Teori hukum alam dapat dikatakan sebagai sebuah paradigma yang paling tua dan sekaligus paling besar pengaruhnya bagi perkembangan ilmu hukum sampai hari ini. Teori-teori hukum yang dikembangkan setelah periode hukum alam sesungguhnya merupakan pengembangan/ penyempurnaan saja dari paradigma hukum alam. Dalam teori hukum alam, hukum dianggap sebagai nilai universal yang selalu hidup di setiap sanubari manusia, masyarakat, maupun negara. Hal ini disebabkan karena hukum niscaya harus tunduk pada batasan-batasan moral yang menjadi guideline bagi hukum itu sendiri.
Bahkan disebutkan bahwa di atas sistem hukum positif negara, ada sebuah sistem hukum yang lebih tinggi (lex divina), bersifat Ketuhanan yang berdasarkan atas akal budi atau hukum alam itu sendiri, sehingga hukum alam lebih superior dibandingkan dengan hukum negara. Hal ini terjadi karena adanya keabsahan dari norma-norma yang bukan makna dari tindakan kemauan manusia; karena itu nilai-nilai yang dibentuk adalah sama sekali tidak sewenang-wenang (arbitraiy), subjektif, atau pun relatif. Hukum alam tampil sebagai suatu hukum yang dari akal budi (reason) manusia dan menyalurkan hasrat penyelidikan tentang tindakan kemauan dari seseorang yang menampilkan diri (bertindak) sebagai legislator moral atau hukum. [1]
Kekuatan utama dari paradigma/aliran ini tidak hanya bertumpu pada nilai moralitas semata, namun juga berorientasi pada pencapaian nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Para pemikir hukum alam berkeyakinan bahwa keadilan merupakan sebuah nilai esensial (essential value) dari hukum, bahkan keduanya sering diidentikkan sebagai sebuah nilai yang tunggal dan menyatu. Hukum memiliki banyak tujuan dalam dirinya, karena hukum tidak hanya berfungsi sebagai sebuah alat untuk menegakkan keadilan (as a tool), namun juga berfungsi sebagai “cermin” rasa keadilan dan kedaulatan rakyat dalam suatu negara. [2]
Keadilan merupakan tujuan utama dari aliran hukum alam. Menurut Plato (427-347 SM) yang juga merupakan murid dari Socrates (399 SM), kekuatan moral adalah unsur dari hakikat hukum, sebab tanpa adanya moralitas, maka hukum akan kehilangan supremasi dan independensinya. Keadilan atau ketidakadilan menurut hukum akan diukur oleh nilai moralitas yang mengacu pada harkat dan martabat manusia. Moral tidak lain merupakan anasir yang memungkinkan hukum memiliki sifat universal dan karena hukum dimengerti sebagai yang menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik, kesejahteraan bersama, dan keadilan sosial.[3]
Lebih lanjut, Aristoteles berpendapat bahwa keadilan haruslah dibagikan oleh negara kepada setiap penduduk/warga negara dan hukum yang baik adalah hukum yang menjaga agar keadilan sampai kepada semua orang tanpa terkecuali dan non-diskriminatif. Secara eksplisit, Aristoteles menyatakan bahwa “keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak”.[4] Plato dan Aristoteles merupakan pelopor dari paradigma hukum alam yang banyak memengaruhi pikiran-pikiran filsuf Romawi Kuno seperti St. Agustinus dan Thomas Aquinas, yang keduanya merupakan tokoh-tokoh pembaruan hukum alam.
St. Agustinus menekankan pentingnya keadilan dalam setiap hembusan napas hukum negara. Dia mengatakan bahwa “hukum yang tidak adil sama sekali bukan hukum”. St. Agustinus juga membedakan antara hukum ilahi (jus divinum) dan hukum manusia (jus humana). Apa yang disebut dengan hukum alam adalah hukum ilahi, sedangkan jus humana adalah kebiasaan (customs).[5]
Bahkan disebutkan bahwa di atas sistem hukum positif negara, ada sebuah sistem hukum yang lebih tinggi (lex divina), bersifat Ketuhanan yang berdasarkan atas akal budi atau hukum alam itu sendiri, sehingga hukum alam lebih superior dibandingkan dengan hukum negara. Hal ini terjadi karena adanya keabsahan dari norma-norma yang bukan makna dari tindakan kemauan manusia; karena itu nilai-nilai yang dibentuk adalah sama sekali tidak sewenang-wenang (arbitraiy), subjektif, atau pun relatif. Hukum alam tampil sebagai suatu hukum yang dari akal budi (reason) manusia dan menyalurkan hasrat penyelidikan tentang tindakan kemauan dari seseorang yang menampilkan diri (bertindak) sebagai legislator moral atau hukum. [1]
Kekuatan utama dari paradigma/aliran ini tidak hanya bertumpu pada nilai moralitas semata, namun juga berorientasi pada pencapaian nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Para pemikir hukum alam berkeyakinan bahwa keadilan merupakan sebuah nilai esensial (essential value) dari hukum, bahkan keduanya sering diidentikkan sebagai sebuah nilai yang tunggal dan menyatu. Hukum memiliki banyak tujuan dalam dirinya, karena hukum tidak hanya berfungsi sebagai sebuah alat untuk menegakkan keadilan (as a tool), namun juga berfungsi sebagai “cermin” rasa keadilan dan kedaulatan rakyat dalam suatu negara. [2]
Keadilan merupakan tujuan utama dari aliran hukum alam. Menurut Plato (427-347 SM) yang juga merupakan murid dari Socrates (399 SM), kekuatan moral adalah unsur dari hakikat hukum, sebab tanpa adanya moralitas, maka hukum akan kehilangan supremasi dan independensinya. Keadilan atau ketidakadilan menurut hukum akan diukur oleh nilai moralitas yang mengacu pada harkat dan martabat manusia. Moral tidak lain merupakan anasir yang memungkinkan hukum memiliki sifat universal dan karena hukum dimengerti sebagai yang menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik, kesejahteraan bersama, dan keadilan sosial.[3]
Lebih lanjut, Aristoteles berpendapat bahwa keadilan haruslah dibagikan oleh negara kepada setiap penduduk/warga negara dan hukum yang baik adalah hukum yang menjaga agar keadilan sampai kepada semua orang tanpa terkecuali dan non-diskriminatif. Secara eksplisit, Aristoteles menyatakan bahwa “keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak”.[4] Plato dan Aristoteles merupakan pelopor dari paradigma hukum alam yang banyak memengaruhi pikiran-pikiran filsuf Romawi Kuno seperti St. Agustinus dan Thomas Aquinas, yang keduanya merupakan tokoh-tokoh pembaruan hukum alam.
St. Agustinus |
Thomas Aquinas |
Di sisi lain, Thomas Aquinas menyatakan bahwa: “semua hukum buatan manusia dalam penalarannya memiliki kedudukan sebagai yang diturunkan dari hukum alam, jika suatu aspek hukum tidak diturunkan oleh hukum alam, maka hukum tersebut cacat sebagai hukum, hukum tersebut tidak dapat memberikan keadilan dan itu bukanlah hukum.” Thomas Aquinas menggambarkan hukum alam sebagai puncak hierarki hukum abadi, dimaknai suatu pengaturan rasional atas segala sesuatu di mana Tuhan yang menjadi penguasa alam semesta.
Dari penjelasan di atas, dapat terlihat bahwa hukum alam sebenarnya bukan suatu jenis hukum, tetapi penamaan seragam untuk banyak ide yang dikelompokkan menjadi satu nama, yaitu “Hukum Alam”. Esensi dari hukum alam dapat disimpulkan sebagai berikut:[6]
Referensi
[1] B. Arief Sidharta, Hukum dan Logika, Bandung: Alumni, 2000, hlm. 35.
[2] Moh. Mahfud MD, Bahan Kuliah Politik Hukum, Program Pascasarjana UII, hlm. 12.
[3] W. Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktik, Bandung: Remaja Karya, 1986, hlm. 134.
[4] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum..., Op.Cit., hlm. 163.
[5] Rapar, Filsafat Politik Agustinus, Jakarta: Rajawali Pers, 1989, hlm. 7.
[6] Pendapat Dias dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum...., Op.Cit., hlm. 231.
Dari penjelasan di atas, dapat terlihat bahwa hukum alam sebenarnya bukan suatu jenis hukum, tetapi penamaan seragam untuk banyak ide yang dikelompokkan menjadi satu nama, yaitu “Hukum Alam”. Esensi dari hukum alam dapat disimpulkan sebagai berikut:[6]
- Merupakan ideal-ideal yang menuntut perkembangan hukum dan pelaksanaannya,
- Suatu dasar dalam hukum yang bersifat moral, yang menjaga jangan sampai terjadi suatu pemisahan secara total antara “yang ada sekarang” dan “yang seharusnya”,
- Suatu metode untuk menemukan hukum yang sempurna,
- Isi dari hukum yang sempurna, yang dapat dideduksikan melalui akal, Suatu kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum.
Referensi
[1] B. Arief Sidharta, Hukum dan Logika, Bandung: Alumni, 2000, hlm. 35.
[2] Moh. Mahfud MD, Bahan Kuliah Politik Hukum, Program Pascasarjana UII, hlm. 12.
[3] W. Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktik, Bandung: Remaja Karya, 1986, hlm. 134.
[4] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum..., Op.Cit., hlm. 163.
[5] Rapar, Filsafat Politik Agustinus, Jakarta: Rajawali Pers, 1989, hlm. 7.
[6] Pendapat Dias dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum...., Op.Cit., hlm. 231.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar