Kamis, 28 Maret 2013

Alternatif Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999

A. Konsultasi

Pada dasarnya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tidak menjelaskan secara tentang pengertian konsultasi dan bagaimana prosedurnya. Namun, banyak pendapat yang dikemukakan oleh ahli tentang konsultasi. Salah satu definisi konsultasi seperti yang dikemukakan oleh Zins bahwa konsultasi ialah suatu proses yang biasanya didasarkan pada karakteristik hubungan yang sama yang ditandai dengan saling mempercayai dan komunikasi yang terbuka, bekerja sama dalam mengidentifikasikan masalah, menyatukan sumber-sumber pribadi untuk mengenal dan memilih strategi yang mempunyai kemungkinan dapat memecahkan masalah yang telah diidentifikasi, dan pembagian tanggung jawab dalam pelaksanaan dan evaluasi program atau strategi yang telah direncanakan.[1]

Konsultasi menurut wiktionary adalah sebuah pertemuan atau konferensi untuk saling bertukar informasi dan saran. Konsultasi didefinisikan oleh Audit Commission (1999) sebagai sebuah proses dialog yang mengarah kepada sebuah keputusan.[2] Definisi tersebut menyiratkan tiga aspek dalam konsultasi :
  1. Konsultasi adalah sebuah dialog, di dalamnya ada aktifitas berbagi dan bertukar informasi dalam rangka untuk memastikan pihak yang berkonsultasi agar mengetahui lebih dalam tentang suatu tema. Oleh karenanya konsultasi adalah sesuatu yang edukatif dan inklusif.
  2. Konsultasi adalah sebuah proses. Konsultasi adalah sebuah proses yang interaktif dan berjalan.
  3. Konsultasi adalah tentang aksi dan hasil. Konsultasi harus dapat memastikan bahwa pandangan yang dikonsultasikan mengarahkan kepada sebuah pengambilan keputusan. Oleh karenanya konsultasi adalah tentang aksi dan berorientasi kepada hasil.
Layanan konsultasi adalah layanan konseling oleh konselor sebagai konsultan kepada konsulti dengan tujuan memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan konsulti dalam rangka membantu terselesaikannya masalah yang dialami pihak ketiga (konseli yang bermasalah). Pada layanan konsultasi, dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap konsultasi yang dilakukan oleh konselor kepada konsulti dan tahap penanganan yang dilakukan oleh konsulti kepada konseli/pihak ketiga. Maka petugas pada tahap konsultasi adalah konselor, sedangkan petugas pada tahap penanganan adalah konsulti.[3]

Layanan konsultasi mengandung beberapa aspek, yaitu:
  1. Konsultan seseorang yang secara profesional mempunyai kewenangan untuk memberikan bantuan kepada konsulti dalam upaya mengatasi masalah klien.
  2. Konsulti yaitu pribadi atau seorang professional yang secara langsung memberikan bantuan pemecahan masalah terhadap klien.
  3. Klien yaitu pribadi atau organisasi tertentu yang mempunyai masalah.
  4. Konsultasi merupakan proses pemberian bantuan dalam upaya mengatasi masalah klien secara tidak langsung.
Dalam layanan konsultasi ini dapat diperjelas bahwa penanganan masalah yang dialami konseli (pihak ketiga) dilakukan oleh konsulti. Konsulti akan dikembangkan kemampuannya oleh konselor pada saat tahap konsultasi berlangsung yaitu mengembangkan pada diri konsultasi tentang wawasan, pengetahuan, ketrampilan, nilai, dan sikap. Akhir proses konsultasi ini adalah konselor menganggap bahwa konsultasi mampu membantu menangani kondisi atau permasalahan pihak ketiga yang setidaknya menjadi tanggung jawabnya. Konsutasi adalah orang yang ikut bertanggung jawab terhadap masalah yang dialami pihak ketiga.

Terdapat tiga etika dasar konseling yaitu kerahasiaan, kesukarelaan, dan keputusan diambil oleh klien sendiri (kemandirian). Etika dasar ini terkait langsung dengan asas konseling. Asas ini juga berlaku pada layanan konsultasi. Ketiga asas ini diuraikan sebagai berikut:[4]

a). Asas Kerahasiaan

Seorang konselor diwajibkan untuk menjaga kerahasiaan, dengan harapan adanya kepercayaan dari semua pihak maka mereka akan memperoleh manfaat dari pelayanan konsultasi. Asas kerahasiaan pada layanan konsultasi yang dimaksudkan adalah menyangkut jaminan kerahasiaan identitas konsultasi dan pihak ketiga, dan jaminan kerahasiaan terhadap permasalahan yang dialami pihak ketiga.

b). Asas Kesukarelaan

Kesukarelaan yang dimaksudkan pada layanan konsultasi adalah kesukarelaan dari konselor dan konsulti. Konselor secara suka dan rela membantu konsulti untuk membantu mengarahkan bantuan pemecahan masalah yang akan diberikan kepada pihak ketiga. Kesukarelaan konsulti yaitu bersikap sukarela dating sendiri kepada konselor dan kemudian terbuka mengemukakan hal-hal yang terkait dengan konsulti sendiri dan pihak ketiga dengan tujuan agar permasalahan yang dialami pihak ketiga segera terselesaikan.

c). Asas Kemandirian

Pada layanan konsultasi, konsulti diharapkan mencapai tahap-tahap kemandirian berikut:

1) Memahami dan menerima diri sendiri secara positif dan dinamis.
2) Memahami dan menerima lingkungan secara objektif, positif dan dinamis.
3) Mengambil keputusan secara positif dan tepat.
4) Mengarahkan diri sesuai dengan keputusan yang diambil.

B. Negosiasi

Negosiasi adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak-pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan. Atau dengan kata lain negosiasi adalah suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan melalui diskusi formal. Negosiasi merupakan suatu proses saat dua pihak mencapai perjanjian yang dapat memenuhi kepuasan semua pihak yang berkepentingan dengan elemen-elemen kerjasama dan kompetisi. Termasuk di dalamnya, tindakan yang dilakukan ketika berkomunikasi, kerjasama atau memengaruhi orang lain dengan tujuan tertentu.[5]

Negosiasi adalah hal yang biasa dilakukan oleh setiap orang dan dapat dilakukan untuk berbagai macam hal dan kepentingan. Negosiasi merupakan komunikasi dua arah, ketika masing-masing pihak saling mengemukakan keinginannya. Teknik bernegosiasi tentu berbeda bagi setiap orang. Perbedaan teknik bernegosiasi disebabkan oleh berbagai macam faktor, misalnya faktor latar belakang pendidikan, sifat, karakter, dan pengalaman.[6]

Pada umumnya, jika terjadi sengketa maka para pihak yang sedang berkonflik akan memulai suatu komunikasi terlebih dahulu. Dilakukannya komunikasi sebelum negosiasi merupakan hal mutlak yang harus dilakukan. Komunikasi dilakukan oleh para pihak untuk dapat mengetahui pokok permasalahan. Karena jika negosiasi tetap dilakukan tanpa mengetahui duduk permasalahan yang sebenarnya, negosiasi yang dilakukan oleh para pihak akan tidak efektif, sehingga menyebabkan negosiasi panjang dan kemungkinan tidak akan berhasil.

Tahapan Negoisasi menurut William Ury dibagi menjadi empat tahap yaitu:[7]

a). Tahapan Persiapan :

  1. Persiapan sebagai kunci keberhasialan;
  2. Mengenal lawan, pelajari sebanyak mungkin pihak lawan dan lakukan penelitian;
  3. Usahakan berfikir dengan cara berfikir lawan dan seolah-olah kepentingan lawan sama dengan kepentingan anda;
  4. Sebaiknya persiapkan pertanyaan-pertanyaan sebelum pertemuan dan ajukan dalam bahasa yang jelas dan jangan sekali-kali memojokkan atau menyerang pihak lawan;
  5. Memahami kepentingan kita dan kepentingan lawan;
  6. Identifikasi masalahnya, apakah masalah tersebut menjadi masalah bersama?
  7. Menyiapkan agenda, logistik, ruangan dan konsumsi;
  8. Menyiapkan tim dan strategi;
  9. Menentukan BTNA (Best Alternative to A Negitieted Agreement) alternatif lain atau harga dasar (Bottom Line).

b). Tahapan Orientasi dan Mengatur Posisi
  1. Bertukar informasi;
  2. Saling menjelaskan permasalahan dan kebutuhan;
  3. Mengajukan tawaran awal.

c). Tahapan Pemberi Konsesi/Tawar-menawar
  1. Para pihak saling menyampaikan tawaranya, menjelaskan alasanya dan membujuk pihak lain untuk menerimanya;
  2. Dapat menawarkan konsensi, tapi pastikan kita memperoleh sesuatu sebagai imbalanya;
  3. Mencoba memahai pemikiran pihak lawan;
  4. Mengidentifikasi kebutuhan bersama;
  5. Mengembangkan dan mendiskusiakan opsi-opsi penyelesaian.

d). Tahapan Penutup
  1. Mengevaluasi opsi-opsi berdasarkan kriteria obyektif;
  2. Kesepakatan hanya menguntungkan bila tidak ada lagi opsi lain yang lebih baik, bila tidak berhasil mencapai kesepakatan, membatalkan komitmen atau menyatakan tidak ada komitmen.

C. Mediasi

Mediasi sebagai bentuk dari alternative Dispute Rosolutian (ADR), terdapat definisi yang beragam tentang mediasi yang dikemukakan oleh para pakar hukum. Namun secara umum, banyak mengakui bahwa mediasi adalah proses untuk menyelesaikan sengketa dengan melakukan bantuan pihak ketiga. Peran pihak ketiga itu adalah dengan melibatkan diri dari bantuan para pihak dalam mengidientifikasi masalah-masalah yang disengketakan.

Berdasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008, pengertian mediasi disebutkan pasal 1 butir 7, yaitu “Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator”. Berdasarkan uraian tersebut, mediasi merupakan suatu proses yang ditunjukan untuk memungkinkan para pihak yang bersengketa mendiskusikan perbedaan-perbedaan mereka dengan bantuan pihak ketiga yang netral. Tugas utama dari pihak yang netral tersebut (mediator) adalah menolong para pihak memahami pandangan pihak lain sehubungan dengan masalah yang disengketakan. Selanjutnya mediator membantu mereka melakukan penilaian yang objektif dari seluruh situasi untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, guna mengakhiri sengketa yang terjadi.

Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada setiap proses mediasi, mediator memegang peranan yang sangat penting. Mediasi tidak akan terlaksana tanpa usaha seorang mediator untuk mempertemukan keinginan para pihak dan mencari solusi yang sama-sama menguntungkan atas permasalahan yang terjadi.

Dalam praktik, mediator sangat membutuhkan kemampuan personal yang memungkinkannya berhubungan secara menyenangkan dengan para pihak. Kemampuan pribadi yang terpenting adalah sifat tidak menghakimi, yaitu dalam kaitannya dengan cara berfikir masing- masing pihak. Dengan bekal berbagai kemampuan yang dimilikinya, mediator diharapkan dapat menjalankan peranannya untuk menganalisis dan mendiagnosa sengketa yang ada. Kemudian mendisain dan mengendalikan proses mediasi untuk menuntun para pihak mencapai suatu kesepakatan. Adapun hal-hal yang perlu dilakukan oleh seorang mediator dalam praktik, antara lain sebagai berikut:
  1. Melakukan diagnosis konflik,
  2. Mengidientifikasi masalah serta kepentingan-kepentingan kritis para pihak.
  3. Menyusun agenda.
  4. Memperlancar dan mengendalikan komunikasi.
  5. Mengajar para pihak dalam proses dan keterampilan tawar- menawar.
  6. Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting, dan menciptakan pilihan-pilihan untuk memudahkan penyelesaian problem.
Kaitannya dengan itu, tugas mediator adalah mengarahkan dan memfasilitasi lancarnya komunikasi dan membantu para pihak agar memperoleh pengertian tentang perselisihan secara keseluruhan sehingga memungkinkan setiap pihak membuat penilaian yang objektif. Dengan bantuan dan bimbingan mediator, para pihak bergerak kearah negosiasi penyelesaian sengketa mereka.

Menurut Fuller[8] salah seorang pakar hukum menyebutkan bahwa fungsi dari seorang mediator ada 7, yakni:

  1. Sebagai “katalisator”, mengandung pengertian bahwa kehadiran mediator dalam proses perundingan mampu mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi diskusi.
  2. Sebagai “pendidik”, berarti seorang harus berusaha memahami aspirasi, prosedur kerja, keterbatasan politis, dan kendala usaha dari para puhak.
  3. Sebagai “penerjemah”, berarti mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak yang lainnya melalui bahasa atau ungkapan yang baik dengan tanpa mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul.
  4. Sebagai “nara sumber” berarti seorang mediator harus mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia.
  5. Sebagai “penyandang berita jelek”, berarti seorang mediator harus menyadari bahwa para pihak dalam proses perundingan dapat bersikap emosional. Untuk itu, mediator harus mengadakan pertemuan terpisah dengan pihak-pihak terkait untuk menampung berbagai usulan.
  6. Sebagai “agen realitas”, berarti mediator harus berusaha memberikan pengertian secara jelas kepada salah satu pihak bahwa sasarannya tidak mungkin/ tidak masuk akal tercapai melalui perundingan.
  7. Sebagai “kambing hitam”, berarti seorang mediator harus siap disalahkan, misalnya dalam membuat kesepakatan hasil perundingan.
D. Konsiliasi

Konsiliasi adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian. Dalam menyelesaikan perselisihan, konsiliator memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidak memihak kepada yang bersengketa. Selain itu, konsiliator tidak berhak untuk membuat keputusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak sehingga keputusan akhir merupakan proses konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan di antara mereka.

Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini adalah melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketanya secara damai. Konsiliasi dan mediasi sulit untuk dibedakan. Istilahnya acapkali digunakan dengan bergantian. Namun menurut Behrens, ada perbedaan antara kedua istilah ini, yaitu konsiliasi lebih formal dari pada mediasi. Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seorang individu atau suatu badan yang disebut dengan badan atau komisi konsiliasi. Komisi konsiliasi bisa sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang berfungsi untuk menetapkan persyaratan-persyaratanpenyelesaian yang diterima oleh pihak, namun putusannya tidak mengikat para pihak.

Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap, yaitu tahap tertulis dan tahap lisan. Dalam tahap pertama, sengketa yang diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan konsiliasi. Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya. Berdasarkan fakta-fakta yang diperolehnya, konsiliator atau badan konsiliasiakan menyerahkan laporannya kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan-usulan penyelesaian sengketanya. Usulan ini sifatnya tidak mengikat. Oleh karena itu, diterima tidaknya usulan tersebut bergantung sepenuhnya kepada para pihak.

Penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi menggunakan intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang melakukan intervensi ini biasanya adalah negara, namun bisa juga sebuah komisi yang dibentuk oleh para pihak. Komisi konsiliasi yang dibentuk oleh para pihak dapat saja terlembaga atau bersifat ad hoc, yang kemudian memberikan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun keputusan yang diberikan oleh komisi konsiliasi ini tidak mengikat para pihak.

Tujuan dari pertemuan konsiliasi adalah untuk membawa pihak yang berkepentingan untuk bersama sama mencari jalan keluar untuk menyelesaikan perselisihan. Konsiliasi mencari jalan tengah yang bisa diterima kedua belah pihak untuk menyelesaikan permasalahan, supaya kedua belah pihak dapat melewati perselisihan tersebut. Karena proses konsiliasi memperbolehkan kedua belah pihak yang berselisih untuk membicarakan masalah mereka, maka ini memungkinkan bagi salah satu pihak untuk mendapatkan pengertian yang lebih baik atas pihak yang lain. Ini dapat membantu menghilangkan salah pengertian yang dikarenakan prasangka atau informasi yang tidak benar untuk mencapai perubahan sikap yang nyata. Semua informasi yang didapatkan dalam proses konsiliasi akan dijaga kerahasiaannya dan tidak akan dibuat sebagai bagian dari proses peradilan.

Pertemuan konsiliasi adalah pertemuan suka rela. Jika pihak yang bersangkutan mencapai perdamaian, maka perjanjian perdamaian yang ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan merupakan kontrak yang mengikat secara hukum. Perdamaian dalam pertemuan konsiliasi dapat berupa permintaan maaf, perubahan kebijaksanaan dan kebiasaan, memeriksa kembali prosedur kerja, memperkerjakan kembali, ganti rugi uang, dan sebagainya.

E. PENILAIAN AHLI
 
Penilaian Ahli adalah suatu upaya mempertemukan pihak yang berselisih dengan cara menilai pokok sengketa yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang ahli di bidang terkait dengan pokok sengketa untuk mencapai persetujuan. Penilaian ahli berupa keterangan tertulis yang merupakan hasil telaahan ilmiah berdasarkan keahlian yang dimiliki untuk membuat terang pokok sengketa yang sedang dalam proses. Penilaian ahli ini dapat diperoleh dari seseorang atau Tim ahli yang dipilih secara ad hoc.

Referensi:

[1] Yetty Wira Cettarawati, Penyuluhan dan Konsultasi. adingpintar.files.wordpress.com/2012/03/penyuluhan-dan-konsultasi.pdf, 2013.
[2] Ibid.
[3] Ovi Daedev, Layanan Konsultasi, http://ovidaedev.blogspot.com/2012/05/layanan-konsultasi.html, 2012.
[4] Ibid.
[5] Wikipedia, Negosiasi, http://id.wikipedia.org/wiki/Negosiasi, 2012.
[6] Jimmy Joses Sembiring, Cara Menyelesaikan...., Op.Cit., hlm. 15.
[7] Gunawan wijaya, Alternative Penyelesaian Sengketa, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
[8] Suyud Margono, Alternative Dispute Resolution (ADR) dan Arbitrase. Cetakan ke-2 , Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, hlm. 60-61.

2 komentar: