil produksi yang stabil, jika ditanam di daerah lain hasilnya akan tetap sama dengan induknya, sedangkan pada tanaman yang dilindungi oleh Indikasi Geografis tidak dapat menghasilkan tanaman yang sama jika ditanam di daerah lain. Hal ini dikarenakan adanya faktor geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi keduanya yang tidak dimiliki atau sama dengan di daerah lain.
  4. Yang memohonkan atau yang memegang hak varietas tanaman adalah orang atau badan hukum, sedangkan pada Indikasi Geografis yang memohonkan perlindungannya atau yang memegang hak adalah lembaga masyarakat atau kelompok tertentu, sehingga berbeda dengan Varietas Tanaman.
  5. Karena yang memegang hak orang atau badan hukum maka perlindungan varietas tanaman terbatas yaitu untuk tanaman semusim 20 tahun dan tanaman tahunan 25 tahun, sedangkan untuk Indikasi Geografis itu yang memegang hak adalah kelompok masyarakat maka tidak memiliki batasan waktu perlindungan, yaitu selama ciri dan/atau kualitas yang menjadi dasar bagi diberikannya perlindungan atas indikasi geografis masih ada.

Selasa, 02 Juli 2013

Konsep Pemilikan Tanah Berdasarkan Hukum Barat

Konsep penguasaan dan pemilikan tanah menurut hukum barat berlandaskan pada konsepsi yang liberal yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada individu guna memenuhi kebutuhan masing-masing. Keadaan itu menimbulkan paham individualistik yang ajarannya menekankan pada nilai utama pribadi, sehingga masyarakat hanya merupakan satu sarana untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi. Individualisme yang didasari pada konsepsi liberal seperti di Eropa Barat memandang hak milik perorangan sebagai hak yang tertinggi. Demikian pula, dengan hak milik atas tanah yang merupakan hak penguasaan tanah tertinggi yang disebut dengan Hak Eigendom (eigendom recht). Menurut konsep hukum hukum tanah barat, hak eigendom atas tanah merupakan hak primer yang bersumber pada kedudukan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang mempunyai hak untuk menikmati dan memiliki kekayaan alam yang diciptakan oleh Tuhan baginya.[1]

Hukum tanah barat bersumber dari Burgerlijk Wetboek atau beberapa literatur Indonesia menyebutnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Berhubungan dianutnya asas konkordansi, maka Burgerlijk Wetboek yang berlaku di Belanda kemudian juga diberlakukan di Indonesia. Pengertian hak eigendom dalam Burgerlijk Wetboek adalah hak yang paling sempurna. Dalam sistem hukum tanah barat yang berkonsepsi individualistik, maka hak penguasaan atas tanah yang tertinggi ini adalah hak milik pribadi yang disebut dengan hak eigendom.

Setiap orang yang mempunyai hak eigendom atas tanah dapat berbuat apa saja atas tanah tersebut, baik untuk menjual, menggadaikan, menghibahkan, bahkan merusakkannya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau hak orang lain. Selain itu, berdasarkan konsepsi hukum barat, pada saat tanah masih cukup dan dianggap merupakan tanah tidak bertuan (res nullius), maka atas dasar hak asasi yang dikaruniakan kepadanya oleh sang pencipta, setiap individu dengan cara menguasai secara fisik (occupasi) sebidang tanah tak bertuan, akan menciptakan hubungan hukum antara dirinya dengan tanah tersebut, kemudian menjadi haknya atau eigendomnya.

Konsep hukum barat tersebut mempengaruhi sistem penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia, khususnya pada masa penjajahan Belanda. Dalam masa penjajahan ini, peraturan hukum pertanahan yang diberlakukan sangat dipengaruhi oleh Hukum Barat termasuk peraturan hukum pertanahan. Sebagaimana dipahami, bahwa sifat hukum barat adalah individualistik, maka hukum yang diberlakukan di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) juga bersifat individualistis, yaitu sistem hukum yang berasal dari masyarakat Eropa, khususnya dari Perancis yang kapitalistik yang tercermin dalam Code Civil Perancis. Oleh karena, Belanda pernah dijajah oleh Perancis, maka akibatnya Code Civil Perancis ini pun diberlakukan di Belanda pada tahun 1811 hingga 1 Oktober 1838. Code Civil itu menegaskan bahwa hak milik itu memberikan kemampuan yang seluas-luasnya untuk menikmati benda yang merupakan hak miliknya. Di samping itu memberikan pula penguasaan yang semutlak-mutlaknya atas benda yang dimilikinya.[2]

Secara historis, bahwa ketika Bangsa Belanda untuk pertama kalinya datang ke Indonesia dalam misi perdagangan, mereka belum memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan penguasaan tanah. Barulah ketika Inggris datang ke Indonesia yang kemudian mencoba mencari pembenaran (jutification) secara ilmiah mengenai hubungan kekuasaan mereka dengan tanah di Indonesia, dengan menggunakan suatu teori yang disebut dengan “Teori Domein”. Teori Domein ini untuk pertama kalinya diterapkan oleh Thomas Stamford Raffles. Teori ini diterapkan untuk memberikan landasan hukum dan mempertanggungjawabkan pungutan (pajak) yang diadakannya pada waktu menjabat Lieutenant Governor (Gubernur Jenderal) di Jawa pada masa pemerintahan sisipan Inggris Tahun 1811-1816.[3]

Raffles sebagai gubernur jenderal menginginkan agar langkah politiknya memperoleh pembenaran, baik secara hukum maupun secara ilmiah, maka Raffles memerintahkan kepada Collin Mackenzei untuk mengadakan penelitian mengenai pemilikan tanah di daerah-daerah swapraja di Jawa. Hasilnya menunjukkan bahwa ternyata semua tanah yang dikuasai oleh rakyat adalah milik raja, sedangkan rakyat hanya sekadar memakai dan menggarapnya. Atas dasar hasil laporan itu, maka Raffles menyatakan bahwa tanah-tanah di daerah kekuasaannya semuanya adalah milik Raja di Jawa. [4]

Dengan demikian, karena kekuasaan telah berpindah dari Pemerintah Inggris, maka sebagai akibat hukumnya hak-hak pemilikan atas tanah tersebut dengan sendirinya beralih pula kepada Raja Inggris. Oleh karena itu, tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan oleh rakyat itu bukan miliknya, melainkan milik Raja Inggris, sehingga mereka wajib memberikan sesuatu kepada Raja Inggris sebagaimana sebelumnya diberikan kepada Raja-Raja mereka sendiri. Hal yang menjadi kewajiban untuk diberikan tersebut dikenal dengan istilah landrente Raffles.[5]

Sistem penarikan pajak bumi yang diterapkan oleh Raffles dengan nama landrente itu tidak langsung dibebankan kepada petani, tetapi pada desa. Kepala Desa diberikan kekuasaan untuk menetapkan jumlah sewa yang wajib dibayar oleh tiap petani. Selain itu, Kepala Desa juga diberikan kekuasaan penuh dengan mengadakan perubahan pada pemilikan tanah oleh para petani, jika hal itu diperlukan guna memperlancar landrente. Dalam hal ini, Kepala Desa berwenang untuk mengurangi luasnya atau mencabut penguasaanya, jika petani yang bersangkutan tidak mau atau tidak mampu membayar landrente yang ditetapkan baginya. Tanah yang bersangkutan akan diberikan kepada petani lain yang sanggung untuk memenuhinya.

Teori Domein Raffles ini kemudian diteruskan penerapannya oleh Belanda, terutama untuk membenarkan negara memberikan tanah kepada pihak swasta untuk keperluan memperluas usaha dagangnya. Landasan hukum penerapan teori domein adalah Agrarische Wet yaitu suatu undang-undang keagrariaann yang dibuat di Negeri Belanda yang diundangkan dalam Staatsblad 1870 No. 55 (disingkat dengan S.1870-55) yang bertujuan untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada pihak swasta untuk berkembang di Hindia Belanda, khususnya dalam hal penguasaan hak atas tanah. Berdasarkan ketentuan Agrarische Wet tersebut, maka diundangkanlah suatu peraturan pelaksanaanya dalam suatu Koningklijk Besluit yang lebih dikenal dengan Keputusan Agraria (Agrarische Besluit) yang diundangkan dalam Staatsblad 1870 No. 118.[6]

Boedi Harsono menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam Pasal 1 Agrarische Besluit dimuat suatu pernyataan asas yang sangat penting bagi perkembangan dan pelaksaan Hukum Tanah Administrasi Hindia Belanda. Asas tersebut dinilai kurang kurang menghargai, bahkan mengebiri/”memperkosa” hak-hak rakyat atas tanah yang bersumber pada Hukum Adat. Asas tersebut dikenal dengan “Asas Domein Verklaring” bahwa:

“behoundens opvolging van de tweede en derde bepaling der voormelde wet, blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle ground, waarop niet door anderen regt van eigendom wordt bewezen, domein van de Staat is.”

Jika diterjemahkan, maksudnya adalah dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 2 dan 3 Agrarische Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein (milik) negara.[7]

Pernyataan domein dalam Agrarische Besluit yang semula hanya diberlakukan di Jawa dan Madura, tetapi kemudian diberlakukan juga untuk daerah pemerintahan langsung di luar Jawa dan Madura, dengan suatu ordonansi yang diundangkan dalam S.1875-199a. Sehubungan dengan itu, dalam perundang-undangan agraria dikenal “Pernyataan Domein yang Umum” (Algemene Domein Verklaring). Dengan pernyataan domein ini, maka negara sebagai pemilik tanah, boleh menyewakan tanah kepada pemilik modal swasta bagi usaha perkebunan besar berdasarkan Burgerlijk Wetboek (BW). 

Selain pernyataan domein yang berlaku umum, juga dikenal “Pernyataan Domein yang Khusus” (Special Domein Verklaring) yang menentukan bahwa semua tanah kosong dalam daerah pemerintahan langsung adalah domein negara, kecuali diusahakan oleh penduduk asli dengan hak-hak yang bersumber pada hak membuka hutan. Mengenai tanah-tanah negara ini, kewenangan untuk memutuskan pemberiannya kepada pihak lain hanya ada pada pemerintah, tanpa mengurangi hak yang sudah dipunyai oleh penduduk untuk membukanya.[8]

Berdasarkan asas domein verklaring, maka negara dalam memberikan hak-hak tertentu kepada perusahaan-perusahaan swasta berupa hak erfpacht, opstal, bruiklen, dan lainnya bertindak sebagai pemilik perdata, bukan bertindak sebagai penguasa. Demikian juga terhadap hak eigendom, negara tidak memberikan hak tersebut kepada pemohon, tetapi hak eigendom negara dipindahkan kepada pihak yang memintanya dengan pembayaran harganya kepada negara. Dalam konteks asas domein verklaring, pembuktian kepemilikan hak atas tanah adalah ketika seseorang atau badan hukum berperkara dengan negara mengenai soal kepemilikan tanah, maka yang bersangkutanlah yang berkewajiban untuk membuktikannya, bahwa tanah sengketa adalah miliknya, termasuk ketika negara yang mengajukan gugatan.

Kedudukan hak milik dalam hukum barat yang disebut dengan hak eigendom tersebut sangat kuat. Dalam Buku II Burgerlijk Wetboek yang mengatur hukum benda yang setelah berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peratuaran Dasar-Dasar Pokok Agraria (UUPA) sudah dinyatakan tidak berlaku lagi sepanjang mengenai bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan mengenai hipotik. Pasal 570 BW menegaskan bahwa hak eigendom adalah hak untuk leluasa menikmati kegunaan suatu benda, dan untuk berbuat bebas terhadap benda yang bersangkutan dengan kekuasaan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya, yang ditetapkan oleh pengusa yang berwenang dan tidak mengganggu hak-hak pihak lain, semuanya itu terkecuali pencabutan hak-hak untuk kepentingan umum, dengan pemberian ganti kerugian yang layak menurut peraturan perundang-undangan.[9]

Kewenangan individual yang dimiliki demikian luas dan kuat, sehingga terhadap hak milik atas tanah yang mereka punyai bersifat mutlak (absolut) dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun juga, kecuali apabila hak atas tanah itu akan dimanfaatkan untuk kepentingan umum dengan memberikan ganti kerugian yang layak. 

Footnotes:

[1] Farida Patittingi, 2012, Dimensi Hukum Pulau-Pulau Kecil di Indonesia, Yogyakarta: Rangkang Education, hlm. 95. 
[2] Ibid., hlm. 96. 
[3] Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Op.Cit., hlm. 48-49. 
[4] Ibid. 
[5] Ibid. 
[6] Ibid., hlm. 50. 
[7] Ibid., hlm. 42-43. 
[8] Ibid. 
[9] Sofwan dan Sri Sudewi, 1981, Hukum Perdata: Hukum Benda, Yogyakarta: Liberty, hlm. 42.

Konsep Pemilikan Tanah Berdasarkan Hukum Adat

Konsepsi atau falsafah yang mendasari hukum adat mengenai tanah adalah konsepsi komunalistik religius. Hal itu sejalan dengan pandangan hidup masyarakat Indonesia asli dalam memandang hubungan antara manusia pribadi dengan masyarakat yang selalu mengutamakan/mendahulukan kepentingan masyarakat. Soepomo menjelaskan bahwa di dalam hukum adat, manusia bukan individu yang terasing bebas dari segala ikatan dan semata-semata mengingat keuntungan sendiri, melainkan adalah anggota masyarakat. 

Konsep tanah dalam hukum adat juga dianggap merupakan benda berjiwa yang tidak boleh dipisahkan persekutuannya dengan manusia. Tanah dan manusia, meskipun berbeda wujud dan jati diri, namun merupakan suatu kesatuan yang saling mempengaruhi dalam jalinan susunan keabadian tata alam (cosmos), besar (macro cosmos), dan kecil (micro cosmos). Tanah dipahami secara luas meliputi semua unsur bumi, air, udara, kekayaan alam, serta manusia sebagai pusat, maupun roh-roh di alam supranatural yang terjalin secara menyeluruh dan utuh.[1]

Di dalam hukum adat, yang primer bukanlah individu, melainkan masyarakat. Karena itu, menurut tanggapan hukum adat, kehidupan individu adalah kehidupan yang terutama diperuntukkan buat mengabdi kepada masyarakat. Oleh karena itu, maka hak-hak yang diberikan kepada individu adalah berkaitan dengan tugasnya dalam masyarakat. Berdasarkan konsepsi itu pulalah, maka tanah ulayat sebagai hak kepunyaan bersama dari suatu masyarakat hukum adat dipandang sebagai tanah-bersama.

Tanah bersama sebagai pemberian/anugerah dari suatu kekuatan gaib, bukan dipandang sebagai sesuatu yang diperoleh secara kebetulan atau karena kekuatan daya upaya masyarakat adat tersebut. Oleh karena hak ulayat yang menjadi lingkungan pemberi kehidupan bagi masyarakat adat dipandang sebagai tanah bersama, sehingga semua hak-hak perorangan bersumber dari tanah bersama tersebut. Mengacu pada pemahaman konsepsi di atas, berarti sesungguhnya hak atas tanah menurut hukum adat terdiri dari dua bentuk, yaitu hak ulayat (komunal) dan hak individu.

Hak ulayat merupakan hak penguasaan atas tanah tertinggi dalam hukum adat. Dari hak ulayat, karena proses individualisasi dapat lahir hak-hak perorangan (hak individual). Istilah hak ulayat disebut oleh van Vollen Hoven sebagai beschikkingrecht, oleh Soepomo disebut Hak Pertuan, Teer Haar mengistilahkannya sebagai Hak Pertuanan, dan masyarakat minang menyebutnya dengan kosa kata ulayat.

Menurut Purnadi Purbacaraka[2], hak ulayat adalah hak atas tanah yang dipegang oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat secara bersama-sama (komunal). Dengan ha ulayat ini, masyarakat hukum adat yang bersangkutan menguasai tanah tersebut secara menyeluruh. Menurut Boedi Harsono[3], hak ulayat adalah hak dari suatu masyarakat hukum adat atas lingkungan tanah wilayahnya yang memberi wewenang-wewenang tertentu kepada penguasa adat untuk mengatur dan memimpin penggunaan tanah wilayah masyarakat hukum adat tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hak ulayat adalah hak masyarakat hukum adat terhadap tanah di wilayahnya berupa wewenang menggunakan dan mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan tanah lingkungan wilayahnya di bawah kepemimpinan kepala adat. 

Subyek hak ulayat adalah Masyarakat Hukum Adat, yang di dalamnya ada anggota masyarakat hukum adat dan ada pula Ketua dan para Tetua Adat. Para anggota masyarakat hukum adat secara bersama-sama memiliki hak yang bersifat keperdataan atas wilayah adat tersebut. Ter Haar mengatakan bahwa anggota masyarakat hukum adat dapat mempergunakan hak pertuanannya dalam arti memungut keuntungan dari tanah itu, tentu seizin Ketua Adat. Hak mempergunakan ini jika berlangsung lama dan terus menerus menjadi cara yang menjadikan bagian dari hak ulayat sebagai hak individual. Hal itu yang disebut sebagai proses individualisasi hak ulayat. 

Kewenangan untuk mempergunakan oleh para anggota masyarakat hukum adat itulah yang disebut dalam hak ulayat sebagai ‘berlaku ke dalam’. Selanjutnya, hak ulayat juga ‘berlaku keluar’, dalam arti, orang asing/orang luar hanya boleh memungut hasil dari tanah ulayat setelah memperoleh izin dan membayar uang pengakuan di depan serta uang penggantian di belakang. Kewenangan untuk memungut hasil hutan bersifat terbatas.

Selanjutnya, agar hak ulayat dapat terus lestari sebagai penopang hidup para anggota masyarakat hukum adat, maka Ketua Adat dan para Tetua Adat diberi kewenangan untuk mengatur penguasaan dan penggunaan wilayah adat tersebut. Kewenangan untuk mengatur itulah yang kemudian disebut sebagai aspek publik dari hak ulayat. Herman Soesangobeng mengatakan bahwa kewenangan persekutuan sebagai organisasi dalam menata hubungan antara warga masyarakat dengan semua unsur agrarianya, dirangkum secara umum pada aturan tentang penguasaan dan penggunaan tanah.

Ketentuan itu dalam kepustakaan hukum adat dikelompokkan dalam bagian yang disebut ‘Hukum Tanah’. Pemikiran dasar dalam hukum ini adalah bahwa tanah, termasuk ruang angkasa dan kekayaan alam yang ada di dalamnya adalah kepunyaan bersama dari segenap warga persekutuan atau masyarakat. Kepunyaan bersama itu berbeda dengan ‘milik bersama’ atau ‘pemilikan kolektif’. Karena kepunyaan bersama hanya memberikan kewenangan kepada kelompok untuk menguasai secara bersama, namun pemakaian dan hasilnya dinikmati secara individual baik berupa perorangan maupun keluarga batih (nuclear family). Dengan demikian, kepunyaan bersama itu lebih mencerminkan sifat kebersamaan atau kolektifitas daripada komunal.

Kepunyaan bersama itu juga dilarang untuk dialihkan kepada kelompok lain tanpa persetujuan dari seluruh anggota. Perwujudan dari kepunyaan bersama itu dinyatakan dalam bentuk kekuasaan untuk menguasai tanah secara penuh. Kekuasaan itu, dalam penuturan maupun tulisan sering disebut ‘hak’. Selanjutnya dikatakan bahwa kewenangan dalam kekuasaan oleh persekutuan itu adalah untuk mengatur dalam arti menyediakan, menetapkan penggunaan, serta meletakkan larangan bagi warga maupun orang asing.

Kewenangan itu dalam kosa kata masyarakat Minangkabau disebut ‘ulayat’, masyarakat Ambon disebut ‘patuanan’, masyarakat Jawa disebut wewengkon, dan masyarakat Bali disebut ‘prabumian’. Akan tetapi, kewenangan mengatur itu bukanlah suatu hak, sebab masyarakat atau persekutuan tidak berwenang untuk mengalihkan secara mutlak tanah ulayat kepada pihak lain.[4] Bahkan Van Vollen Hoven ketika pada tahun 1909 menggunakan istilah teknis beschikkingsrecht untuk menggambarkan konsep ‘ulayat’ pun telah dengan tegas menyatakan dalam salah satu sifat dari kewenangan ulayat, yaitu bahwa ‘hak’ ulayat tidak dapat dialihkan. Karena itu, beschikkingen dalam kosa kata bahasa hukum Belanda, ketika digunakan untuk menggambarkan konsep ulayat, tidak dapat diartikan sama dengan penguasaan secara mutlak sehingga dapat mengalihkan hak atas tanah kepada pihak lain. 

Oleh karena itu, Herman Soesangobeng menandaskan bahwa ulayat sebenarnya hanya menggambarkan hubungan kewenangan menguasai pada tingkat tertinggi dari masyarakat atas tanah dalam wilayah hukum (yurisdiksi) persekutuan. Dengan perkataan lain, ulayat hanyalah wadah bagi lahirnya hak atas tanah.[5]

Atas dasar hubungan ulayat maka dimungkinkan timbulnya hak-hak atas tanah. Hak-hak itu dilahirkan berdasarkan proses perhubungan penguasaan nyata, utamanya oleh perorangan dan keluarga sebagai pemegang hak. Pertumbuhan hak atas tanah itu diawali dari pemilihan lahan berdasarkan Hak Wenang Pilih. Hukum adat mengenal hak wenang pilih bagi perseorangan warga persekutuan yang membuka tanah atau menempatkan tanda-tanda pelarangan seperti pagar pada tanahnya.[6]

Kemudian setelah pemberitahuan kepada kepala masyarakat dan pemasangan tanda-tanda larangan maka lahirlah Hak Terdahulu. Hak terdahulu dimiliki oleh pihak yang membuka lahan pertanahan pertama kali. Selanjutnya, setelah membuka hutan dan lahannya diolah serta digarap maka lahir Hak Menikmati. Baru setelah hak menikmati berlangsung cukup lama dan penggarapan lahan dilakukan secara terus menerus maka ia berubah menjadi hak pakai. Akhirnya, setelah penguasaan dan pemakaian itu berlangsung sangat lama sehingga terjadi pewarisan kepada generasi berikutnya, maka hak pakai pun berubah menjadi Hak Milik. Proses lahirnya hak atas tanah ini dalam perkembangannya, para sarjana kemudian menyederhanakan jenis hak-hak perorangan atas tanah dalam Hukum Adat menjadi Hak Milik dan Hak Pakai.

Dengan demikian, jika dilakukan penyederhanaan, maka Hak Penguasaan Atas Tanah menurut Hukum Adat terdiri atas:

  1. Hak Ulayat yang dipegang oleh seluruh Masyarakat Hukum Adat, yang kewenangannya memiliki aspek privat (kewenangan menguasai secara perdata dari para anggota masyarakat hukum adat atas bagian dari tanah ulayat dan aspek publik yang dipegang oleh Ketua Adat dan para Tetua Adat;
  2. Hak Tetua Adat yang dipegang oleh Ketua Adat dan para Tetua Adat, yang berisi kewenangan publik untuk mengatur penguasaan dan penggunaan wilayah adat untuk kelangsungan masyarakat hukum adat itu sendiri;
  3. Hak Perorangan atas Tanah Adat (sebagai proses individualisasi Hak Ulayat), yang terdiri atas:
  • Hak Milik, yaitu hak anggota masyarakat hukum adat yang diperoleh secara turun temurun.
  • Hak Pakai, yaitu hak anggota masyarakat hukum adat yang diperoleh dengan mengolah bagian dari wilayah adat. 
Footnotes

[1] Herman Soesangobeng, 2003, Kedudukan Hakim dalam Hukum Pertanahan dan Permasalahannya di Indonesoa, Yogyakarta: Pusdiklat Mahkamah Agung, hlm. 12-14. 
[2] Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim, 1983, Sendi-Sendi Hukum Agraria, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 25-26. 
[3] Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria.., Op.Cit., hlm. 215. 
[4] Wignjodipoero, Seorojo, 1984, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, hlm. 19. 
[5] Herman Soesangobeng, 2003, Kedudukan..., Op.Cit. 
[6] S. Hendratiningsih, A. Burdiartha dan Andi Hernandi, 2008, Masyarakat dan Tanah Adat di Bali, Jurnal Sosioteknologi Edisi 15 Desember 2008, hlm. 8.

Rabu, 26 Juni 2013

Analisis Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menimbulkan beberapa kritik terhadapnya. Misalnya ketentuan yang berkaitan dengan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR). Dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 pengertian CSR dinilai terlalu sempit, padahal konsep CSR terbaru versi ISO 26000 justru memberikan pengertian yang lebih luas dan terarah. CSR bukan hanya menyangkut tentang isu mempekerjakan warga sekitar atau membangun jalan dan mendirikan sekolah, tetapi juga bagaimana perusahaan menangani konsumen.

Pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Definisi ini tidak sejalan dengan Pasal 74 ayat (1) yang membatasi Tanggung Jawab Sosial hanya pada perusahaan industri ekstraktif.

Tata kelola perusahaan yang baik adalah wujud CSR. Tata kelola ini diwujudkan lagi dalam bentuk transparansi dan akuntabilitas. Laporan tahunan perusahaan tidak dapat menggambarkan secara jelan tentang konsep CSR sebagaimana dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007. Laporan perusahaan mestinya memperlihatkan kesinambungan (sustainable report) tindakan perusahaan dalam aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.[1]

Ukuran dan konsep CSR di Indonesia seharusnya mengikuti standar-standar global, maka penyesuaian konsep CSR dengan ISO 26000 sangat diperlukan. Konsep Guidance Standart on Social Responsibility dalam ISO sudah diperkenalkan sebelum Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 ini disahkan, sehingga pembuat undang-undang sudah semestinya bisa memperoyeksikan perkembangan. Sesungguhnyam ISO 26000 sudah menjadi rujukan dan konsep implementasi CSR di level internasional.[2]

Footnotes:
[1] Yanti Koestoer, Konsep CSR dalam UU Perseroan Terbatas Dinilai Keliru, 2012, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4cf753838408d/konsep-csr-dalam-uu-perseroan-terbatas-dinilai-keliru
[2] Ibid.

Analisis Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian

Koperasi atau Cooperative Organization bermakna organizatian owned by and operated for the benefit of those using its services atau dalam bahasa Indonesia diartikan bahwa organisasi koperasi adalah organisasi yang dimiliki sekaligus dioperasikan untuk kepentingan penggunaannya dalam hal ini adalah anggotanya.[1] Koperasi yang berawal dari kata “co” yang berarti bersama dan “operation” yang berarti bekerja, sehingga koperasi diartikan dengan “bekerja sama”. Sedangkan, pengertian umum koperasi adalah suatu kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan sama, diikat dalam suatu organisasi yang berasaskan kekeluargaan dengan maksud mensejahterakan anggota.

Gerakan koperasi digagas oleh Robert Owen (1771-1858) yang diterapkannya pertama kali pada usaha pemintalan kapas di New Lanark, Skotlandia. Gerakan koperasi ini dikembangkan lebih lanjut oleh William King (1786-1865) dengan mendirikan toko koperasi di Brighton, Inggris. Pada 1 Mei 1828, King menerbitkan publikasi bulanan yang bernama “The Cooperator” yang berisi berbagai gagasan dan saran-saran praktis tentang mengelola toko dengan menggunakan prinsip koperasi.[2]

Koperasi di Indonesia diperkenalkan oleh R. Aria Wiriatmadja di Purwokerto, Jawa Tengah pada Tahun 1896. Dia mendirikan koperasi kredit dengan tujuan membantu rakyatnya yang terjerat hutang dengan rentenir. Koperasi tersebut lalu berkembang pesat dan akhirnya ditiru oleh Boedi Utomo. Tokoh nasional yang dengan gigih mendukung koperasi adalah Moh. Hatta, wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama, sehingga beliau disebut dengan Bapak Koperasi Indonesia[3]. Secara resmi gerakan koperasi Indonesia baru lahir pada tanggal 12 Juli 1947 pada Kongres I di Tasikmalaya yang diperingati sebagai Hari Koperasi Indonesia.

Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip koperasi.[4] Koperasi ini diatur berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.

Lahirnya Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 menggantikan Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dinilai memiliki beberapa kelemahan dan mewarisi tradisi perkoperasian kolonial. Salah satu contohnya adalah semangat koperasi dihilangkan kemandiriannya dan disubordinasikan di bawah kepentingan kapitalisme maupun negara. Campur tangan pemerintah dan kepentingan pemilik modal besar sangat terbuka dalam undang-undang ini.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Koperasi dijelaskan bahwa koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip koperasi. Dari definisi tersebut mengandung makna koperasi sebagai badan hukum yang tidak ada bedanya dengan badan usaha uang lain. Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 masih berlandaskan pada azas perseorangan yang hampir sama dengan perusahaan kapitalistik seperti Perseroan.

Selain itu, dalam Pasal 75 Undang-Undang ini yang mengatur soal penyertaan modal tidak mengenal adanya pembatasan. Akibatnya, koperasi bisa kehilangan kemandiriannya dan anggotanya hanya sekadar dijadikan objek pinjaman bagi pemilik modal besar. Bahkan, Pasal 55 semakin mengancam kemandirian koperasi yang membolehkan kepengurusan koperasi dari luar anggota. Keberadaan Dewan Pengawas sebagaimana tercantum dalam Pasal 48 sampai Pasal 54 juga yang berfungsi layaknya lembaga superbody. Hal ini memudahkan keputusan koperasi di luar kepentingan anggotanya.[5]

Sebelumnya, kritik terhadap Undang-Undang Perkoperasian juga dilontarkan oleh Revrisond Baswir[6] bahwa Undang-Undang No. 17 Tahun 2001 tidak memiliki perbedaan substansial dengan Undang-Undang Perkoperasian era orde baru Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1967. Secara substansial, Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 masih mewarisi karakteristik/corak koperasi yang diperkenalkan di era pemerintahan Soeharto melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 1967.[7]

Perbedaan mendasar antara Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1958 di era pemerintahan Soekarno terletak pada ketentuan keanggotaan koperasi. Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1958, sebagaimana diatur pada Pasal 18, yang dapat menjadi anggota koperasi adalah yang mempunyai kepentingan dalam lapangan usaha koperasi. Ketentuan ini lebih lanjut menurut Revrisond sejalan dengan penjelasan Mantan Wakil Presiden Moh. Hatta bahwa “bukan corak pekerjaan yang dikerjakan menjadikan ukuran untuk menjadi anggota, melainkan kemauan dan rasa bersekutu dan cita-cita koperasi yang dikandung dalam dada dan kepala masing-masing”. [8]

Pada Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 ketentuan keanggotaan koperasi berubah secara mendasar. Hal ini tergambar dalam Pasal 11 bahwa keanggotaan koperasi didasarkan atas kesamaan kepentingan dalam lapangan usaha koperasi. Kemudian, pada Pasal 17 yang dimaksud dengan anggota yang memiliki kesamaan kepentingan adalah suatu golongan dalam masyarakat yang homogen. Perubahan ketentuan keanggotaan yang dilakukan melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 ini adalah dasar bagi tumbuhnya koperasi-koperasi golongan fungsional seperti koperasi pegawai negeri, koperasi dosen, dan koperasi angkatan bersenjata di Indonesia.

Undang-Undang Perkoperasi yang terbaru yaitu Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 juga mempertahankan keberadaan koperasi golongan fungsional. Pada Pasal 27 ayat (1), syarat keanggotaan koperasi primer adalah mempunyai kesamaan kepentingan ekonomi. Lebih lanjut dalam penjelasn disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kesamaan kepentingan ekonomi adalah kesamaan dalam hal kegiatan usaha, produksi, distribusi, dan pekerjaan atau profesi.

Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 membuka peluang untuk mendirikan koperasi produksi, namun di Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 peluang ini justru ditutup sama sekali. Hal ini terlihat pada Pasal 83, di mana hanya terdapat empat koperasi yang diakui keberadaannya di Indonesia, yaitu koperasi konsumen, koperasi produsen, koperasi jasa, dan koperasi simpan pinjam. Sesuai dengan Pasal 84 ayat (2) yang dimaksud dengan koperasi produsen dalah koperasi yang menyelenggarakan kegiatan usaha pelayanan di bidang pengadaan sarana produksi dan pemasaran produksi. Artinya, yang dimaksud dengan koperasi produsen sesungguhnya adalah koperasi konsumsi para produsen dalam memperoleh barang dan modal.[9]

Karakteristik Undang-Undang No, 17 Tahun 2012 yang mempertahankan koperasi golongan fungsional dan meniadakan koperasi produksi itu jelas paradoks dengan perkembangan koperasi yang berlangsung secara internasional. Dengan tujuan dapat digunakan sebagai dasar untuk menjadikan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat, justru Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 diwaspadai menjadi ancaman serius terhadap keberadaan koperasi di Indonesia.

Selain itu, pada Pasal 78 Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 mengatur koperasi dilarang membagikan profit apabila diperoleh dari hasil transaksi usaha dengan non-anggota, yang justru seharusnya surplus/profit sebuah koperasi sudah sewajarnya dibagikan kepada anggota. Hal ini cukup membuktikan ketidakberpihakan pemerintah kepada rakyat kecil. Hal mana yang sudah kita ketahui bersama bahwa koperasi sangat sulit melakukan transaksi dengan nilai laba tinggi kepada anggotanya, karena justru menekan laba/profit demi memberikan kesejahteraan kepada anggotanya. Bersikap tolak belakang dari ketentuan Pasal di atas, Pasal 80 menentukan bahwa dalam hal terdapay defisit hasil usaha pada koperasi simpan pinjam, anggota wajib menyetor tambahan Sertifikan Modal Koperasi. [10]

Berkaitan dengan lembaga Credit Union, khususnya di Provinsi Kalimantan Barat yang menjadi kontroversi, sebab Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 tidak sama sekali menyinggung soal Credit Union, padahal credit union berkembang sangat pesat di provinsi tersebut. Masyarakat Provinsi Kalimantan Barat lebih menyukai menggunakan fasilitas Credit Union daripada koperasi.[11]

Bagi penulis, tidak terlalu mempersoalkan hal tersebut jika credit union tidak dimasukkan dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2012. Hal ini dikarenakan, Credit Union sangatlah berbeda dengan sistem koperasi utamanya Koperasi Simpan Pinjam. Jika simpan pinjam di luar Credit Union modal bisa dari pihak luar yang kemudian dipinjamkan kepada anggotanya, maka di Credit Union bersifat swadaya, pendidikan, dan solidaritas.

Pinjaman yang diberikan kepada anggota Credit Union adalah murni dari modal yang tergabung di dalamnya dan bukan dari pinjaman yang berasal dari pihak ketiga. Jika Credit Union telah tidak masuk dalam Undang-Undang Perkoperasian, maka kedepan mungkin akan dibuatkan aturan yang lebih spesifik/khusus baik dari segi hukum materiil ataupun formalnya, agar lebih memberikan kepastian hukum. 

Referensi:

[1] Berdasarkan Britannica Concise Encyclopedia, dalam Bambang Supriyanto, Kritik Terhadap Koperasi (Serta Solusinya) Sebagai Media Pendorong Pertumbuhan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Jurnal Ekonomi & Pendidikan, Volume 4 Nomor 2, Nopember 2007, Hlm. 16-17. 
[2] Bambang Supriyanti, Kritik Terhadap...., Op.Cit., Hlm. 18. 
[3] Ibid. 
[4] Pengertian Koperasi, Lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. 
[5] Berdikari, Undang-Undang Perkoperasian Masih Dianggap Warisan Kolonial, 2013, http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20130427/uu-perkoperasian-dianggap-masih-warisan-kolonial.html
[6] Revrisond Baswir adalah ekonom progresif dari Universitas Gadjah Mada. 
[7] Ibid. 
[8] Ibid. 
[9] Ibid. 
[10] Irwan Walik (Kompasiana), Pemerintah yang Tidak Pro-Rakyat, 2013, http://hukum.kompasiana.com/2013/01/04/pemerintahan-yang-tidak-pro-rakyat-516368.html

Selasa, 04 Juni 2013

Bawang Goreng Palu dan Perlindungan Hukum Indikasi Geografis

Oleh:
MUSHAWWIR ARSYAD, SH
[P0903212002]

Pendahuluan

Bawang merah atau nama latinnya Allium cepa var aggregatum L. merupakan salah satu jenis tanaman yang biasa digunakan untuk bumbu penyedap dalam masakan, khususnya di daerah Asia termasuk Indonesia. Untuk mengenal lebih lanjut tentang taksonomi tanaman bawang merah, maka tanaman ini dapat diklasifikasikan berdasarkan urutan, sebagai berikut:[1]



· Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
· Sub-Kingdom : Tracheobionta (Tumbuhan Berpembuluh)
· Super Divisi : Spermatophyta (Penghasil Biji)
· Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
· Kelas : Liliopsida (Berkeping satu/monokotil)
· Sub-Kelas : Liliidae
· Ordo : Liliales
· Famili : Liliaceae (Suku bawang-bawangan)
· Genus : Allium
· Spesies : Allium Cepa var.Aggregatum L.

Bawang merah merupakan komoditas yang tergolong sayuran rempah. Di samping sebagai bahan makanan penambah cita rasa, bawang merah juga diperlukan untuk kesehatan tubuh sebagaimana tercantum dalam tabel 1., di mana bawang ini memiliki kandungan fosfor 49 gram dalam 100 gram bahan, kalori 39 gram dalam 100 gram bahan dan mengadung vitamin C, vitamin B1, protein, karbohidrat walaupun jumlahnya sedikit.

KOMPONEN KOMPOSISI
Vitamin (gr) 
Karbohidrat (gr) 
Protein (gr) 
Lemak (gr) 
Vitamin B1 (mg) 
Vitamin C (mg) 
Kalsium, CA (mg) 
Besi, Fe (mg) 
Fosfor, P (mg) 
Energi (kalori) 
Bahan yang dapat dimakan (%)
88,00 
9,20 
1,50 
0,30 
0,03 
2,00 
36,00 
0,80 
40,00 
39,00 
90,99

Bawang merah di samping mengandung mengandung vitamin C, kalium, serat, dan asam folat, kalsium, dan zat besi. Bawang merah juga mengandung zat pengatur tumbuh alami berupa hormon auksin dan giberelin. Kegunaan lain dari bawang merah adalah sebagai obat tradisional, bawang merah dikenal sebagai obat karena mengandung efek antiseptik dan senyawa alliin. Senyawa alliin oleh enzim alliinase selanjutnya diubah menjadi asam piruvat, amonia, dan alliisin sebagai anti mikoba yang bersifat bakterisida.[3]

Bawang merah dapat menurunkan kadar gula dan kolestrol darah, mencegah penebalan dan pengerasan pembuluh darah, serta maag. Senyawa Flavonols mengandung radikal bebas yang kuat dan antioxidan yang dapat mencegah dan melawan penyakit-penyakit cardiovascular dan colorectal cancers.[4] Tidak kurang 25 Flavonols yang berbeda dapat diidentifikasi pada bawang merah dalam bentuk quarcetin dan derivat quarcetin yang mendominasi cultivar bawang merah.[5]

Bawang merah dikenal hampir di setiap negara dan daerah di wilayah tanah air. Kalangan internasional menyebutnya sebagai shallot”. Bawang merah tergolong tanaman semusim, tanamannya berbentuk rumpun, akarnya serabut, batangnya pendek sekali yang hampir tidak nampak. Daunnya memanjang berbentuk silindris, pangkal daun berubah bentuk dan fungsinya yaitu membentuk umbi.

Bawang Merah memiliki bunga majemuk berbentuk tandan yang bertangkai dengan 50-200 kuntum bunga. Pada ujung dan pangkal tangkai mengecil dan dibagian tengah menggembung, bentuknya seperti pipa yang berlubang didalamnya. Tangkai tandan bunga ini sangat panjang, lebih tinggi dari daunnya sendiri dan mencapai 30-50 cm. Bunga bawang merah termasuk bunga sempurna yang tiap bunga terdapat benang sari dan kepala putik. Bakal buah sebenarnya terbentuk dari 3 daun buah yang disebut carpel, yang membentuk tiga buah ruang dan dalam tiap ruang tersebut terdapat 2 calon biji. Buah berbentuk bulat dengan ujung tumpul. Bentuk biji agak pipih. Biji bawang merah dapat digunakan sebagai bahan perbanyakan tanaman secara generatif.[6]

Bawang merah pada dasarnya lebih banyak dibudidayakan di daerah dataran rendah yang beriklim kering dengan suhu yang agak panas, dan cuaca cerah. Tanaman ini tidak menyukai tempat-tempat yang tergenang air, terutama becek. Walaupun demikian, tanaman bawang merah tetap membutuhkan air yang banyak terutama pada saat pembentukan umbi.

Karakteristik Bawang Merah Palu

Pada dasarnya, bawang merah terbagi atas beberapa jenis yang dapat dibedakan berdasarkan karakteristik atau kekhasan yang dimilikinya. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa jenis bawang merah yang memiliki kekhasan, salah satunya yang terdapat di Palu, Sulawesi Tengah. Komoditas ini dikembangkan oleh petani di Kabupaten Donggala terutama di Lembah Palu, sehingga biasa disebut dengan “Bawang Merah Palu”. Penggunaan nama ini kemudian diresmikan oleh Gubernur Sulawesi Tengah pada perayaan Hari Krida Pertanian tahun 2000 di Palu.

Bawang merah varietas Lembah Palu merupakan bahan baku industri pengolahan bawang goreng serta telah menjadi “brand lokal” Palu. Salah satu keunikan bawang ini yang membedakan dengan bawang merah lainnya adalah umbinya mempunyai tekstur yang padat sehingga menghasilkan bawang goreng yang renyah dan gurih serta aroma yang tidak berubah walaupun disimpan lama dalam wadah yang tertutup.[7]

Usaha pertanian Bawang Merah Palu sudah dimulai sejak puluhan tahun yang lalu terutama di sekitar Lembah Palu, Tinombo, Gontarano, dan beberapa daerah lainnya di Kabupaten Donggala. Bawang ini beradaptasi cukup baik pada daerah dataran rendah beriklim kering. Meskipun bawang merah Palu memiliki cita rasa yang khas, ciri-ciri morfologinya tidak banyak berbeda dengan bawang merah lainnya. 

Potensi lahan di Sulawesi Tengah masih cukup luas untuk pengembangan bawang merah yang didukung oleh curah hujan, suhu udara dan tanah yang sesuai serta sarana dan prasarana yang memadai. Khusus untuk Lembah Palu yang merupakan sentra pengembangan komoditas unggulan bawangmerah Palu, potensi lahan tersedia 2.608 ha. 

Tipe iklim di daerah tersebut termasuk E1, E2, dan E3 (menurut klasifikasi Oldeman), bulan kering lebih dari empat bulan, curah hujan rendah (400−1.000 mm/tahun), dan suhu udara tergolong panas (rata-rata 30–35o C). Kondisi ini menurut Rismunandar (1988) sangat cocok untuk pembentukan umbi (suhu 32–34o C).[8]

Bawang Goreng Palu

Pengolahan bawang goreng Palu terutama di sekitar Lembah Palu sudah mulai berkembang dari industri rumah tangga menjadi industri menengah dengan menggunakan mesin pengupas, pencuci, pengiris, dan pengepak. Berkembangnya industri pengolahan tersebut dapat mendorong petani untuk meningkatkan produksi bawang merah baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi.

Bawang merah biasanya digunakan sebagai bumbu penyedap masakan karena aromanya yang khas. Bawang merah Palu sebagian besar dibuat bawang goreng karena bawang goreng yang dihasilkan memiliki cita rasa yang khas dan tetap kering walaupun disimpan lama dalam kemasan yang tertutup rapat. Rasa khas dan kekeringan bawang merah Palu yang tidak sama dengan bawang lainnya menyebabkan bawang ini sangat disukai konsumen.

Bawang goreng khas Palu memang sangat berbeda dengan bawang goreng pada umumnya. Perbedaannya terletak pada jenis bawangnya sendiri, yaitu dikenal dengan bawang batu. Bentuknya kecil dan warnanya tidak semerah bawang merah pada umumnya, namun lebih keras. Menurut beberapa sumber, bawang jenis ini tidak bisa tumbuh di daerah-daerah lain di Indonesia. Bahkan, dari seluruh wilayah yang ada di Sulawesi Tengah, hanya tanah di daerah Palu yang cocok untuk bawang jenis ini. Kontur tanah di daerah Palu yang berpasir membuat bawang batu ini dapat tumbuh dengan subur dan berproduksi dengan baik. Selain itu, pemerintah setempat juga bekerjasama dengan perguruan tinggi dan kelompok tani setempat untuk menjadikan bawang ini sebagai komoditas unggulan dan sekaligus mempermudah para pengusaha untuk mendapatkan bahan baku pembuatan bawang goreng.

Pada tahun 2011, tercatat sekitar 38 industri bawang goreng yang tersebar di Kota Palu dengan berbagai macam merek seperti Garuda Jaya, Cendana, Sri Rejeki, Mustika, Raja, Bunga Kaili, Mahkota Palu, dan sebagainya. Beberapa dari mereka sudah memiliki distributor yang tersebar di seluruh Nusantara, bahkan hingga luar negeri. Selain itu, ada juga yang memasarkan produknya melalui jaringan internet, baik melalui website, blog, ataupun melalui jejaring sosial facebook dan twiter.[9]

Bawang goreng khas Palu memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan bawang goreng lainnya. Aroma bawang goreng ini khas dan lebih gurih jika dibandingkan dengan bawang goreng pada umumnya. Selain itu, teksturnya yang renyah membuat makanan ini dapat dimakan seperti mengonsumsi keripik. Bawang goreng khas Palu juga diproduksi secara higienis dari bawang pilihan yang bermutu, tanpa bahan pengawet, pewarna, maupun bahan perenyah.

Keunggulan lain dari bawang goreng khas Palu adalah dapat bertahan hingga dua tahun karena dikemas dengan menggunakan alumunium foil yang dapat menahan perubahan suhu dari luar sehingga kestabilan humidity atau kelembabannya tetap terjaga. Meskipun disimpan dalam waktu yang lama, bahkan di dalam kulkas sekalipun, bawang goreng khas Palu ini tetap tahan lama, aroma, dan kerenyahannya tetap tidak berkurang. Bagi Anda yang mengidap penyakit kolestrol, tidak perlu khawatir karena bawang goreng khas Palu digoreng dengan menggunakan minyak goreng nonkolestrol. Tidak hanya itu, bawang goreng ini juga sudah mendapatkan sertifikasi dari badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) sehingga aman untuk dikonsumsi.[10]

Bawang merah Palu dipanen setelah berumur 65−70 hari. Setelah dipanen sebaiknya bawang langsung diolah menjadi bawang goreng karena bila ditunda, mutu bawang goreng yang dihasilkan akan menurun. Menurut Hartuti dan Sinaga (1995), penyimpanan dalam bentuk umbi menyebabkan terjadinya berbagai perubahan akibat proses fisiologis, biologis, fisik, kimia, dan mikrobiologis. Selama penyimpanan, senyawa yang menentukan bau dan cita rasa terutama senyawa sulfida akan menguap dari umbi.

Pada awalnya, pengolahan umbi menjadi bawang goreng masih dilakukan dalam skala rumah tangga. Dengan semakin berkembangnya berbagai usaha bisnis makanan yang menggunakan bawang goreng, maka permintaan terhadap bawang goreng Palu semakin meningkat, sehingga para pengusaha mulai mengembangkan usahanya untuk memproduksi bawang goreng dalam skala besar. Beberapa perusahaan mengolah bawang merah Palu menjadi bawang goreng dengan menggunakan mesin pemotong dan penggoreng berkapasitas satu ton bawang basah per hari.

Bawang goreng Palu juga diekspor ke Singapura dan Malaysia serta dipasarkan ke daerah-daerah lain di Indonesia seperti Kalimantan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Jawa. Harga bawang merah Palu sekitar Rp 6.000/kg, sedangkan harga bawang goreng kemasan sekitar Rp 50.000/kg.[11]

Perlindungan Hukum "Indikasi Geografis" Bawang Goreng Palu

Indikiasi geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal barang uang dikaitkan dengan kualitas, reputasi atau karakteristik lain yang sesuai dengan asal geografis barang tersebut. Indikasi Geografis adalah indikasi-indikasi atau tanda yang karena faktor lingkungan geografis, faktor alam, faktor manusia atau kombinasinya, dapat mengidentifikasikan bahwa suatu barang berasal dari suatu daerah, di mana mutu yang dihasilkan, reputasi atau sifat-sifat lain barang tersebut dapat dicirikan secara mendasar terhadap asal geografisnya.

Perlindungan terhadap Indikasi Geografis merupakan hal baru dalam sistem perlindungan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia. Sistem perlindungan terhadap indikasi geografis diatur dalam Perjanjian TRIPs yang mewajibkan negara-negara anggota untuk menyusun peraturan tentang indikasi geografis dengan tujuan memberikan perlindungan hukum terhadap praktik atau tindakan persaingan tidak sehat.[12]

Perlindungan hukum Indikasi Geografis terhadap tanda yang mengidentifikasi suatu wilayah negara atau kawasan atau daerah di dalam wilayah tersebut sebagai asal barang, di mana reputasi, kualitas dan karakterisitik barang tersebut sangat ditentukan oleh faktor geografis. Indonesia merupakan negara mega diversity, negara dengan keragaman budaya dan sumber daya alam. Banyak produk unggulan dihasilkan di Indonesia dan mendapatkan tempat di pasar internasional. Sebagai contoh, Kopi Arabika Kintamani Bali, Java Coffee, Kopi Arabika Mandailing, Lada Putih Muntok, dan tentunya Bawang Merah “Goreng” Palu, serta masih banyak lainnya.[13]

Produk tersebut telah lama dikenal oleh konsumen di berbagai negara. Sejak dahulu hingga sekarang produk tersebut masih diperdagangkan. Dengan semakin ketatnya persaingan, perdagangan suatu produk akan tetap mendapat permintaan tinggi apabila ciri khas dan kualitas bisa dipertahankan serta dijaga konsistensinya. Peningkatan mutu saja kini dirasa tidak cukup untuk menjadikan suatu produk akan tetap bertahan di pasar, tetapi juga bisa menghilangkan produk imitasi yang beredar sehingga eksistensi mutu produk dapat dipertahankan.[14]

Suatu produk yang bermutu khas dan terkenal tentu banyak ditiru orang sehingga perlu diupayakan perlindungan hukum yang memadai bagi produk-produk tersebut. Dalam beberapa kasus telah terbukti bahwa nama produk Indonesia seperti Lada Putih Muntok atau Muntok White Pepper telah banyak digantikn dengan produk serupa dari Vietnam, China, atau daerah lain yang diperdagangkan dengan nama Muntok White Pepper. Contoh lainnya adalah Kopi Arabika Gayo telah didftarkan sebagai merek dagang oleh pihak asing dan akibtnya eksportir asal Gayo yaitu Aceh dilarang memasukkan produknya ke Eropa dengan nama Gayo. Demikian pula yang terjadi dengan Kopi Toraja, yang mana Key Coffee Corporation dari Jepang mendaftarkan merek “Toarco Toraja” dengan nomor pendaftaran 75884722..[15]

Akibat hukum adanya pendaftaran merek Toraja di Jepang, tentunya menghalangi eksportir kopi dari Indonesia untuk memasukkan produk kopi yang menggunakan tanda dengan nama Toraja. Perlindungan hukum Hak Kekayaan Intelektual bersifat teritorial. Ironis bagi pihak Indonesia wilayah geografis dari mana Kopi Toraja itu berasal, manakala pihak asing justru berebut karena nilai aset dan peluang bisnisnya. Walaupun aset tersebut secara de facto telah lama dimiliki, tetapi perlindungannya mensyaratkan kepemilikan yang bersifat yuridis normatif, yaitu pendaftaran kepemilikan. Tentunya pada saat kopi dengan nama dagang beserta gambar rumah adat Toraja terdaftar sebagai Merek di Jepang, perkembangan hukum Merek di Indonesia belum sampai tahap pemahaman konsep perlindungan Indikasi Geografis.[16]

Secara spesifik, indikasi geografis[17] perlu mendapatkan perlindungan, karena:
  1. Indikasi geografis merupakan tanda pengenal atas barang yang berasal dari wilayah tertentu atau nama dari barang yang dihasilkan dari suatu wilayah tertentu dan secara tegas tidak bisa dipergunakan untuk produk sejenis yang dihasilkan dari wilayah lain.
  2. Indikasi geografis merupakan indikator kualitas yang menginformasikan kepada konsumen bahwa barang tersebut dihasilakan dari suatu lokasi tertentu di mana pengaruh alam sekitar menghasilkan kualitas barang dengan karakteristik tertentu yang terus dipertahankan reputasinya.
  3. Indikasi geografis memberikan nilai tambah komersial terhadap produk karena keoriginalitasannya dan limitasi produk yang tidak bisa diproduksi di daerah lain.
  4. Berdasarkan perjanjian TRIPs, indikasi geografis ditetapkan sebagai bagian dari hak milik intelektual yang hak kepemilikannya dapat dipertahankan dari segala tindakan melawan hukum dan persaingan yang tidak sehat.
Oleh karena itu, perlu ada perhatian khusus dari seluruh pihak termasuk pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat agar kejadian sebagaimana dijelaskan di atas tidak terulang. Salah satu yang perlu mendapat perlindungan saat ini adalah “Bawang Goreng Palu” yang telah lama di kembangkan di Lembah Palu, Sulawesi Tenggara.

Footnotes

[1] Plantamor, 2012, Informasi Spesies Bawang Merah, http://www.plantamor.com/index.php?plant=56
[2] Data diperoleh dari Direktorat Gizi, Dep. Kesehatan. 
[3] Ibid. 
[4] Ambarwati, E. Dan P. Yudono, 2003, Keragaan Stabilitas Hasil Bawang Merah. J.Ilmu Pertanian Vol.10 (2), hlm. 1-10. 
[5] Abdul Rahim dkk, Daya Adaptasi dan Potensi Hasil Bawang Merah Varietas Lembah Palu, Makassar: Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, hlm. 2. 
[6] Ibid. 
[7] Limbongan dan Maskar, 2003, Potensi Pengembangan dan Ketersediaan Teknologi Bawang Merah Palu di Sulawesi Tengah, Litbang Pertanian, hlm. 103-108. 
[8] Ibid. 
[10] Ibid. 
[11] Monde, 1987, Pengaruh Berbagai Dosis Pupuk Kandang pada Dua Varietas Bawang Merah, Palu: Fakultas Pertanian Universitas Tadulako. 
[13] Saky Septiono, 2012, Perlindungan Indikasi Geografis dan Potensi Indikasi Geografis Indonesia. http://www.scribd.com/doc/20980646/Perlindungan-Indikasi-Geografis-dan-Daftar-Potensi-Indikasi-Geografis-Indonesia
[14] Ibid. 
[15] Ibid. 
[16] Ardianti Kuncoro, 2012, Perlindungan Indikasi geografis Aset Nasional dari Pendaftaran oleh Negara Lain. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fd1bd073c3a6/perlindungan-indikasi-geografis-aset-nasional-dari-pendaftaran-oleh-negara-lain
[17] Anonim, 2012, Indikasi Geografis, http://haki.unram.ac.id/indikasi-geografis/

Jumat, 31 Mei 2013

Kertas LP2KI Nasional 2013

Latar Belakang

Kegiatan ilmiah mahasiswa khususnya di bidang karya tulis semakin berkembang. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya beberapa kompetisi, baik ditingkat kampus, regional, maupun nasional. Seiring dengan perkembangan itu pulalah, maka pada tahun 2007 dibentuklah lembaga penulisan ilmiah dalam lingkup Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang diberi nama Lembaga Penalaran dan Penulisan Karya Ilmiah (LP2KI). Pendirian LP2KI dipelopori oleh tujuh mahasiswa berprestasi yaitu Resha Agriansyah, Wardani Rezkianti, Sari Damayanti, Habibi Kaharuddin, M. Solihin, Iustika Puspitasari, dan Rafikah Faharuddin. Dan untuk pertama kali diputuskan Resha Agriansyah sebagai Ketua Umum pertama.

Setelah LP2KI dibentuk, berbagai program kerja dicanangkan setiap tahunnya oleh masing-masing periode kepengurusan. Dan kompetisi di bidang karya tulis adalah program yang rutin dilakukan dengan konsep yang berbeda-beda. Hal ini bergantung pada kreativitas pengurusnya.

Di tahun 2009 LP2KI untuk pertama kali mengadakan Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM) Piala Bergilir Mahkamah Agung tingkat Nasional. Kemudian tahun 2010, LP2KI tidak lagi menyelenggarakan LKTM Piala Mahkamah Agung, karena pada tahun 2009 di juarai oleh Delegasi Universitas Indonesia. Dan Menurut aturan main, siapa yang menjadi pemenang, maka ditahun berikutnya akan menjadi tuan rumah penyelenggara. Hingga pada akhirnya, tahun 2010 tersebut, LP2KI memutuskan untuk mengadakan Paper Contest dan Workshop penulisan tingkat nasional.

Periode kepengurusan berikutnya yakni di tahun 2011, pengurus mencoba untuk berpikir lebih kreatif untuk membuat sebuah konsep kompetisi karya tulis ilmiah yang baru. Konsep ini diharapkan menjadi kompetisi rutin yang diselenggarakan pengurus LP2KI di tahun-tahun berikutnya. Mengingat LKTM Piala Mahkamah Agung tidak rutin diselenggarakan oleh LP2KI, karena penyelenggara berikutnya adalah pemenang lomba.

Hingga pada akhirnya, kata KERTAS lahir yang merupakan akronim dari Kompetisi Esai dan Karya Tulis Mahasiswa. Kompetisi ini mengadakan dua kompetisi sekaligus yaitu esai yang dikategorikan sebagai perwakilan tulisan semi-ilmiah dan karya tulis yang mewakili karya ilmiah itu sendiri. Esai dimasukkan di kompetisi ini melihat kondisi di tahun 2011, esai adalah tulisan yang populer, yang meskipun menggunakan tutur yang ringan, namun memiliki solusi yang sangat spektakuler yang sangat berguna untuk kemajuan bangsa dan negara.

KERTAS LP2KI Nasional 2011 yang mengadakan dua kompetisi sekaligus, juga memperebutkan dua piala utama bergilir. Piala yang diperebutkan pada kompetisi esai dinamakan Piala Laica Marsuki dan untuk piala kompetisi karya tulis dinamakan Piala Baharuddin Lopa. Kedua tokoh tersebut merupakan panutan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, karena kiprahnya pada penegakan hukum di Indonesia.

Animo yang sangat besar dari mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di Indonesia terhadap penyelenggaraan KERTAS LP2KI Nasional 2011 sebagai kompetisi yang baru semakin memperbesar tekad LP2KI untuk menjadikan KERTAS LPKI sebagai agenda rutin sebagaimana rencana awalnya. Pada penyelenggaraan pertama ,KERTAS LP2KI membatasi ruang lingkup tema di bidang hukum, namun tidak membatasi kepada siapapun mahasiswa strata-1 yang ikut berkompetisi. Apakah dia berasal dari disiplin ilmu hukum, ilmu sosial secara lebih luas, ataupun mahasiswa sains. Bagi LP2KI yang terpenting adalah pemikiran dan tulisannya. Dan tidak tertutup kemungkinan, di tahun-tahun berikutnya tema KERTAS LP2KI tidak hanya mencakup hukum saja, tetapi memiliki ruang lingkup yang sangat luas.

Di Tahun 2013 ini, LP2KI memperlihatkan eksistensi KERTAS sebagai kompetisi tahunan yang rutin dengan kembali mengadakan kompetisi tersebut. Di tahun 2012, kompetisi ini tidak sempat diselenggarakan karena LP2KI FH-UH kembali menjadi tuan rumah penyelenggara LKTM Piala Mahkamah Agung.

KERTAS LP2KI Nasional 2013 kini dipersiapkan oleh Kepengurusan LP2KI FH-UH dengan konsep dan tema yang berbeda.

Untuk mengunduh Pedoman KERTAS Nasional 2013

Selasa, 07 Mei 2013

Macpherson: Teori Hak Milik

Macpherson membedakan kepemilikan menjadi tiga, yaitu:
a. Milik Pribadi,
b. Milik Umum, dan
c. Milik Negara.
--------------------------
Milik Umum bersubstansi sama dengan konsep “milik pribadi”, yaitu klaim-klaim yang dapat dipaksakan yang dipunyai oleh pribadi-pribadi atas kegunaan dan manfaat suatu benda. Penetapan jalan raya, taman-taman umum sebagai “milik umum” oleh negara, dimaksudkan agar ada jaminan bagi setiap orang untuk menikmati kegunaan barang-barang “milik umum” tersebut. 

Penciptaan hak oleh negara tidaklah membuat hak itu menjadi milik negara tersebut. Dengan demikian sasaran akhir dari konsep “milik umum” dan “milik pribadi” secara substansial memiliki kesamaan, yakni agar setiap orang tetap dapat memperoleh manfaat atas suatu benda. 

Milik negara (state property) justru tidak memberikan kepada warganegara secara perorangan suatu hak langsung untuk menikmati kegunaan, atau suatu hak untuk tidak dikesampingkan dari usaha untuk menikmati benda-benda yang dikuasai oleh negara yang bertindak sebagai suatu lembaga. Misalnya, perusahaan penerbangan Perancis dan Inggris tidak dengan begitu saja dapat dinikmati oleh semua warganegara di negeri-negeri itu. Dengan demikian, milik negara bukan suatu milik umum dan bukan suatu hak pribadi yang tidak boleh dikesampingkan.

Minggu, 05 Mei 2013

Perbedaan Pasal 570 BW dengan Pasal 20 UUPA Mengenai Hak Milik

Guna menarik kesimpulan mengenai perbedaan konsepsi Hak Milik berdasarkan Pasal 570 BW dengan Pasal 20 UUPA, maka terlebih dahulu perlu diketahui mengenai isi ketentuan dari masing-masing pasal tersebut.

Pasal 570 BW menentukan, bahwa:
"Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan suatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang – undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak – hak orang lain; kesemuanya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang –undang dan dengan pembayaran ganti rugi."

Di sisi lain, Pasal 20 UUPA menentukan, bahwa:

  1. Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6.
  2. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Pasal 6 yang dimaksudkan adalah “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial

Dalam Penjelasan Umum UUPA diuraikan bahwa fungsi sosial itu sendiri, bermakna:

“Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan negara. Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat).

Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok : kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya [pasal 2 ayat (3)].

Berhubung dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hal yang sewajarnya bahwa tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah itu (Pasal 15). Dalam melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan kepentingan pihak yang ekonomis lemah.” 


Berdasarkan isi dari ketentuan Pasal 570 BW, maka dapat ditarik unsur-unsurnya yang juga sekaligus dapat dibandingkan dengan Pasal 20 UUPA.

a. Hak untuk menggunakan benda dengan leluasa, asal tidak menyalahi ketentuan yang berlaku.

Pasal 570 BW mengisyaratkan bahwa semua yang memegang hak milik berhak melakukan apapun di atas alas hak tersebut, kecuali ditentukan lain oleh peraturan yang sah. Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria termasuk kategori peraturan yang dalam hal ini, disahkan dan diundangkan pada tanggal 24 September 1960.

Klausa “leluasa, asal tidak melanggar aturan” juga ditemukan di Pasal 20 UUPA. Hal ini tidak tercantum secara eksplisit, karena bunyi pasal tersebut mengharuskan kita melihat lagi aturan Pasal 6 yang mengatur mengenai fungsi sosial tanah. Telah disebutkan di atas bahwa memori penjelasan rancangan UUPA secara panjang lebar menguraikan mengenai fungsi sosial tanah agar pemegang hak milik tetap menghormati hak orang lain, dan tetap memperhatikan kondisi sosial masyarakat agar terjadi pemerataan kesejahteraan.

Pengelolaan bumi, air dan ruang angkasa sebagai pengertian agraria dalam arti luas, harus mengutamakan kepentingan bersama. Bagaimanapun juga, kemerdekaan, sumber daya alam dan potensi yang ada di Indonesia adalah milik seluruh bangsa Indonesia pula. Seluruh elemen akan saling bersinergi dengan baik jika fungsi sosial tanah ini ditaati dengan sepenuhnya.

b. Tidak mengganggu hak orang lain.

Substansi dari ketentuan ini bahwa di atas hak kita terdapat hak orang lain. Mirip dengan fungsi sosial dari tanah yang tersirat dalam Pasal 20.

c. Pencabutan Hak dapat Dilakukan Jika Melanggar Peraturan dan Melanggar Ketentuan Umum

Persoalan pencabutan hak milik yang disebut di UUPA tidak ditemukan di Pasal 20. Ayat (2) Pasal 20 UUPA hanya menyebutkan “hak milik dapat beralih dan dapat dialihkan…”. Pencabutan hak tercantum di UUPA, tetapi bukan di pasal 20, melainkan di pasal 18.

d. Dapat dilakukan ganti rugi

Ganti rugi yang dimaksud adalah ketika suatu hak milik beralih ke pihak lain dengan kondisi bukan karena warisan. Karena, jika suatu tanah hak milik diwariskan, maka tidak ada ganti kerugian. Kematian adalah syarat mutlak pengalihak hak milik secara waris, dan pemegang waris tidak diberi ganti rugi. Ganti rugi dapat diberikan dalam hal peralihan hak karena suatu tanah digunakan untuk pelebaran jalan, pembangunan fasilitas negara berupa gedung, dan lain sebagainya.

Pasal 20 UUPA tidak memuat ketentuan mengenai ganti kerugian. Ketentuan tersebut terdapat di pasal 17 dan pasal 18.

Dengan demikian secara seingkat, dapat pula dibedakan bahwa hak eigendom atas tanah, pemilik (eigenaar) tanah yang bersangkutan mempunyai hak “mutlak” atas tanahnya, mengingat konsepsi hukum Barat dilandasi oleh jiwa dan pandangan hidup yang bersifat individualistis-materialistis. Sedangkan, Pasal 6 UUPA, hak milik mempunyai fungsi sosial, artinya :

a. Hak milik disamping memberi manfaat bagi pemiliknya, harus diusahakan sedapat mungkin bermanfaat bagi orang lain atau kepentingan umum. 
b. Penggunaan hak milik tersebut tidak boleh mengganggu ketertiban dan kepentingan umum.