Antropologi merupakan kajian atau ilmu yang terpisah dari hukum. Secara harfiah, antropologi berarti “the study of man” (studi tentang manusia) yang muncul sekitar abad ke-19. Salah satu objek kajian utama antropologi adalah kultur.
Dalam kacamata antropologi, tempat hukum di dalam kultur masyarakat sangat luas. Hukum meliputi suatu pandangan masyarakat tentang kebutuhannya untuk bertahan (survive), yang mengatur produksi dan distribusi kekayaan dan metodenya untuk melindungi masyarakat terhadap kekacauan internal dan musuh dari luar.
Menurut Prof. T.O. Ihromi, objek kajian antropologis tentang hukum adalah:[1]
a. Hukum bukan barat;
b. Hukum dalam masyarakat yang belum kompleks;
c. Hukum tidak tertulis; dan
d. Hukum rakyat/lokal.
Milanowski melihat bahwa pranata-pranata (institutions) sebagai kelompok yang disatukan di dalam kewajiban-kewajiban umum, yang menggunakan suatu bentuk yang pantas dari aparat dan membutuhkan suatu mekanisme dari pelaksanaan hukum yang di dasarkan pada unsur-unsur yang bersifat timbal balik dan pengaruh yang sistematis dari kewajiban-kewajiban hukum. Milanowski menganut pandangan bahwa hukum dipertahankan dan ditaati berdasarkan tekanan prinsip timbal balik dan prinsip publisitas yang ada dalam struktur masyarakat. Apa yang dimaksudknan oleh Milanoski pada dasarnya bukanlah hukum, melainkan kebiasaan.[2]
Ajaran Paul Bohannan yang paling khas dan terkenal adalah “a double legitimacy”. Ia berpandangan bahwa seluruh kaidah hukum berasal dari kaidah-kaidah non-hukum lain yang sudah ada sebelumnya. Tidak ada kaidah hukum yang langsung lahir sebagai kaidah hukum, tetapi keseluruhannya melalui proses legitimasi kembali (double legitimacy).[3]
Bagi, Bohannan, hukum sebaiknya dipikirkan sebagai seperangkat kewajiban-kewajiban yang mengikat dipandang sebagai hak oleh satu pihak dan diterima sebagai kewajiban oleh pihak lain. Hukum telah dilegitimasi kembali dalam pranata-pranata hukum agar masyarakat dapat terus berfungsi dengan cara teratur berdasarkan aturan-aturan yang dipertahankan melalui cara tersebut.[4]
Referensi
[1] Ihromi, Antropologi dan Hukum, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984, hlm. 29.
[2] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Edisi Kedua), Bogor Selatan: Ghalia Indonesia, 2008, hlm. 211.
[3] Ibid., hlm. 212.
[4] Ibid.,
Dalam kacamata antropologi, tempat hukum di dalam kultur masyarakat sangat luas. Hukum meliputi suatu pandangan masyarakat tentang kebutuhannya untuk bertahan (survive), yang mengatur produksi dan distribusi kekayaan dan metodenya untuk melindungi masyarakat terhadap kekacauan internal dan musuh dari luar.
Menurut Prof. T.O. Ihromi, objek kajian antropologis tentang hukum adalah:[1]
a. Hukum bukan barat;
b. Hukum dalam masyarakat yang belum kompleks;
c. Hukum tidak tertulis; dan
d. Hukum rakyat/lokal.
Milanowski melihat bahwa pranata-pranata (institutions) sebagai kelompok yang disatukan di dalam kewajiban-kewajiban umum, yang menggunakan suatu bentuk yang pantas dari aparat dan membutuhkan suatu mekanisme dari pelaksanaan hukum yang di dasarkan pada unsur-unsur yang bersifat timbal balik dan pengaruh yang sistematis dari kewajiban-kewajiban hukum. Milanowski menganut pandangan bahwa hukum dipertahankan dan ditaati berdasarkan tekanan prinsip timbal balik dan prinsip publisitas yang ada dalam struktur masyarakat. Apa yang dimaksudknan oleh Milanoski pada dasarnya bukanlah hukum, melainkan kebiasaan.[2]
Ajaran Paul Bohannan yang paling khas dan terkenal adalah “a double legitimacy”. Ia berpandangan bahwa seluruh kaidah hukum berasal dari kaidah-kaidah non-hukum lain yang sudah ada sebelumnya. Tidak ada kaidah hukum yang langsung lahir sebagai kaidah hukum, tetapi keseluruhannya melalui proses legitimasi kembali (double legitimacy).[3]
Bagi, Bohannan, hukum sebaiknya dipikirkan sebagai seperangkat kewajiban-kewajiban yang mengikat dipandang sebagai hak oleh satu pihak dan diterima sebagai kewajiban oleh pihak lain. Hukum telah dilegitimasi kembali dalam pranata-pranata hukum agar masyarakat dapat terus berfungsi dengan cara teratur berdasarkan aturan-aturan yang dipertahankan melalui cara tersebut.[4]
Referensi
[1] Ihromi, Antropologi dan Hukum, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984, hlm. 29.
[2] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Edisi Kedua), Bogor Selatan: Ghalia Indonesia, 2008, hlm. 211.
[3] Ibid., hlm. 212.
[4] Ibid.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar