Selasa, 02 Juli 2013

Konsep Pemilikan Tanah Berdasarkan Hukum Adat

Konsepsi atau falsafah yang mendasari hukum adat mengenai tanah adalah konsepsi komunalistik religius. Hal itu sejalan dengan pandangan hidup masyarakat Indonesia asli dalam memandang hubungan antara manusia pribadi dengan masyarakat yang selalu mengutamakan/mendahulukan kepentingan masyarakat. Soepomo menjelaskan bahwa di dalam hukum adat, manusia bukan individu yang terasing bebas dari segala ikatan dan semata-semata mengingat keuntungan sendiri, melainkan adalah anggota masyarakat. 

Konsep tanah dalam hukum adat juga dianggap merupakan benda berjiwa yang tidak boleh dipisahkan persekutuannya dengan manusia. Tanah dan manusia, meskipun berbeda wujud dan jati diri, namun merupakan suatu kesatuan yang saling mempengaruhi dalam jalinan susunan keabadian tata alam (cosmos), besar (macro cosmos), dan kecil (micro cosmos). Tanah dipahami secara luas meliputi semua unsur bumi, air, udara, kekayaan alam, serta manusia sebagai pusat, maupun roh-roh di alam supranatural yang terjalin secara menyeluruh dan utuh.[1]

Di dalam hukum adat, yang primer bukanlah individu, melainkan masyarakat. Karena itu, menurut tanggapan hukum adat, kehidupan individu adalah kehidupan yang terutama diperuntukkan buat mengabdi kepada masyarakat. Oleh karena itu, maka hak-hak yang diberikan kepada individu adalah berkaitan dengan tugasnya dalam masyarakat. Berdasarkan konsepsi itu pulalah, maka tanah ulayat sebagai hak kepunyaan bersama dari suatu masyarakat hukum adat dipandang sebagai tanah-bersama.

Tanah bersama sebagai pemberian/anugerah dari suatu kekuatan gaib, bukan dipandang sebagai sesuatu yang diperoleh secara kebetulan atau karena kekuatan daya upaya masyarakat adat tersebut. Oleh karena hak ulayat yang menjadi lingkungan pemberi kehidupan bagi masyarakat adat dipandang sebagai tanah bersama, sehingga semua hak-hak perorangan bersumber dari tanah bersama tersebut. Mengacu pada pemahaman konsepsi di atas, berarti sesungguhnya hak atas tanah menurut hukum adat terdiri dari dua bentuk, yaitu hak ulayat (komunal) dan hak individu.

Hak ulayat merupakan hak penguasaan atas tanah tertinggi dalam hukum adat. Dari hak ulayat, karena proses individualisasi dapat lahir hak-hak perorangan (hak individual). Istilah hak ulayat disebut oleh van Vollen Hoven sebagai beschikkingrecht, oleh Soepomo disebut Hak Pertuan, Teer Haar mengistilahkannya sebagai Hak Pertuanan, dan masyarakat minang menyebutnya dengan kosa kata ulayat.

Menurut Purnadi Purbacaraka[2], hak ulayat adalah hak atas tanah yang dipegang oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat secara bersama-sama (komunal). Dengan ha ulayat ini, masyarakat hukum adat yang bersangkutan menguasai tanah tersebut secara menyeluruh. Menurut Boedi Harsono[3], hak ulayat adalah hak dari suatu masyarakat hukum adat atas lingkungan tanah wilayahnya yang memberi wewenang-wewenang tertentu kepada penguasa adat untuk mengatur dan memimpin penggunaan tanah wilayah masyarakat hukum adat tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hak ulayat adalah hak masyarakat hukum adat terhadap tanah di wilayahnya berupa wewenang menggunakan dan mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan tanah lingkungan wilayahnya di bawah kepemimpinan kepala adat. 

Subyek hak ulayat adalah Masyarakat Hukum Adat, yang di dalamnya ada anggota masyarakat hukum adat dan ada pula Ketua dan para Tetua Adat. Para anggota masyarakat hukum adat secara bersama-sama memiliki hak yang bersifat keperdataan atas wilayah adat tersebut. Ter Haar mengatakan bahwa anggota masyarakat hukum adat dapat mempergunakan hak pertuanannya dalam arti memungut keuntungan dari tanah itu, tentu seizin Ketua Adat. Hak mempergunakan ini jika berlangsung lama dan terus menerus menjadi cara yang menjadikan bagian dari hak ulayat sebagai hak individual. Hal itu yang disebut sebagai proses individualisasi hak ulayat. 

Kewenangan untuk mempergunakan oleh para anggota masyarakat hukum adat itulah yang disebut dalam hak ulayat sebagai ‘berlaku ke dalam’. Selanjutnya, hak ulayat juga ‘berlaku keluar’, dalam arti, orang asing/orang luar hanya boleh memungut hasil dari tanah ulayat setelah memperoleh izin dan membayar uang pengakuan di depan serta uang penggantian di belakang. Kewenangan untuk memungut hasil hutan bersifat terbatas.

Selanjutnya, agar hak ulayat dapat terus lestari sebagai penopang hidup para anggota masyarakat hukum adat, maka Ketua Adat dan para Tetua Adat diberi kewenangan untuk mengatur penguasaan dan penggunaan wilayah adat tersebut. Kewenangan untuk mengatur itulah yang kemudian disebut sebagai aspek publik dari hak ulayat. Herman Soesangobeng mengatakan bahwa kewenangan persekutuan sebagai organisasi dalam menata hubungan antara warga masyarakat dengan semua unsur agrarianya, dirangkum secara umum pada aturan tentang penguasaan dan penggunaan tanah.

Ketentuan itu dalam kepustakaan hukum adat dikelompokkan dalam bagian yang disebut ‘Hukum Tanah’. Pemikiran dasar dalam hukum ini adalah bahwa tanah, termasuk ruang angkasa dan kekayaan alam yang ada di dalamnya adalah kepunyaan bersama dari segenap warga persekutuan atau masyarakat. Kepunyaan bersama itu berbeda dengan ‘milik bersama’ atau ‘pemilikan kolektif’. Karena kepunyaan bersama hanya memberikan kewenangan kepada kelompok untuk menguasai secara bersama, namun pemakaian dan hasilnya dinikmati secara individual baik berupa perorangan maupun keluarga batih (nuclear family). Dengan demikian, kepunyaan bersama itu lebih mencerminkan sifat kebersamaan atau kolektifitas daripada komunal.

Kepunyaan bersama itu juga dilarang untuk dialihkan kepada kelompok lain tanpa persetujuan dari seluruh anggota. Perwujudan dari kepunyaan bersama itu dinyatakan dalam bentuk kekuasaan untuk menguasai tanah secara penuh. Kekuasaan itu, dalam penuturan maupun tulisan sering disebut ‘hak’. Selanjutnya dikatakan bahwa kewenangan dalam kekuasaan oleh persekutuan itu adalah untuk mengatur dalam arti menyediakan, menetapkan penggunaan, serta meletakkan larangan bagi warga maupun orang asing.

Kewenangan itu dalam kosa kata masyarakat Minangkabau disebut ‘ulayat’, masyarakat Ambon disebut ‘patuanan’, masyarakat Jawa disebut wewengkon, dan masyarakat Bali disebut ‘prabumian’. Akan tetapi, kewenangan mengatur itu bukanlah suatu hak, sebab masyarakat atau persekutuan tidak berwenang untuk mengalihkan secara mutlak tanah ulayat kepada pihak lain.[4] Bahkan Van Vollen Hoven ketika pada tahun 1909 menggunakan istilah teknis beschikkingsrecht untuk menggambarkan konsep ‘ulayat’ pun telah dengan tegas menyatakan dalam salah satu sifat dari kewenangan ulayat, yaitu bahwa ‘hak’ ulayat tidak dapat dialihkan. Karena itu, beschikkingen dalam kosa kata bahasa hukum Belanda, ketika digunakan untuk menggambarkan konsep ulayat, tidak dapat diartikan sama dengan penguasaan secara mutlak sehingga dapat mengalihkan hak atas tanah kepada pihak lain. 

Oleh karena itu, Herman Soesangobeng menandaskan bahwa ulayat sebenarnya hanya menggambarkan hubungan kewenangan menguasai pada tingkat tertinggi dari masyarakat atas tanah dalam wilayah hukum (yurisdiksi) persekutuan. Dengan perkataan lain, ulayat hanyalah wadah bagi lahirnya hak atas tanah.[5]

Atas dasar hubungan ulayat maka dimungkinkan timbulnya hak-hak atas tanah. Hak-hak itu dilahirkan berdasarkan proses perhubungan penguasaan nyata, utamanya oleh perorangan dan keluarga sebagai pemegang hak. Pertumbuhan hak atas tanah itu diawali dari pemilihan lahan berdasarkan Hak Wenang Pilih. Hukum adat mengenal hak wenang pilih bagi perseorangan warga persekutuan yang membuka tanah atau menempatkan tanda-tanda pelarangan seperti pagar pada tanahnya.[6]

Kemudian setelah pemberitahuan kepada kepala masyarakat dan pemasangan tanda-tanda larangan maka lahirlah Hak Terdahulu. Hak terdahulu dimiliki oleh pihak yang membuka lahan pertanahan pertama kali. Selanjutnya, setelah membuka hutan dan lahannya diolah serta digarap maka lahir Hak Menikmati. Baru setelah hak menikmati berlangsung cukup lama dan penggarapan lahan dilakukan secara terus menerus maka ia berubah menjadi hak pakai. Akhirnya, setelah penguasaan dan pemakaian itu berlangsung sangat lama sehingga terjadi pewarisan kepada generasi berikutnya, maka hak pakai pun berubah menjadi Hak Milik. Proses lahirnya hak atas tanah ini dalam perkembangannya, para sarjana kemudian menyederhanakan jenis hak-hak perorangan atas tanah dalam Hukum Adat menjadi Hak Milik dan Hak Pakai.

Dengan demikian, jika dilakukan penyederhanaan, maka Hak Penguasaan Atas Tanah menurut Hukum Adat terdiri atas:

  1. Hak Ulayat yang dipegang oleh seluruh Masyarakat Hukum Adat, yang kewenangannya memiliki aspek privat (kewenangan menguasai secara perdata dari para anggota masyarakat hukum adat atas bagian dari tanah ulayat dan aspek publik yang dipegang oleh Ketua Adat dan para Tetua Adat;
  2. Hak Tetua Adat yang dipegang oleh Ketua Adat dan para Tetua Adat, yang berisi kewenangan publik untuk mengatur penguasaan dan penggunaan wilayah adat untuk kelangsungan masyarakat hukum adat itu sendiri;
  3. Hak Perorangan atas Tanah Adat (sebagai proses individualisasi Hak Ulayat), yang terdiri atas:
  • Hak Milik, yaitu hak anggota masyarakat hukum adat yang diperoleh secara turun temurun.
  • Hak Pakai, yaitu hak anggota masyarakat hukum adat yang diperoleh dengan mengolah bagian dari wilayah adat. 
Footnotes

[1] Herman Soesangobeng, 2003, Kedudukan Hakim dalam Hukum Pertanahan dan Permasalahannya di Indonesoa, Yogyakarta: Pusdiklat Mahkamah Agung, hlm. 12-14. 
[2] Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim, 1983, Sendi-Sendi Hukum Agraria, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 25-26. 
[3] Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria.., Op.Cit., hlm. 215. 
[4] Wignjodipoero, Seorojo, 1984, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, hlm. 19. 
[5] Herman Soesangobeng, 2003, Kedudukan..., Op.Cit. 
[6] S. Hendratiningsih, A. Burdiartha dan Andi Hernandi, 2008, Masyarakat dan Tanah Adat di Bali, Jurnal Sosioteknologi Edisi 15 Desember 2008, hlm. 8.

2 komentar: