Rabu, 26 Juni 2013

Analisis Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menimbulkan beberapa kritik terhadapnya. Misalnya ketentuan yang berkaitan dengan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR). Dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 pengertian CSR dinilai terlalu sempit, padahal konsep CSR terbaru versi ISO 26000 justru memberikan pengertian yang lebih luas dan terarah. CSR bukan hanya menyangkut tentang isu mempekerjakan warga sekitar atau membangun jalan dan mendirikan sekolah, tetapi juga bagaimana perusahaan menangani konsumen.

Pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Definisi ini tidak sejalan dengan Pasal 74 ayat (1) yang membatasi Tanggung Jawab Sosial hanya pada perusahaan industri ekstraktif.

Tata kelola perusahaan yang baik adalah wujud CSR. Tata kelola ini diwujudkan lagi dalam bentuk transparansi dan akuntabilitas. Laporan tahunan perusahaan tidak dapat menggambarkan secara jelan tentang konsep CSR sebagaimana dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007. Laporan perusahaan mestinya memperlihatkan kesinambungan (sustainable report) tindakan perusahaan dalam aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.[1]

Ukuran dan konsep CSR di Indonesia seharusnya mengikuti standar-standar global, maka penyesuaian konsep CSR dengan ISO 26000 sangat diperlukan. Konsep Guidance Standart on Social Responsibility dalam ISO sudah diperkenalkan sebelum Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 ini disahkan, sehingga pembuat undang-undang sudah semestinya bisa memperoyeksikan perkembangan. Sesungguhnyam ISO 26000 sudah menjadi rujukan dan konsep implementasi CSR di level internasional.[2]

Footnotes:
[1] Yanti Koestoer, Konsep CSR dalam UU Perseroan Terbatas Dinilai Keliru, 2012, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4cf753838408d/konsep-csr-dalam-uu-perseroan-terbatas-dinilai-keliru
[2] Ibid.

Analisis Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian

Koperasi atau Cooperative Organization bermakna organizatian owned by and operated for the benefit of those using its services atau dalam bahasa Indonesia diartikan bahwa organisasi koperasi adalah organisasi yang dimiliki sekaligus dioperasikan untuk kepentingan penggunaannya dalam hal ini adalah anggotanya.[1] Koperasi yang berawal dari kata “co” yang berarti bersama dan “operation” yang berarti bekerja, sehingga koperasi diartikan dengan “bekerja sama”. Sedangkan, pengertian umum koperasi adalah suatu kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan sama, diikat dalam suatu organisasi yang berasaskan kekeluargaan dengan maksud mensejahterakan anggota.

Gerakan koperasi digagas oleh Robert Owen (1771-1858) yang diterapkannya pertama kali pada usaha pemintalan kapas di New Lanark, Skotlandia. Gerakan koperasi ini dikembangkan lebih lanjut oleh William King (1786-1865) dengan mendirikan toko koperasi di Brighton, Inggris. Pada 1 Mei 1828, King menerbitkan publikasi bulanan yang bernama “The Cooperator” yang berisi berbagai gagasan dan saran-saran praktis tentang mengelola toko dengan menggunakan prinsip koperasi.[2]

Koperasi di Indonesia diperkenalkan oleh R. Aria Wiriatmadja di Purwokerto, Jawa Tengah pada Tahun 1896. Dia mendirikan koperasi kredit dengan tujuan membantu rakyatnya yang terjerat hutang dengan rentenir. Koperasi tersebut lalu berkembang pesat dan akhirnya ditiru oleh Boedi Utomo. Tokoh nasional yang dengan gigih mendukung koperasi adalah Moh. Hatta, wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama, sehingga beliau disebut dengan Bapak Koperasi Indonesia[3]. Secara resmi gerakan koperasi Indonesia baru lahir pada tanggal 12 Juli 1947 pada Kongres I di Tasikmalaya yang diperingati sebagai Hari Koperasi Indonesia.

Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip koperasi.[4] Koperasi ini diatur berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.

Lahirnya Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 menggantikan Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dinilai memiliki beberapa kelemahan dan mewarisi tradisi perkoperasian kolonial. Salah satu contohnya adalah semangat koperasi dihilangkan kemandiriannya dan disubordinasikan di bawah kepentingan kapitalisme maupun negara. Campur tangan pemerintah dan kepentingan pemilik modal besar sangat terbuka dalam undang-undang ini.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Koperasi dijelaskan bahwa koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip koperasi. Dari definisi tersebut mengandung makna koperasi sebagai badan hukum yang tidak ada bedanya dengan badan usaha uang lain. Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 masih berlandaskan pada azas perseorangan yang hampir sama dengan perusahaan kapitalistik seperti Perseroan.

Selain itu, dalam Pasal 75 Undang-Undang ini yang mengatur soal penyertaan modal tidak mengenal adanya pembatasan. Akibatnya, koperasi bisa kehilangan kemandiriannya dan anggotanya hanya sekadar dijadikan objek pinjaman bagi pemilik modal besar. Bahkan, Pasal 55 semakin mengancam kemandirian koperasi yang membolehkan kepengurusan koperasi dari luar anggota. Keberadaan Dewan Pengawas sebagaimana tercantum dalam Pasal 48 sampai Pasal 54 juga yang berfungsi layaknya lembaga superbody. Hal ini memudahkan keputusan koperasi di luar kepentingan anggotanya.[5]

Sebelumnya, kritik terhadap Undang-Undang Perkoperasian juga dilontarkan oleh Revrisond Baswir[6] bahwa Undang-Undang No. 17 Tahun 2001 tidak memiliki perbedaan substansial dengan Undang-Undang Perkoperasian era orde baru Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1967. Secara substansial, Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 masih mewarisi karakteristik/corak koperasi yang diperkenalkan di era pemerintahan Soeharto melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 1967.[7]

Perbedaan mendasar antara Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1958 di era pemerintahan Soekarno terletak pada ketentuan keanggotaan koperasi. Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1958, sebagaimana diatur pada Pasal 18, yang dapat menjadi anggota koperasi adalah yang mempunyai kepentingan dalam lapangan usaha koperasi. Ketentuan ini lebih lanjut menurut Revrisond sejalan dengan penjelasan Mantan Wakil Presiden Moh. Hatta bahwa “bukan corak pekerjaan yang dikerjakan menjadikan ukuran untuk menjadi anggota, melainkan kemauan dan rasa bersekutu dan cita-cita koperasi yang dikandung dalam dada dan kepala masing-masing”. [8]

Pada Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 ketentuan keanggotaan koperasi berubah secara mendasar. Hal ini tergambar dalam Pasal 11 bahwa keanggotaan koperasi didasarkan atas kesamaan kepentingan dalam lapangan usaha koperasi. Kemudian, pada Pasal 17 yang dimaksud dengan anggota yang memiliki kesamaan kepentingan adalah suatu golongan dalam masyarakat yang homogen. Perubahan ketentuan keanggotaan yang dilakukan melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 ini adalah dasar bagi tumbuhnya koperasi-koperasi golongan fungsional seperti koperasi pegawai negeri, koperasi dosen, dan koperasi angkatan bersenjata di Indonesia.

Undang-Undang Perkoperasi yang terbaru yaitu Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 juga mempertahankan keberadaan koperasi golongan fungsional. Pada Pasal 27 ayat (1), syarat keanggotaan koperasi primer adalah mempunyai kesamaan kepentingan ekonomi. Lebih lanjut dalam penjelasn disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kesamaan kepentingan ekonomi adalah kesamaan dalam hal kegiatan usaha, produksi, distribusi, dan pekerjaan atau profesi.

Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 membuka peluang untuk mendirikan koperasi produksi, namun di Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 peluang ini justru ditutup sama sekali. Hal ini terlihat pada Pasal 83, di mana hanya terdapat empat koperasi yang diakui keberadaannya di Indonesia, yaitu koperasi konsumen, koperasi produsen, koperasi jasa, dan koperasi simpan pinjam. Sesuai dengan Pasal 84 ayat (2) yang dimaksud dengan koperasi produsen dalah koperasi yang menyelenggarakan kegiatan usaha pelayanan di bidang pengadaan sarana produksi dan pemasaran produksi. Artinya, yang dimaksud dengan koperasi produsen sesungguhnya adalah koperasi konsumsi para produsen dalam memperoleh barang dan modal.[9]

Karakteristik Undang-Undang No, 17 Tahun 2012 yang mempertahankan koperasi golongan fungsional dan meniadakan koperasi produksi itu jelas paradoks dengan perkembangan koperasi yang berlangsung secara internasional. Dengan tujuan dapat digunakan sebagai dasar untuk menjadikan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat, justru Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 diwaspadai menjadi ancaman serius terhadap keberadaan koperasi di Indonesia.

Selain itu, pada Pasal 78 Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 mengatur koperasi dilarang membagikan profit apabila diperoleh dari hasil transaksi usaha dengan non-anggota, yang justru seharusnya surplus/profit sebuah koperasi sudah sewajarnya dibagikan kepada anggota. Hal ini cukup membuktikan ketidakberpihakan pemerintah kepada rakyat kecil. Hal mana yang sudah kita ketahui bersama bahwa koperasi sangat sulit melakukan transaksi dengan nilai laba tinggi kepada anggotanya, karena justru menekan laba/profit demi memberikan kesejahteraan kepada anggotanya. Bersikap tolak belakang dari ketentuan Pasal di atas, Pasal 80 menentukan bahwa dalam hal terdapay defisit hasil usaha pada koperasi simpan pinjam, anggota wajib menyetor tambahan Sertifikan Modal Koperasi. [10]

Berkaitan dengan lembaga Credit Union, khususnya di Provinsi Kalimantan Barat yang menjadi kontroversi, sebab Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 tidak sama sekali menyinggung soal Credit Union, padahal credit union berkembang sangat pesat di provinsi tersebut. Masyarakat Provinsi Kalimantan Barat lebih menyukai menggunakan fasilitas Credit Union daripada koperasi.[11]

Bagi penulis, tidak terlalu mempersoalkan hal tersebut jika credit union tidak dimasukkan dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2012. Hal ini dikarenakan, Credit Union sangatlah berbeda dengan sistem koperasi utamanya Koperasi Simpan Pinjam. Jika simpan pinjam di luar Credit Union modal bisa dari pihak luar yang kemudian dipinjamkan kepada anggotanya, maka di Credit Union bersifat swadaya, pendidikan, dan solidaritas.

Pinjaman yang diberikan kepada anggota Credit Union adalah murni dari modal yang tergabung di dalamnya dan bukan dari pinjaman yang berasal dari pihak ketiga. Jika Credit Union telah tidak masuk dalam Undang-Undang Perkoperasian, maka kedepan mungkin akan dibuatkan aturan yang lebih spesifik/khusus baik dari segi hukum materiil ataupun formalnya, agar lebih memberikan kepastian hukum. 

Referensi:

[1] Berdasarkan Britannica Concise Encyclopedia, dalam Bambang Supriyanto, Kritik Terhadap Koperasi (Serta Solusinya) Sebagai Media Pendorong Pertumbuhan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Jurnal Ekonomi & Pendidikan, Volume 4 Nomor 2, Nopember 2007, Hlm. 16-17. 
[2] Bambang Supriyanti, Kritik Terhadap...., Op.Cit., Hlm. 18. 
[3] Ibid. 
[4] Pengertian Koperasi, Lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. 
[5] Berdikari, Undang-Undang Perkoperasian Masih Dianggap Warisan Kolonial, 2013, http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20130427/uu-perkoperasian-dianggap-masih-warisan-kolonial.html
[6] Revrisond Baswir adalah ekonom progresif dari Universitas Gadjah Mada. 
[7] Ibid. 
[8] Ibid. 
[9] Ibid. 
[10] Irwan Walik (Kompasiana), Pemerintah yang Tidak Pro-Rakyat, 2013, http://hukum.kompasiana.com/2013/01/04/pemerintahan-yang-tidak-pro-rakyat-516368.html

Selasa, 04 Juni 2013

Bawang Goreng Palu dan Perlindungan Hukum Indikasi Geografis

Oleh:
MUSHAWWIR ARSYAD, SH
[P0903212002]

Pendahuluan

Bawang merah atau nama latinnya Allium cepa var aggregatum L. merupakan salah satu jenis tanaman yang biasa digunakan untuk bumbu penyedap dalam masakan, khususnya di daerah Asia termasuk Indonesia. Untuk mengenal lebih lanjut tentang taksonomi tanaman bawang merah, maka tanaman ini dapat diklasifikasikan berdasarkan urutan, sebagai berikut:[1]



· Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
· Sub-Kingdom : Tracheobionta (Tumbuhan Berpembuluh)
· Super Divisi : Spermatophyta (Penghasil Biji)
· Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
· Kelas : Liliopsida (Berkeping satu/monokotil)
· Sub-Kelas : Liliidae
· Ordo : Liliales
· Famili : Liliaceae (Suku bawang-bawangan)
· Genus : Allium
· Spesies : Allium Cepa var.Aggregatum L.

Bawang merah merupakan komoditas yang tergolong sayuran rempah. Di samping sebagai bahan makanan penambah cita rasa, bawang merah juga diperlukan untuk kesehatan tubuh sebagaimana tercantum dalam tabel 1., di mana bawang ini memiliki kandungan fosfor 49 gram dalam 100 gram bahan, kalori 39 gram dalam 100 gram bahan dan mengadung vitamin C, vitamin B1, protein, karbohidrat walaupun jumlahnya sedikit.

KOMPONEN KOMPOSISI
Vitamin (gr) 
Karbohidrat (gr) 
Protein (gr) 
Lemak (gr) 
Vitamin B1 (mg) 
Vitamin C (mg) 
Kalsium, CA (mg) 
Besi, Fe (mg) 
Fosfor, P (mg) 
Energi (kalori) 
Bahan yang dapat dimakan (%)
88,00 
9,20 
1,50 
0,30 
0,03 
2,00 
36,00 
0,80 
40,00 
39,00 
90,99

Bawang merah di samping mengandung mengandung vitamin C, kalium, serat, dan asam folat, kalsium, dan zat besi. Bawang merah juga mengandung zat pengatur tumbuh alami berupa hormon auksin dan giberelin. Kegunaan lain dari bawang merah adalah sebagai obat tradisional, bawang merah dikenal sebagai obat karena mengandung efek antiseptik dan senyawa alliin. Senyawa alliin oleh enzim alliinase selanjutnya diubah menjadi asam piruvat, amonia, dan alliisin sebagai anti mikoba yang bersifat bakterisida.[3]

Bawang merah dapat menurunkan kadar gula dan kolestrol darah, mencegah penebalan dan pengerasan pembuluh darah, serta maag. Senyawa Flavonols mengandung radikal bebas yang kuat dan antioxidan yang dapat mencegah dan melawan penyakit-penyakit cardiovascular dan colorectal cancers.[4] Tidak kurang 25 Flavonols yang berbeda dapat diidentifikasi pada bawang merah dalam bentuk quarcetin dan derivat quarcetin yang mendominasi cultivar bawang merah.[5]

Bawang merah dikenal hampir di setiap negara dan daerah di wilayah tanah air. Kalangan internasional menyebutnya sebagai shallot”. Bawang merah tergolong tanaman semusim, tanamannya berbentuk rumpun, akarnya serabut, batangnya pendek sekali yang hampir tidak nampak. Daunnya memanjang berbentuk silindris, pangkal daun berubah bentuk dan fungsinya yaitu membentuk umbi.

Bawang Merah memiliki bunga majemuk berbentuk tandan yang bertangkai dengan 50-200 kuntum bunga. Pada ujung dan pangkal tangkai mengecil dan dibagian tengah menggembung, bentuknya seperti pipa yang berlubang didalamnya. Tangkai tandan bunga ini sangat panjang, lebih tinggi dari daunnya sendiri dan mencapai 30-50 cm. Bunga bawang merah termasuk bunga sempurna yang tiap bunga terdapat benang sari dan kepala putik. Bakal buah sebenarnya terbentuk dari 3 daun buah yang disebut carpel, yang membentuk tiga buah ruang dan dalam tiap ruang tersebut terdapat 2 calon biji. Buah berbentuk bulat dengan ujung tumpul. Bentuk biji agak pipih. Biji bawang merah dapat digunakan sebagai bahan perbanyakan tanaman secara generatif.[6]

Bawang merah pada dasarnya lebih banyak dibudidayakan di daerah dataran rendah yang beriklim kering dengan suhu yang agak panas, dan cuaca cerah. Tanaman ini tidak menyukai tempat-tempat yang tergenang air, terutama becek. Walaupun demikian, tanaman bawang merah tetap membutuhkan air yang banyak terutama pada saat pembentukan umbi.

Karakteristik Bawang Merah Palu

Pada dasarnya, bawang merah terbagi atas beberapa jenis yang dapat dibedakan berdasarkan karakteristik atau kekhasan yang dimilikinya. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa jenis bawang merah yang memiliki kekhasan, salah satunya yang terdapat di Palu, Sulawesi Tengah. Komoditas ini dikembangkan oleh petani di Kabupaten Donggala terutama di Lembah Palu, sehingga biasa disebut dengan “Bawang Merah Palu”. Penggunaan nama ini kemudian diresmikan oleh Gubernur Sulawesi Tengah pada perayaan Hari Krida Pertanian tahun 2000 di Palu.

Bawang merah varietas Lembah Palu merupakan bahan baku industri pengolahan bawang goreng serta telah menjadi “brand lokal” Palu. Salah satu keunikan bawang ini yang membedakan dengan bawang merah lainnya adalah umbinya mempunyai tekstur yang padat sehingga menghasilkan bawang goreng yang renyah dan gurih serta aroma yang tidak berubah walaupun disimpan lama dalam wadah yang tertutup.[7]

Usaha pertanian Bawang Merah Palu sudah dimulai sejak puluhan tahun yang lalu terutama di sekitar Lembah Palu, Tinombo, Gontarano, dan beberapa daerah lainnya di Kabupaten Donggala. Bawang ini beradaptasi cukup baik pada daerah dataran rendah beriklim kering. Meskipun bawang merah Palu memiliki cita rasa yang khas, ciri-ciri morfologinya tidak banyak berbeda dengan bawang merah lainnya. 

Potensi lahan di Sulawesi Tengah masih cukup luas untuk pengembangan bawang merah yang didukung oleh curah hujan, suhu udara dan tanah yang sesuai serta sarana dan prasarana yang memadai. Khusus untuk Lembah Palu yang merupakan sentra pengembangan komoditas unggulan bawangmerah Palu, potensi lahan tersedia 2.608 ha. 

Tipe iklim di daerah tersebut termasuk E1, E2, dan E3 (menurut klasifikasi Oldeman), bulan kering lebih dari empat bulan, curah hujan rendah (400−1.000 mm/tahun), dan suhu udara tergolong panas (rata-rata 30–35o C). Kondisi ini menurut Rismunandar (1988) sangat cocok untuk pembentukan umbi (suhu 32–34o C).[8]

Bawang Goreng Palu

Pengolahan bawang goreng Palu terutama di sekitar Lembah Palu sudah mulai berkembang dari industri rumah tangga menjadi industri menengah dengan menggunakan mesin pengupas, pencuci, pengiris, dan pengepak. Berkembangnya industri pengolahan tersebut dapat mendorong petani untuk meningkatkan produksi bawang merah baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi.

Bawang merah biasanya digunakan sebagai bumbu penyedap masakan karena aromanya yang khas. Bawang merah Palu sebagian besar dibuat bawang goreng karena bawang goreng yang dihasilkan memiliki cita rasa yang khas dan tetap kering walaupun disimpan lama dalam kemasan yang tertutup rapat. Rasa khas dan kekeringan bawang merah Palu yang tidak sama dengan bawang lainnya menyebabkan bawang ini sangat disukai konsumen.

Bawang goreng khas Palu memang sangat berbeda dengan bawang goreng pada umumnya. Perbedaannya terletak pada jenis bawangnya sendiri, yaitu dikenal dengan bawang batu. Bentuknya kecil dan warnanya tidak semerah bawang merah pada umumnya, namun lebih keras. Menurut beberapa sumber, bawang jenis ini tidak bisa tumbuh di daerah-daerah lain di Indonesia. Bahkan, dari seluruh wilayah yang ada di Sulawesi Tengah, hanya tanah di daerah Palu yang cocok untuk bawang jenis ini. Kontur tanah di daerah Palu yang berpasir membuat bawang batu ini dapat tumbuh dengan subur dan berproduksi dengan baik. Selain itu, pemerintah setempat juga bekerjasama dengan perguruan tinggi dan kelompok tani setempat untuk menjadikan bawang ini sebagai komoditas unggulan dan sekaligus mempermudah para pengusaha untuk mendapatkan bahan baku pembuatan bawang goreng.

Pada tahun 2011, tercatat sekitar 38 industri bawang goreng yang tersebar di Kota Palu dengan berbagai macam merek seperti Garuda Jaya, Cendana, Sri Rejeki, Mustika, Raja, Bunga Kaili, Mahkota Palu, dan sebagainya. Beberapa dari mereka sudah memiliki distributor yang tersebar di seluruh Nusantara, bahkan hingga luar negeri. Selain itu, ada juga yang memasarkan produknya melalui jaringan internet, baik melalui website, blog, ataupun melalui jejaring sosial facebook dan twiter.[9]

Bawang goreng khas Palu memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan bawang goreng lainnya. Aroma bawang goreng ini khas dan lebih gurih jika dibandingkan dengan bawang goreng pada umumnya. Selain itu, teksturnya yang renyah membuat makanan ini dapat dimakan seperti mengonsumsi keripik. Bawang goreng khas Palu juga diproduksi secara higienis dari bawang pilihan yang bermutu, tanpa bahan pengawet, pewarna, maupun bahan perenyah.

Keunggulan lain dari bawang goreng khas Palu adalah dapat bertahan hingga dua tahun karena dikemas dengan menggunakan alumunium foil yang dapat menahan perubahan suhu dari luar sehingga kestabilan humidity atau kelembabannya tetap terjaga. Meskipun disimpan dalam waktu yang lama, bahkan di dalam kulkas sekalipun, bawang goreng khas Palu ini tetap tahan lama, aroma, dan kerenyahannya tetap tidak berkurang. Bagi Anda yang mengidap penyakit kolestrol, tidak perlu khawatir karena bawang goreng khas Palu digoreng dengan menggunakan minyak goreng nonkolestrol. Tidak hanya itu, bawang goreng ini juga sudah mendapatkan sertifikasi dari badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) sehingga aman untuk dikonsumsi.[10]

Bawang merah Palu dipanen setelah berumur 65−70 hari. Setelah dipanen sebaiknya bawang langsung diolah menjadi bawang goreng karena bila ditunda, mutu bawang goreng yang dihasilkan akan menurun. Menurut Hartuti dan Sinaga (1995), penyimpanan dalam bentuk umbi menyebabkan terjadinya berbagai perubahan akibat proses fisiologis, biologis, fisik, kimia, dan mikrobiologis. Selama penyimpanan, senyawa yang menentukan bau dan cita rasa terutama senyawa sulfida akan menguap dari umbi.

Pada awalnya, pengolahan umbi menjadi bawang goreng masih dilakukan dalam skala rumah tangga. Dengan semakin berkembangnya berbagai usaha bisnis makanan yang menggunakan bawang goreng, maka permintaan terhadap bawang goreng Palu semakin meningkat, sehingga para pengusaha mulai mengembangkan usahanya untuk memproduksi bawang goreng dalam skala besar. Beberapa perusahaan mengolah bawang merah Palu menjadi bawang goreng dengan menggunakan mesin pemotong dan penggoreng berkapasitas satu ton bawang basah per hari.

Bawang goreng Palu juga diekspor ke Singapura dan Malaysia serta dipasarkan ke daerah-daerah lain di Indonesia seperti Kalimantan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Jawa. Harga bawang merah Palu sekitar Rp 6.000/kg, sedangkan harga bawang goreng kemasan sekitar Rp 50.000/kg.[11]

Perlindungan Hukum "Indikasi Geografis" Bawang Goreng Palu

Indikiasi geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal barang uang dikaitkan dengan kualitas, reputasi atau karakteristik lain yang sesuai dengan asal geografis barang tersebut. Indikasi Geografis adalah indikasi-indikasi atau tanda yang karena faktor lingkungan geografis, faktor alam, faktor manusia atau kombinasinya, dapat mengidentifikasikan bahwa suatu barang berasal dari suatu daerah, di mana mutu yang dihasilkan, reputasi atau sifat-sifat lain barang tersebut dapat dicirikan secara mendasar terhadap asal geografisnya.

Perlindungan terhadap Indikasi Geografis merupakan hal baru dalam sistem perlindungan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia. Sistem perlindungan terhadap indikasi geografis diatur dalam Perjanjian TRIPs yang mewajibkan negara-negara anggota untuk menyusun peraturan tentang indikasi geografis dengan tujuan memberikan perlindungan hukum terhadap praktik atau tindakan persaingan tidak sehat.[12]

Perlindungan hukum Indikasi Geografis terhadap tanda yang mengidentifikasi suatu wilayah negara atau kawasan atau daerah di dalam wilayah tersebut sebagai asal barang, di mana reputasi, kualitas dan karakterisitik barang tersebut sangat ditentukan oleh faktor geografis. Indonesia merupakan negara mega diversity, negara dengan keragaman budaya dan sumber daya alam. Banyak produk unggulan dihasilkan di Indonesia dan mendapatkan tempat di pasar internasional. Sebagai contoh, Kopi Arabika Kintamani Bali, Java Coffee, Kopi Arabika Mandailing, Lada Putih Muntok, dan tentunya Bawang Merah “Goreng” Palu, serta masih banyak lainnya.[13]

Produk tersebut telah lama dikenal oleh konsumen di berbagai negara. Sejak dahulu hingga sekarang produk tersebut masih diperdagangkan. Dengan semakin ketatnya persaingan, perdagangan suatu produk akan tetap mendapat permintaan tinggi apabila ciri khas dan kualitas bisa dipertahankan serta dijaga konsistensinya. Peningkatan mutu saja kini dirasa tidak cukup untuk menjadikan suatu produk akan tetap bertahan di pasar, tetapi juga bisa menghilangkan produk imitasi yang beredar sehingga eksistensi mutu produk dapat dipertahankan.[14]

Suatu produk yang bermutu khas dan terkenal tentu banyak ditiru orang sehingga perlu diupayakan perlindungan hukum yang memadai bagi produk-produk tersebut. Dalam beberapa kasus telah terbukti bahwa nama produk Indonesia seperti Lada Putih Muntok atau Muntok White Pepper telah banyak digantikn dengan produk serupa dari Vietnam, China, atau daerah lain yang diperdagangkan dengan nama Muntok White Pepper. Contoh lainnya adalah Kopi Arabika Gayo telah didftarkan sebagai merek dagang oleh pihak asing dan akibtnya eksportir asal Gayo yaitu Aceh dilarang memasukkan produknya ke Eropa dengan nama Gayo. Demikian pula yang terjadi dengan Kopi Toraja, yang mana Key Coffee Corporation dari Jepang mendaftarkan merek “Toarco Toraja” dengan nomor pendaftaran 75884722..[15]

Akibat hukum adanya pendaftaran merek Toraja di Jepang, tentunya menghalangi eksportir kopi dari Indonesia untuk memasukkan produk kopi yang menggunakan tanda dengan nama Toraja. Perlindungan hukum Hak Kekayaan Intelektual bersifat teritorial. Ironis bagi pihak Indonesia wilayah geografis dari mana Kopi Toraja itu berasal, manakala pihak asing justru berebut karena nilai aset dan peluang bisnisnya. Walaupun aset tersebut secara de facto telah lama dimiliki, tetapi perlindungannya mensyaratkan kepemilikan yang bersifat yuridis normatif, yaitu pendaftaran kepemilikan. Tentunya pada saat kopi dengan nama dagang beserta gambar rumah adat Toraja terdaftar sebagai Merek di Jepang, perkembangan hukum Merek di Indonesia belum sampai tahap pemahaman konsep perlindungan Indikasi Geografis.[16]

Secara spesifik, indikasi geografis[17] perlu mendapatkan perlindungan, karena:
  1. Indikasi geografis merupakan tanda pengenal atas barang yang berasal dari wilayah tertentu atau nama dari barang yang dihasilkan dari suatu wilayah tertentu dan secara tegas tidak bisa dipergunakan untuk produk sejenis yang dihasilkan dari wilayah lain.
  2. Indikasi geografis merupakan indikator kualitas yang menginformasikan kepada konsumen bahwa barang tersebut dihasilakan dari suatu lokasi tertentu di mana pengaruh alam sekitar menghasilkan kualitas barang dengan karakteristik tertentu yang terus dipertahankan reputasinya.
  3. Indikasi geografis memberikan nilai tambah komersial terhadap produk karena keoriginalitasannya dan limitasi produk yang tidak bisa diproduksi di daerah lain.
  4. Berdasarkan perjanjian TRIPs, indikasi geografis ditetapkan sebagai bagian dari hak milik intelektual yang hak kepemilikannya dapat dipertahankan dari segala tindakan melawan hukum dan persaingan yang tidak sehat.
Oleh karena itu, perlu ada perhatian khusus dari seluruh pihak termasuk pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat agar kejadian sebagaimana dijelaskan di atas tidak terulang. Salah satu yang perlu mendapat perlindungan saat ini adalah “Bawang Goreng Palu” yang telah lama di kembangkan di Lembah Palu, Sulawesi Tenggara.

Footnotes

[1] Plantamor, 2012, Informasi Spesies Bawang Merah, http://www.plantamor.com/index.php?plant=56
[2] Data diperoleh dari Direktorat Gizi, Dep. Kesehatan. 
[3] Ibid. 
[4] Ambarwati, E. Dan P. Yudono, 2003, Keragaan Stabilitas Hasil Bawang Merah. J.Ilmu Pertanian Vol.10 (2), hlm. 1-10. 
[5] Abdul Rahim dkk, Daya Adaptasi dan Potensi Hasil Bawang Merah Varietas Lembah Palu, Makassar: Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, hlm. 2. 
[6] Ibid. 
[7] Limbongan dan Maskar, 2003, Potensi Pengembangan dan Ketersediaan Teknologi Bawang Merah Palu di Sulawesi Tengah, Litbang Pertanian, hlm. 103-108. 
[8] Ibid. 
[10] Ibid. 
[11] Monde, 1987, Pengaruh Berbagai Dosis Pupuk Kandang pada Dua Varietas Bawang Merah, Palu: Fakultas Pertanian Universitas Tadulako. 
[13] Saky Septiono, 2012, Perlindungan Indikasi Geografis dan Potensi Indikasi Geografis Indonesia. http://www.scribd.com/doc/20980646/Perlindungan-Indikasi-Geografis-dan-Daftar-Potensi-Indikasi-Geografis-Indonesia
[14] Ibid. 
[15] Ibid. 
[16] Ardianti Kuncoro, 2012, Perlindungan Indikasi geografis Aset Nasional dari Pendaftaran oleh Negara Lain. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fd1bd073c3a6/perlindungan-indikasi-geografis-aset-nasional-dari-pendaftaran-oleh-negara-lain
[17] Anonim, 2012, Indikasi Geografis, http://haki.unram.ac.id/indikasi-geografis/