Kamis, 10 Januari 2013

Perkembangan Politik Hukum di Bidang Perburuhan di Indonesia

Usaha memperbaiki kehidupan buruh dilakukan terus menerus. Metode dan sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut beragam. Salah satu sarana yang digunakan untuk memperbaiki kehidupan buruh adalah hukum. Oleh sekelompok orang, yaitu pembentuk peraturan perundang-undangan, secara sadar hukum digunakan sebagai sarana untuk mengubah atau merekayasa masyarakat menuju ke arah tujuan yang ingin dicapai. Dalam fungsi ini hukum dikenal sebagai law as a tool of social engineering.
Selama lebih dari dari setengah abad sejak kemerdekaan Republik Indonesia sampai dengan menjelang tahun 2000 telah dihasilkan sejumlah undang-undang di bidang perburuhan dengan tujuan utama memperbaiki kehidupan buruh. Beberapa di antara undang-undang tersebut adalah:
  1. Undang-Undang tentang Kecelakaan Tahun 1947 No. 33;
  2. Undang-Undang No. 12 Tahun 1948 tentang Undang-Undang Kerja Tahun 1948;
  3. Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 No. 23;
  4. Undang-Undang No. 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan;
  5. Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan;
  6. Undang-Undang No. 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing;
  7. Undang-Undang No. 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana;
  8. Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta;
  9. Undang-Undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja;
  10. Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
  11. Undang-Undang No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan;
  12. Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
  13. Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.
Kelahiran sejumlah undang-undang tersebut dilatarbelakangi oleh sumber hukum material yang ada pada waktu itu. Sebagai contoh adalah kelahiran Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 . beberapa tahun sebelum undang-undang tersebut lahir, banyak terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagai akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada saat itu. Untuk mencegah PHK besar-besaran dan dilakukan secara sewenang-wenang diperlukan pranata hukum yang bisa mencegah atau meminimalkan terjadinya PHK. Pranata hukum yang dimaksud adalah Undang-Undang No. 12 Tahun 1964.

Salah satu persyaratan untuk melakukan PHK menurut undang-undang ini adalah izin. Lembaga izin ini diadakan dengan maksud untuk mengawasi agar jika terpaksa dilakukan PHK, maka PHK tersebut dilakukan tanpa kesewenang-wenangan dan hak-hak buruh tetap dipenuhi. Undang-undang ini berlaku lebih dari empat puluh tahun. Sayangnya, PHK tetap saja terjadi dan sering dilakukan secara sewenang-wenang.

Keberadaan sejumlah undang-undang tersebut ternyata tidak mampu sepenuhnya mengubah kehidupan buruh menjadi lebih baik. Sejumlah undang-undang yang sesungguhnya diharapkan mampu mengubah kehidupan buruh ternyata hanya mampu sekadar mengisi kekosongan atau kevakuman hukum saja. Oleh karena itu, upaya-upaya terus dilakukan oleh buruh dan sejumlah unsur masyarakat yang mempunyai perhatian terhadap buruh untuk mendesak pihak-pihak yang berwenang agar mengadakan perubahan terhadap sejumlah undang-undang tersebut. Sebagai jawaban atas desakan ini lahirlah Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.

Ironinya, kehadiran Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 justru disambut gelombang protes dari banyak unsur masyarakat, terutama buruh dan unsur masyarakat yang mempunyai perhatian terhadap buruh. Pihak-pihak yang protes ini beralasan bahwa Undang-Undang No. 25 Tahun1997 hanya mendatangkan kepastian hukum yang cenderung menguntungkan pengusaha, tetapi tidak akan memperbaiki kehidupan buruh. Lebih jauh mereka mengatakan bahwa undang-undang itu hanya akan melegalkal dominasi pengusaha terhadap buruh.

Protes yang begitu besar dan dahsyat membuat Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie yang baru beberapa bulan menjabat presiden menggantikan Presiden Soeharto yang menyatakan berhenti, berinisiatif untuk menunda berlakunya undang-undang tersebut. Inisiatif tersebut disambut baik oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Perlu dicatat bahwa Pasal 199 Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 menegaskan “undang-undang ini berlaku pada tanggal 1 Oktober 1998” yang berarti satu tahun sejak ditetapkan, yaitu 3 Oktober 1997.

Lewat Undang-Undang No. 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, berlakunya Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 ditunda selama dua tahun. Pasal I undang-undang tersebut menegaskan “Ketentuan Pasal 199 Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 diubah sebagai berikut: Pasal 199: Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan mulai berlaku pada 1 Oktober 2000”.

Undang-undang ini ditetapkan pada tanggal 10 November 1998. Meskipun secara praktis tidak berpengaruh, namun secara secara teori mulai tanggal 1 Oktober 1998 sampai dengan 9 November 1998 Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 secara normatif berlaku sebagai undang-undang. Menurut teori hukum alam, hal tersebut dapat dipersoalkan, tetapi krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan beberapa negara di Asia pada waktu pertengahan hingga akhir 1998 tidak memberikan ruang berpikir yang cukup untuk membahas hal-hal yang amat teoritis tersebut.

Alasan resmi penundaan berlakunya undang-undang tersebut adalah bahwa perkembangan keadaan politik, ekonomi, dan sosial dewasa ini yang melahirkan nilai dan aspirasi baru dalam masyarakat, khususnya di bidang ketenagakerjaan, perlu diakomodasikan melalui perubahan dan penyempurnaan Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.

Ternyata waktu dua tahun tidak cukup untuk mengubah atau menggantikan Undang-Undang No. 25 Tahun 1997. Oleh karena itu, lewat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) No. 3 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan berlakunya Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 ditunda lagi. Pasal 1 PERPU tersebut menegaskan, “ketentuan pasal 199 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan diubah menjadi sebagai berikut:pasal 199: Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 2002”.

Sejak reformasi bergulir, kecenderungan yang ada bukan lagi mengubah Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997, melainkan menggantikannya sesuai dengan nilai-nilai baru, aspirasi masyarakat, perkembangan politik, ekonomi dan sosial. Di dalam penjelasan umum PERPU Nomor 3 Tahun 2000 ditegaskan bahwa untuk melakukan perubahan dan penyempurnaan tersebut, melalui Amanat Presiden Nomor R. 11/PU/V/2000 tanggal 8 Mei 2000 pemerintah telah mengajukan kepada DPR RI Rancangan Undang-undang tentang Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan sebagai pengganti Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.

Tanggal 25 Maret 2003 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan lahir. Dengan demikian peristiwa antara tanggal 1 Oktober 1998 sampai dengan 9 November 1998 terulang lagi. Kini rentang waktunya antara 1 Oktober 2002 sampai dengan 24 Maret 2003. Pada rentang waktu ini secara normatif Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 berlaku. Oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 dinyatakan tidak berlaku (lihat pasal 192 angka 13).

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 merupakan bagian rangkaian pembaruan hukum perburuhan di Indonesia. Undang-undang lain yang juga merupakan bagian rangkaian pembaruan hukum perburuhan adalah (1) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh dan (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Referensi:
Abdul R. Budiono, 2009, Hukum Perburuhan, Jakarta: Indeks.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar