Selasa, 16 Juli 2013
Jumat, 12 Juli 2013
Perbedaan antara Paten dan Desain Industri
Paten dan Desain Industri adalah dua bagian dari Hak Kekayaan Intelektual yang memiliki perbedaan mendasar, meskipun terkadang dalam suatu barang/produk mengandung paten dan desain industri.
Paten adalah hak ekslusif yang diberikan oleh negara atas hasil invensi di bidang teknologi. Invensi mengandung ide yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses. Sedangkan, desain industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan produk, barang , komoditas industri, atau kerajinan tangan.
Dari definisi singkat di atas, maka dapat ditarik perbedaan-perbedaan antara paten dan desain industri. Paten adalah penemuan atau pengembangan di bidang teknologi yang untuk memecahkan permasalahan tertentu, sedangkan desain industri berkaitan dengan tampilan luar dari suatu barang yang bisa menimbulkan nilai keindahan/estetis. Selain itu, paten dapat dituangkan dalam bentuk produk dan proses, sedangkan pada desain industri dituangkan hanya pada barang atau produk.
Perbedaan antara Perlindungan Varietas Tanaman dengan Indikasi Geografis
Varietas tanaman dan indikasi geografis adalah dua bentuk hak kekayaan intelektual yang mirip tapi berbeda, hal ini dapat terlihat dari beberapa hal:
- Karena memiliki ruang lingkup yang berbeda, maka keduanya diatur oleh dua undang-undang yang berbeda. Perlindungan Varietas Tanaman diatur melalui UU No. 29 Tahun 2000, sedangkan Indikasi Geografis dikategorikan ke dalam merek yang memiliki ruang lingkup khusus, sehingga diatur dalam UU No. 15 Tahun 2001.
- Yang menjadi objek perlindungan dalam Varietas Tanaman adalah benih yang dapat dikembangbiakkan, sedang Indikasi Geografis yang dilindungi adalah hasil dari tanaman, tidak hanya itu, Indikasi Geografis juga tidak terbatas pada tanaman saja, melainkan juga hasil karya lain, misalnya sarung mandar di Wajo, perahu pinisi di Bulukumba, dan sebagainya.
- Benih yang dilindungi dalam varietas tanaman memiliki hasil produksi yang stabil, jika ditanam di daerah lain hasilnya akan tetap sama dengan induknya, sedangkan pada tanaman yang dilindungi oleh Indikasi Geografis tidak dapat menghasilkan tanaman yang sama jika ditanam di daerah lain. Hal ini dikarenakan adanya faktor geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi keduanya yang tidak dimiliki atau sama dengan di daerah lain.
- Yang memohonkan atau yang memegang hak varietas tanaman adalah orang atau badan hukum, sedangkan pada Indikasi Geografis yang memohonkan perlindungannya atau yang memegang hak adalah lembaga masyarakat atau kelompok tertentu, sehingga berbeda dengan Varietas Tanaman.
- Karena yang memegang hak orang atau badan hukum maka perlindungan varietas tanaman terbatas yaitu untuk tanaman semusim 20 tahun dan tanaman tahunan 25 tahun, sedangkan untuk Indikasi Geografis itu yang memegang hak adalah kelompok masyarakat maka tidak memiliki batasan waktu perlindungan, yaitu selama ciri dan/atau kualitas yang menjadi dasar bagi diberikannya perlindungan atas indikasi geografis masih ada.
Selasa, 02 Juli 2013
Konsep Pemilikan Tanah Berdasarkan Hukum Barat
Konsep penguasaan dan pemilikan tanah menurut hukum barat berlandaskan pada konsepsi yang liberal yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada individu guna memenuhi kebutuhan masing-masing. Keadaan itu menimbulkan paham individualistik yang ajarannya menekankan pada nilai utama pribadi, sehingga masyarakat hanya merupakan satu sarana untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi. Individualisme yang didasari pada konsepsi liberal seperti di Eropa Barat memandang hak milik perorangan sebagai hak yang tertinggi. Demikian pula, dengan hak milik atas tanah yang merupakan hak penguasaan tanah tertinggi yang disebut dengan Hak Eigendom (eigendom recht). Menurut konsep hukum hukum tanah barat, hak eigendom atas tanah merupakan hak primer yang bersumber pada kedudukan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang mempunyai hak untuk menikmati dan memiliki kekayaan alam yang diciptakan oleh Tuhan baginya.[1]
Hukum tanah barat bersumber dari Burgerlijk Wetboek atau beberapa literatur Indonesia menyebutnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Berhubungan dianutnya asas konkordansi, maka Burgerlijk Wetboek yang berlaku di Belanda kemudian juga diberlakukan di Indonesia. Pengertian hak eigendom dalam Burgerlijk Wetboek adalah hak yang paling sempurna. Dalam sistem hukum tanah barat yang berkonsepsi individualistik, maka hak penguasaan atas tanah yang tertinggi ini adalah hak milik pribadi yang disebut dengan hak eigendom.
Setiap orang yang mempunyai hak eigendom atas tanah dapat berbuat apa saja atas tanah tersebut, baik untuk menjual, menggadaikan, menghibahkan, bahkan merusakkannya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau hak orang lain. Selain itu, berdasarkan konsepsi hukum barat, pada saat tanah masih cukup dan dianggap merupakan tanah tidak bertuan (res nullius), maka atas dasar hak asasi yang dikaruniakan kepadanya oleh sang pencipta, setiap individu dengan cara menguasai secara fisik (occupasi) sebidang tanah tak bertuan, akan menciptakan hubungan hukum antara dirinya dengan tanah tersebut, kemudian menjadi haknya atau eigendomnya.
Konsep hukum barat tersebut mempengaruhi sistem penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia, khususnya pada masa penjajahan Belanda. Dalam masa penjajahan ini, peraturan hukum pertanahan yang diberlakukan sangat dipengaruhi oleh Hukum Barat termasuk peraturan hukum pertanahan. Sebagaimana dipahami, bahwa sifat hukum barat adalah individualistik, maka hukum yang diberlakukan di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) juga bersifat individualistis, yaitu sistem hukum yang berasal dari masyarakat Eropa, khususnya dari Perancis yang kapitalistik yang tercermin dalam Code Civil Perancis. Oleh karena, Belanda pernah dijajah oleh Perancis, maka akibatnya Code Civil Perancis ini pun diberlakukan di Belanda pada tahun 1811 hingga 1 Oktober 1838. Code Civil itu menegaskan bahwa hak milik itu memberikan kemampuan yang seluas-luasnya untuk menikmati benda yang merupakan hak miliknya. Di samping itu memberikan pula penguasaan yang semutlak-mutlaknya atas benda yang dimilikinya.[2]
Secara historis, bahwa ketika Bangsa Belanda untuk pertama kalinya datang ke Indonesia dalam misi perdagangan, mereka belum memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan penguasaan tanah. Barulah ketika Inggris datang ke Indonesia yang kemudian mencoba mencari pembenaran (jutification) secara ilmiah mengenai hubungan kekuasaan mereka dengan tanah di Indonesia, dengan menggunakan suatu teori yang disebut dengan “Teori Domein”. Teori Domein ini untuk pertama kalinya diterapkan oleh Thomas Stamford Raffles. Teori ini diterapkan untuk memberikan landasan hukum dan mempertanggungjawabkan pungutan (pajak) yang diadakannya pada waktu menjabat Lieutenant Governor (Gubernur Jenderal) di Jawa pada masa pemerintahan sisipan Inggris Tahun 1811-1816.[3]
Raffles sebagai gubernur jenderal menginginkan agar langkah politiknya memperoleh pembenaran, baik secara hukum maupun secara ilmiah, maka Raffles memerintahkan kepada Collin Mackenzei untuk mengadakan penelitian mengenai pemilikan tanah di daerah-daerah swapraja di Jawa. Hasilnya menunjukkan bahwa ternyata semua tanah yang dikuasai oleh rakyat adalah milik raja, sedangkan rakyat hanya sekadar memakai dan menggarapnya. Atas dasar hasil laporan itu, maka Raffles menyatakan bahwa tanah-tanah di daerah kekuasaannya semuanya adalah milik Raja di Jawa. [4]
Dengan demikian, karena kekuasaan telah berpindah dari Pemerintah Inggris, maka sebagai akibat hukumnya hak-hak pemilikan atas tanah tersebut dengan sendirinya beralih pula kepada Raja Inggris. Oleh karena itu, tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan oleh rakyat itu bukan miliknya, melainkan milik Raja Inggris, sehingga mereka wajib memberikan sesuatu kepada Raja Inggris sebagaimana sebelumnya diberikan kepada Raja-Raja mereka sendiri. Hal yang menjadi kewajiban untuk diberikan tersebut dikenal dengan istilah landrente Raffles.[5]
Sistem penarikan pajak bumi yang diterapkan oleh Raffles dengan nama landrente itu tidak langsung dibebankan kepada petani, tetapi pada desa. Kepala Desa diberikan kekuasaan untuk menetapkan jumlah sewa yang wajib dibayar oleh tiap petani. Selain itu, Kepala Desa juga diberikan kekuasaan penuh dengan mengadakan perubahan pada pemilikan tanah oleh para petani, jika hal itu diperlukan guna memperlancar landrente. Dalam hal ini, Kepala Desa berwenang untuk mengurangi luasnya atau mencabut penguasaanya, jika petani yang bersangkutan tidak mau atau tidak mampu membayar landrente yang ditetapkan baginya. Tanah yang bersangkutan akan diberikan kepada petani lain yang sanggung untuk memenuhinya.
Teori Domein Raffles ini kemudian diteruskan penerapannya oleh Belanda, terutama untuk membenarkan negara memberikan tanah kepada pihak swasta untuk keperluan memperluas usaha dagangnya. Landasan hukum penerapan teori domein adalah Agrarische Wet yaitu suatu undang-undang keagrariaann yang dibuat di Negeri Belanda yang diundangkan dalam Staatsblad 1870 No. 55 (disingkat dengan S.1870-55) yang bertujuan untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada pihak swasta untuk berkembang di Hindia Belanda, khususnya dalam hal penguasaan hak atas tanah. Berdasarkan ketentuan Agrarische Wet tersebut, maka diundangkanlah suatu peraturan pelaksanaanya dalam suatu Koningklijk Besluit yang lebih dikenal dengan Keputusan Agraria (Agrarische Besluit) yang diundangkan dalam Staatsblad 1870 No. 118.[6]
Boedi Harsono menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam Pasal 1 Agrarische Besluit dimuat suatu pernyataan asas yang sangat penting bagi perkembangan dan pelaksaan Hukum Tanah Administrasi Hindia Belanda. Asas tersebut dinilai kurang kurang menghargai, bahkan mengebiri/”memperkosa” hak-hak rakyat atas tanah yang bersumber pada Hukum Adat. Asas tersebut dikenal dengan “Asas Domein Verklaring” bahwa:
“behoundens opvolging van de tweede en derde bepaling der voormelde wet, blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle ground, waarop niet door anderen regt van eigendom wordt bewezen, domein van de Staat is.”
Jika diterjemahkan, maksudnya adalah dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 2 dan 3 Agrarische Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein (milik) negara.[7]
Pernyataan domein dalam Agrarische Besluit yang semula hanya diberlakukan di Jawa dan Madura, tetapi kemudian diberlakukan juga untuk daerah pemerintahan langsung di luar Jawa dan Madura, dengan suatu ordonansi yang diundangkan dalam S.1875-199a. Sehubungan dengan itu, dalam perundang-undangan agraria dikenal “Pernyataan Domein yang Umum” (Algemene Domein Verklaring). Dengan pernyataan domein ini, maka negara sebagai pemilik tanah, boleh menyewakan tanah kepada pemilik modal swasta bagi usaha perkebunan besar berdasarkan Burgerlijk Wetboek (BW).
Selain pernyataan domein yang berlaku umum, juga dikenal “Pernyataan Domein yang Khusus” (Special Domein Verklaring) yang menentukan bahwa semua tanah kosong dalam daerah pemerintahan langsung adalah domein negara, kecuali diusahakan oleh penduduk asli dengan hak-hak yang bersumber pada hak membuka hutan. Mengenai tanah-tanah negara ini, kewenangan untuk memutuskan pemberiannya kepada pihak lain hanya ada pada pemerintah, tanpa mengurangi hak yang sudah dipunyai oleh penduduk untuk membukanya.[8]
Berdasarkan asas domein verklaring, maka negara dalam memberikan hak-hak tertentu kepada perusahaan-perusahaan swasta berupa hak erfpacht, opstal, bruiklen, dan lainnya bertindak sebagai pemilik perdata, bukan bertindak sebagai penguasa. Demikian juga terhadap hak eigendom, negara tidak memberikan hak tersebut kepada pemohon, tetapi hak eigendom negara dipindahkan kepada pihak yang memintanya dengan pembayaran harganya kepada negara. Dalam konteks asas domein verklaring, pembuktian kepemilikan hak atas tanah adalah ketika seseorang atau badan hukum berperkara dengan negara mengenai soal kepemilikan tanah, maka yang bersangkutanlah yang berkewajiban untuk membuktikannya, bahwa tanah sengketa adalah miliknya, termasuk ketika negara yang mengajukan gugatan.
Kedudukan hak milik dalam hukum barat yang disebut dengan hak eigendom tersebut sangat kuat. Dalam Buku II Burgerlijk Wetboek yang mengatur hukum benda yang setelah berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peratuaran Dasar-Dasar Pokok Agraria (UUPA) sudah dinyatakan tidak berlaku lagi sepanjang mengenai bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan mengenai hipotik. Pasal 570 BW menegaskan bahwa hak eigendom adalah hak untuk leluasa menikmati kegunaan suatu benda, dan untuk berbuat bebas terhadap benda yang bersangkutan dengan kekuasaan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya, yang ditetapkan oleh pengusa yang berwenang dan tidak mengganggu hak-hak pihak lain, semuanya itu terkecuali pencabutan hak-hak untuk kepentingan umum, dengan pemberian ganti kerugian yang layak menurut peraturan perundang-undangan.[9]
Kewenangan individual yang dimiliki demikian luas dan kuat, sehingga terhadap hak milik atas tanah yang mereka punyai bersifat mutlak (absolut) dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun juga, kecuali apabila hak atas tanah itu akan dimanfaatkan untuk kepentingan umum dengan memberikan ganti kerugian yang layak.
Footnotes:
[1] Farida Patittingi, 2012, Dimensi Hukum Pulau-Pulau Kecil di Indonesia, Yogyakarta: Rangkang Education, hlm. 95.
[2] Ibid., hlm. 96.
[3] Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Op.Cit., hlm. 48-49.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid., hlm. 50.
[7] Ibid., hlm. 42-43.
[8] Ibid.
[9] Sofwan dan Sri Sudewi, 1981, Hukum Perdata: Hukum Benda, Yogyakarta: Liberty, hlm. 42.
Konsep Pemilikan Tanah Berdasarkan Hukum Adat
Konsepsi atau falsafah yang mendasari hukum adat mengenai tanah adalah konsepsi komunalistik religius. Hal itu sejalan dengan pandangan hidup masyarakat Indonesia asli dalam memandang hubungan antara manusia pribadi dengan masyarakat yang selalu mengutamakan/mendahulukan kepentingan masyarakat. Soepomo menjelaskan bahwa di dalam hukum adat, manusia bukan individu yang terasing bebas dari segala ikatan dan semata-semata mengingat keuntungan sendiri, melainkan adalah anggota masyarakat.
Konsep tanah dalam hukum adat juga dianggap merupakan benda berjiwa yang tidak boleh dipisahkan persekutuannya dengan manusia. Tanah dan manusia, meskipun berbeda wujud dan jati diri, namun merupakan suatu kesatuan yang saling mempengaruhi dalam jalinan susunan keabadian tata alam (cosmos), besar (macro cosmos), dan kecil (micro cosmos). Tanah dipahami secara luas meliputi semua unsur bumi, air, udara, kekayaan alam, serta manusia sebagai pusat, maupun roh-roh di alam supranatural yang terjalin secara menyeluruh dan utuh.[1]
Di dalam hukum adat, yang primer bukanlah individu, melainkan masyarakat. Karena itu, menurut tanggapan hukum adat, kehidupan individu adalah kehidupan yang terutama diperuntukkan buat mengabdi kepada masyarakat. Oleh karena itu, maka hak-hak yang diberikan kepada individu adalah berkaitan dengan tugasnya dalam masyarakat. Berdasarkan konsepsi itu pulalah, maka tanah ulayat sebagai hak kepunyaan bersama dari suatu masyarakat hukum adat dipandang sebagai tanah-bersama.
Tanah bersama sebagai pemberian/anugerah dari suatu kekuatan gaib, bukan dipandang sebagai sesuatu yang diperoleh secara kebetulan atau karena kekuatan daya upaya masyarakat adat tersebut. Oleh karena hak ulayat yang menjadi lingkungan pemberi kehidupan bagi masyarakat adat dipandang sebagai tanah bersama, sehingga semua hak-hak perorangan bersumber dari tanah bersama tersebut. Mengacu pada pemahaman konsepsi di atas, berarti sesungguhnya hak atas tanah menurut hukum adat terdiri dari dua bentuk, yaitu hak ulayat (komunal) dan hak individu.
Hak ulayat merupakan hak penguasaan atas tanah tertinggi dalam hukum adat. Dari hak ulayat, karena proses individualisasi dapat lahir hak-hak perorangan (hak individual). Istilah hak ulayat disebut oleh van Vollen Hoven sebagai beschikkingrecht, oleh Soepomo disebut Hak Pertuan, Teer Haar mengistilahkannya sebagai Hak Pertuanan, dan masyarakat minang menyebutnya dengan kosa kata ulayat.
Menurut Purnadi Purbacaraka[2], hak ulayat adalah hak atas tanah yang dipegang oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat secara bersama-sama (komunal). Dengan ha ulayat ini, masyarakat hukum adat yang bersangkutan menguasai tanah tersebut secara menyeluruh. Menurut Boedi Harsono[3], hak ulayat adalah hak dari suatu masyarakat hukum adat atas lingkungan tanah wilayahnya yang memberi wewenang-wewenang tertentu kepada penguasa adat untuk mengatur dan memimpin penggunaan tanah wilayah masyarakat hukum adat tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hak ulayat adalah hak masyarakat hukum adat terhadap tanah di wilayahnya berupa wewenang menggunakan dan mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan tanah lingkungan wilayahnya di bawah kepemimpinan kepala adat.
Subyek hak ulayat adalah Masyarakat Hukum Adat, yang di dalamnya ada anggota masyarakat hukum adat dan ada pula Ketua dan para Tetua Adat. Para anggota masyarakat hukum adat secara bersama-sama memiliki hak yang bersifat keperdataan atas wilayah adat tersebut. Ter Haar mengatakan bahwa anggota masyarakat hukum adat dapat mempergunakan hak pertuanannya dalam arti memungut keuntungan dari tanah itu, tentu seizin Ketua Adat. Hak mempergunakan ini jika berlangsung lama dan terus menerus menjadi cara yang menjadikan bagian dari hak ulayat sebagai hak individual. Hal itu yang disebut sebagai proses individualisasi hak ulayat.
Kewenangan untuk mempergunakan oleh para anggota masyarakat hukum adat itulah yang disebut dalam hak ulayat sebagai ‘berlaku ke dalam’. Selanjutnya, hak ulayat juga ‘berlaku keluar’, dalam arti, orang asing/orang luar hanya boleh memungut hasil dari tanah ulayat setelah memperoleh izin dan membayar uang pengakuan di depan serta uang penggantian di belakang. Kewenangan untuk memungut hasil hutan bersifat terbatas.
Selanjutnya, agar hak ulayat dapat terus lestari sebagai penopang hidup para anggota masyarakat hukum adat, maka Ketua Adat dan para Tetua Adat diberi kewenangan untuk mengatur penguasaan dan penggunaan wilayah adat tersebut. Kewenangan untuk mengatur itulah yang kemudian disebut sebagai aspek publik dari hak ulayat. Herman Soesangobeng mengatakan bahwa kewenangan persekutuan sebagai organisasi dalam menata hubungan antara warga masyarakat dengan semua unsur agrarianya, dirangkum secara umum pada aturan tentang penguasaan dan penggunaan tanah.
Ketentuan itu dalam kepustakaan hukum adat dikelompokkan dalam bagian yang disebut ‘Hukum Tanah’. Pemikiran dasar dalam hukum ini adalah bahwa tanah, termasuk ruang angkasa dan kekayaan alam yang ada di dalamnya adalah kepunyaan bersama dari segenap warga persekutuan atau masyarakat. Kepunyaan bersama itu berbeda dengan ‘milik bersama’ atau ‘pemilikan kolektif’. Karena kepunyaan bersama hanya memberikan kewenangan kepada kelompok untuk menguasai secara bersama, namun pemakaian dan hasilnya dinikmati secara individual baik berupa perorangan maupun keluarga batih (nuclear family). Dengan demikian, kepunyaan bersama itu lebih mencerminkan sifat kebersamaan atau kolektifitas daripada komunal.
Kepunyaan bersama itu juga dilarang untuk dialihkan kepada kelompok lain tanpa persetujuan dari seluruh anggota. Perwujudan dari kepunyaan bersama itu dinyatakan dalam bentuk kekuasaan untuk menguasai tanah secara penuh. Kekuasaan itu, dalam penuturan maupun tulisan sering disebut ‘hak’. Selanjutnya dikatakan bahwa kewenangan dalam kekuasaan oleh persekutuan itu adalah untuk mengatur dalam arti menyediakan, menetapkan penggunaan, serta meletakkan larangan bagi warga maupun orang asing.
Kewenangan itu dalam kosa kata masyarakat Minangkabau disebut ‘ulayat’, masyarakat Ambon disebut ‘patuanan’, masyarakat Jawa disebut wewengkon, dan masyarakat Bali disebut ‘prabumian’. Akan tetapi, kewenangan mengatur itu bukanlah suatu hak, sebab masyarakat atau persekutuan tidak berwenang untuk mengalihkan secara mutlak tanah ulayat kepada pihak lain.[4] Bahkan Van Vollen Hoven ketika pada tahun 1909 menggunakan istilah teknis beschikkingsrecht untuk menggambarkan konsep ‘ulayat’ pun telah dengan tegas menyatakan dalam salah satu sifat dari kewenangan ulayat, yaitu bahwa ‘hak’ ulayat tidak dapat dialihkan. Karena itu, beschikkingen dalam kosa kata bahasa hukum Belanda, ketika digunakan untuk menggambarkan konsep ulayat, tidak dapat diartikan sama dengan penguasaan secara mutlak sehingga dapat mengalihkan hak atas tanah kepada pihak lain.
Oleh karena itu, Herman Soesangobeng menandaskan bahwa ulayat sebenarnya hanya menggambarkan hubungan kewenangan menguasai pada tingkat tertinggi dari masyarakat atas tanah dalam wilayah hukum (yurisdiksi) persekutuan. Dengan perkataan lain, ulayat hanyalah wadah bagi lahirnya hak atas tanah.[5]
Atas dasar hubungan ulayat maka dimungkinkan timbulnya hak-hak atas tanah. Hak-hak itu dilahirkan berdasarkan proses perhubungan penguasaan nyata, utamanya oleh perorangan dan keluarga sebagai pemegang hak. Pertumbuhan hak atas tanah itu diawali dari pemilihan lahan berdasarkan Hak Wenang Pilih. Hukum adat mengenal hak wenang pilih bagi perseorangan warga persekutuan yang membuka tanah atau menempatkan tanda-tanda pelarangan seperti pagar pada tanahnya.[6]
Kemudian setelah pemberitahuan kepada kepala masyarakat dan pemasangan tanda-tanda larangan maka lahirlah Hak Terdahulu. Hak terdahulu dimiliki oleh pihak yang membuka lahan pertanahan pertama kali. Selanjutnya, setelah membuka hutan dan lahannya diolah serta digarap maka lahir Hak Menikmati. Baru setelah hak menikmati berlangsung cukup lama dan penggarapan lahan dilakukan secara terus menerus maka ia berubah menjadi hak pakai. Akhirnya, setelah penguasaan dan pemakaian itu berlangsung sangat lama sehingga terjadi pewarisan kepada generasi berikutnya, maka hak pakai pun berubah menjadi Hak Milik. Proses lahirnya hak atas tanah ini dalam perkembangannya, para sarjana kemudian menyederhanakan jenis hak-hak perorangan atas tanah dalam Hukum Adat menjadi Hak Milik dan Hak Pakai.
Dengan demikian, jika dilakukan penyederhanaan, maka Hak Penguasaan Atas Tanah menurut Hukum Adat terdiri atas:
- Hak Ulayat yang dipegang oleh seluruh Masyarakat Hukum Adat, yang kewenangannya memiliki aspek privat (kewenangan menguasai secara perdata dari para anggota masyarakat hukum adat atas bagian dari tanah ulayat dan aspek publik yang dipegang oleh Ketua Adat dan para Tetua Adat;
- Hak Tetua Adat yang dipegang oleh Ketua Adat dan para Tetua Adat, yang berisi kewenangan publik untuk mengatur penguasaan dan penggunaan wilayah adat untuk kelangsungan masyarakat hukum adat itu sendiri;
- Hak Perorangan atas Tanah Adat (sebagai proses individualisasi Hak Ulayat), yang terdiri atas:
- Hak Milik, yaitu hak anggota masyarakat hukum adat yang diperoleh secara turun temurun.
- Hak Pakai, yaitu hak anggota masyarakat hukum adat yang diperoleh dengan mengolah bagian dari wilayah adat.
Footnotes
[1] Herman Soesangobeng, 2003, Kedudukan Hakim dalam Hukum Pertanahan dan Permasalahannya di Indonesoa, Yogyakarta: Pusdiklat Mahkamah Agung, hlm. 12-14.
[2] Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim, 1983, Sendi-Sendi Hukum Agraria, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 25-26.
[3] Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria.., Op.Cit., hlm. 215.
[4] Wignjodipoero, Seorojo, 1984, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, hlm. 19.
[5] Herman Soesangobeng, 2003, Kedudukan..., Op.Cit.
[6] S. Hendratiningsih, A. Burdiartha dan Andi Hernandi, 2008, Masyarakat dan Tanah Adat di Bali, Jurnal Sosioteknologi Edisi 15 Desember 2008, hlm. 8.
Langganan:
Postingan (Atom)