Pengakuan terhadap hak masyarakat adat secara konstitusional diatur dalam Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa:
"Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang."
Jika dilihat secara cermat, masyarakat hukum adat di wilayah pesisir mengelola potensi kelautan dilakukan secara tradisional yang dikenal dengan Hak Adat Kelautan. Dibandingkan dengan hak ulayat atas tanah, maka tampak jelas bahwa hak ulayat atas laut sebagai tradisi adat yang sudah berlangsung secara turun-temurun dan dihormati oleh masyarakat adat.
Beberapa unsur yang menandakan bahwa adanya wilayah penguasaan laut dari masyarakat hukum adat pesisir, yaitu:
- Ada wilayah tertentu di laut yang menjadi tempat masyarakat tersebut mengambil bahan-bahan kebutuhan hidupnya;
- Adanya kemampuan untuk mencapai tempat-tempat tersebut;
- Dilakukan secara turun-temurun;
- Dilakukan secara periodik;
- Senantiasa dipertahankan terhadap pihak-pihak lain yang memasuki wilayah tersebut tanpa izin dari masayarakat hukum adat.
Penguasaan riil atas wilayah laut dan pesisir oleh masyarakat hukum adat terkait dengan hubungan atau relasi yang mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan di atas wilayah tersebut merupakan sesuatu yang bersifat turun-temurun dari para leluhurnya. Di dalam wilayah ini sebenarnya secara de jure terdapat wewenang dari komunitas masyarakat hukum adat. Wewenang yang dimaksud terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam menurut prinsip-prinsip hukum adat dengan kekhasan masing-masing.
Kewenangan dan kewajiban masyarakat hukum adat yang tergolong ke dalam bidang Hukum Perdata adalah kepunyaan bersama atas tanah dan perairan, sedangkan yang tergolong ke dalam Hukum Publik adalah tugas, kewenangan untuk mengelola, mengatur, dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan pemeliharaannya. Hak ulayat meliputi semua tanah dan perairan yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang belum sehingga dalam lingkungan hak ulayat tidak dikenal adanya perairan sebagai Res Nullius.
Konsekuensi dari tidak adanya perairan Res Nullius dalam lingkungan hak ulayat yaitu tidak satupun perbuatan hukum baik yang bersifat perdata maupun publik terjadi tanpa campur tangan masyarakat hukum adat, yang diwakili oleh suatu sistem kepemimpinan dan segala kewenangannya. Dalam konteks hak ulayat laut atau perairan, berarti bahwa perairan yang merupakan wilayah laut dari hak ulayat tertentu tunduk sepenuhnya pada di bawah otoritas institusi kepemimpinan masyarakat hukum adat. Di Indonesia, selain hak ulayat dikenal pula jenis hak adat lainnya seperti tradisi penguasaan bagian-bagian wilayah pesisir untuk kegiatan penangkapan ikan secara tradisional yang di Sulawesi Selatan dikenal dengan "Bagang".
Masyarakat hukum adat selain memiliki hak, sebenarnya juga memiliki kewajiban-kewajiban terhadap tanah dan sumber daya alam disekitrnya. Akan tetapi, antara hak dan kewajiban harus terdapat keseimbangan yang kuat sehingga membentuk pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam yang terintegrasi baik secara sosial, politik, budaya, dan agama dari kehidupan masyarakat hukum adat.
Bagi masyarakat pesisir, sumber daya laut dan pesisir tidak hanya berfungsi sebagai sarana pemenuhan kebutuhan ekonomi, tetapi juga sangat mengenal lingkungannya dan mengetahui keberlanjutan dan kestabilan wilayah laut dan pesisir. Hak dan kewajiban yang dimiliki oleh masyarakat adat di dalam wilayah laut dan pesisir juga memiliki kekuatan eksternal yang meberikan potensi besar bagi masyarakat untuk melakukan ancaman terhadap pihak luar, termasuk negara.
Masyarakat adat telah melindungi dan mempertahakan hak dan kewajibannya jauh sebelum negara ada. Kepemilikan masyarakat adat terhadap wilayah laut dan pesisir bukan atas pemberian negara, melainkan secara alamiah merupakan bagian dari masyarakat hukum adat itu sendiri. Wilayah adat yang di diami merupakan warisan dari nenek moyang secara turun-temurun.
Hak kepemilikan dari masyarakat adat menekankan pada tiga aspek yang mendasar, yaitu:
- Otoritas hukum untuk mengelola lingkungan;
- Otoritas penuh untuk menentukan nasib sendiri;
- Hak untuk memberikan persetujuan terhadap setiap rencana kegiatan atau kebijakan negara yang berdampak pada nasib masyarakat adat itu sendiri.
Sumber:
Jantje Tjiptabudy. 2010. Asas Kesimbangan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Wilayah Laut dan Pesisir. Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Makassar.
Farida Patittingi, dkk. 2006. Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah TentangPengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar.
John Piers. 2001. Pengembangan Sumber Daya Kelautan . Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Jantje Tjiptabudy. 2010. Asas Kesimbangan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Wilayah Laut dan Pesisir. Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Makassar.
Farida Patittingi, dkk. 2006. Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah TentangPengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar.
John Piers. 2001. Pengembangan Sumber Daya Kelautan . Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar