Selasa, 10 April 2012

Tujuan Hukum di Jalan Raya

(Makassar) Pertama kali ketika pada tahun 2009 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan timbul berbagai macam persepsi dari masyarakat. Hal yang paling disoroti adalah berkaitan kewajiban penggunaan “helm besar” yang berstandar nasional Indonesia (SNI) ketika berkendara di jalan khususnya, pengendara roda dua.

Ada yang beranggapan bahwa aturan ini muncul sebagai wujud kerjasama beberapa anggota legislatif dengan pengusaha untuk keuntungan bersama. Selain itu, ada pula yang menganggap, aturan ini sekali lagi akan menyusahkan masyarakat karena harus membeli helm yang harganya lumayan dibandingkan dengan ‘helm kecil”. Lagi pula, sebagian besar masyarakat telah memiliki helm, baik “helm besar” meskipun tidak berSNI maupun “helm kecil” tentunya.

Suatu hari ketika saya ingin ke toko untuk membeli sesuatu, kemudian langsung ditegur, katanya tidak perlu memakai helm. Alasannya, tidak ada polisi yang akan melihat. Memang saat itu, toko yang menjadi tujuan  saya tidak berlokasi di jalan raya utama.

Di pikiran saya langsung muncul sebuah kesimpulan bahwa kondisi tadi menggambarkan pola pikir masyarakat yang tidak memahami tujuan yang hendak dicapai melalui pembetukan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Tidak memakai helm karena tidak ada polisi, berarti menganggap undang-undang sebatas pada kepastian hukum saja. Padahal sebenarnya esensi yang menjadi asas dan tujuan Undang-Undang ini adalah “Kemanfaatan”.

Tidak heran, jika kita memerhatikan di jalan raya, ketika sepi ada-ada saja pengendara yang tidak memakai helm. Paling parah di kompleks-kompleks, terkadang ngebut-ngebutan tanpa helm. Tidakkah mereka menyadari manfaat menggunakan helm. Atau, jika hari jumat, beberapa orang yang memakai surban tidak memakai helm. Saya beberapa kali melihat fenomena itu. Entah apa yang menjadi dasar, mereka tidak menggunakan helm, bukankah agama sendiri meminta kita mengikuti pemimpin dijalan kebaikan.  Dan di zaman perang para kesatrian dengan kegagahberaniannya tetap memaki helm untuk keamanan.

Terparah diantara yang parah yaitu pawai kelulusan, nonton sepakbola, dan mengantar mayat ke pemakaman. Kondisi itu tak jarang dijadikan sebagai ajang “ugal-ugalan”. Dibandingkan dengan di Eropa, pengendara motor (roda dua) jika berada di jalan raya wajib menggunakan jaket, helm, sepatu, dan kaos tangan. 
Mungkin mereka telah sadar tujuan hukum yang hendak dicapai dari Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Mungkin juga pak polisi sudah sepantasnya sebagai penegak hukum juga memiliki tanggung jawab untuk sosialiasi. Bukan hanya ketika terjadi pelanggaran berbicara tentang tilang, uang rokok, tetapi juga melakukan penyuluhan mengenai berkendara di jalan raya.
Semoga ini bisa merefleksi kita semua agar menjadi pribadi yang sadar hukum.

1 komentar: