Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Aristoteles telah menulis secara luas tentang keadilan. Ia menyatakan bahwa keadilan adalah kebijakan yang berkaitan dengan hubungan antarmanusia. Lebih lanjut, Aristoteles dalam tulisannya Retorica membedakan keadilan dalam dua macam yaitu keadilan distributif (justitia distributiva) sebagai keadilan yang memberikan kepada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian menurut haknya masing-masing, serta keadilan komulatif (justitia cummulativa) sebagai keadilan yang diterima oleh masing-masing anggota tanpa memperdulikan jasa masing-masing. Keadilan komulatif ini didasarkan pada transaksi (sunallagamata) baik yang sukarela atau pun tidak.[1]
Selain Aristoteles, Thomas Aquinas juga telah menjabarkan keadilan dengan membedakannya dalam dua kelompok yaitu keadilan umum (justitia generalis) dan keadilan khusus (justitia specialis). Keadilan umum adalah keadilan menurut kehendak undang-undang yang harus ditunaikan demi kepentingan umum, sedangkan keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsional. Keadilan khusus kemudian dijabarkan dalam tiga bentuk, yaitu:[2]
Keadilan merupakan masalah penting dan mendesak untuk dipahami dalam kehidupan manusia, baik dalam lingkup bermasyarakat, bernegara, maupun hubungan internasional. Ungkapan ini telah lama disuarakan oleh John Rawls yang dipandang sebagai teori keadilan paling komprehensif hingga kini. Teori Rawls sendiri berangkat dari pemahaman/pemikiran utilitarianisme[3], sehingga banyak mempengaruhi pemikiran Jeremy Bentham, J.S. Mill, dan Hume yang dikenal sebagai tokoh-tokoh utilitarinisme. Sekalipun, John Rawls sendiri lebih sering dimasukkan dalam kelompok penganut Realisme Hukum[4].
Begitu pentingnya nilai keadilan dalam masyarakat menuntut agar nilai-nilai tersebut dapat diwujudkan serta hidup terutama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam ukuran negara. masing-masing memiliki teori keadilannya sendiri yang mungkin saja berbeda satu dengan yang lainnya, dan tidak terkecuali Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pancasila sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara menunjukkan hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka. Konsekuensi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah membuka ruang membentuk kesepakatan masyarakat bagaimana mencapai cita-cita dan nilai-nilai dasar tersebut. Kesepakatan tersebut adalah kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basic of goverment) dan kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).[5]
Pancasila merupakan dasar negara dan landasan ideologi Indonesia. Dalam penerapan keadilan di Indonesia, Pancasila sangat berperan penting sebagai dasar keadilan sebagaimana disebutkan pada sila ke-2 dan sila ke-5. Sila ke-2 yang berbunyi “kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung delapan makna, yaitu:[6]
Menurut Notohamidjojo[8], keadilan sosial menuntut supaya manusia hidup dengan layak dalam masyarakat. Masing-masing harus diberi kesempatan menurut menselijke waardigheid (kepatutan kemanusiaan). Pembangunan dan pelaksanaan pembangunan tidak hanya perlu mengandalkan dan mewujudkan keadilan, melainkan juga kepatutan. Istilah kepatutan kemanusiaan dapat pula disebut dengan kepatutan yang wajar atau proporsional.
Keadilan sangat berkaitan erat dengan hak. Hanya saja dalam teorisi keadilan bangsa Indonesia, hak tidak dapat dipisahkan dengan pasangan anatominya yaitu kewajiban. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab dengan tegas mengamanatkan keserasian antara hak dan kewajiban sebagai manusia yang hidup bermasyarakat. Keadilan hanya akan tegak dalam masyarakat yang beradab atau sebaliknya dan hanya masyarakat beradab yang dapat menghargai keadilan.
Keserasian hak dan kewajiban menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk berdimensi monodualistis yaitu sebagai makhluk individual dan makhluk sosial (kolektif). Pengertian adil bagi bangsa Indonesia pun tidak serta merta mengarah kepada suatu maksimum penggunaan barang bagi suatu komunitas (average utility, dihitung per kapita) menurut utilitarianisme atau ke arah suatu maksimum penggunaan barang secara merata dengan tetap memperhatikan kepribadian tiap-tiap orang menurut teori keadilan dari John Rawls. Sesuai dengan keseimbangan hak dan kewajiban, maka keadilan dengan demikian menuntut keserasian antara nilai spiritualisme dan materialisme, individualisme dan kolektivisme, pragmatisme dan voluntarisme, acsetisisme dan hedonisme, empirisme dan intuisionisme, rasionalisme dan romantisme.[9]
Pengertian keadilan sosial jauh lebih luas dibandingkan keadilan hukum. Keadilan sosial bukan sekadar berbicara tentang keadilan dalam arti tegaknya peraturan perundang-undangan atau hukum, namun berbicara lebih luas tentang hak warga negara dalam sebuah negara. Keadilan sosial adalah keadaan dalam mana kekayaan dan sumberdaya suatu negara didistribusikan secara adil kepada seluruh rakyat. Dalam teori ini, terkandung makna bahwa pemerintah dibentuk oleh rakyat untuk melayani kebutuhan seluruh rakyat dan pemerintah yang tidak memenuhi kesejahteraan warga negaranya adalah pemerintah yang tidak berlaku adil.
Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang kehidupan, baik materil maupun spiritual. Hal ini berarti keadilan itu tidak hanya berlaku bagi orang kaya saja, tetapi berlaku pula bagi orang miskin, bukan hanya untuk para pejabat, tetapi untuk rakyat biasa pula, dengan kata lain seluruh rakyat Indonesia baik yang berada di wilayah kekuasaan Republik Indonesia maupun bagi Warga Negara Indonesia yang berada di negara lain. [10]
Dalam konteks pembangunan Indonesia, keadilan inipun tidak bersifat sektoral, tetapi meliputi semua lapangan, baik dalam ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. Hanya dengan demikian akan dapat dipenuhi tujuan nasional yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.
[7] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 156-157.
[8] Ibid,.
[9] Utilitarianisme merupakan suatu aliran pemikiran hukum yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan diartikan sebagai kebahagiaan (happiness).
[10] Realisme Hukum merupakan aliran pemikiran hukum yang melihat hukum sebagai hasil dari kekuatan sosial dan alat kontrol sosial.
Selain Aristoteles, Thomas Aquinas juga telah menjabarkan keadilan dengan membedakannya dalam dua kelompok yaitu keadilan umum (justitia generalis) dan keadilan khusus (justitia specialis). Keadilan umum adalah keadilan menurut kehendak undang-undang yang harus ditunaikan demi kepentingan umum, sedangkan keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsional. Keadilan khusus kemudian dijabarkan dalam tiga bentuk, yaitu:[2]
- Keadilan distributif (justitia distributiva) adalah keadilan yang secara proporsional yang diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum;
- Keadilan komutatif (justitia commutativa) adalah keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dengan kontraprestasi.
- Keadilan vindikatif (justitia vindicativa) adalah keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seseorang akan dianggap adil apabila dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya.
Keadilan merupakan masalah penting dan mendesak untuk dipahami dalam kehidupan manusia, baik dalam lingkup bermasyarakat, bernegara, maupun hubungan internasional. Ungkapan ini telah lama disuarakan oleh John Rawls yang dipandang sebagai teori keadilan paling komprehensif hingga kini. Teori Rawls sendiri berangkat dari pemahaman/pemikiran utilitarianisme[3], sehingga banyak mempengaruhi pemikiran Jeremy Bentham, J.S. Mill, dan Hume yang dikenal sebagai tokoh-tokoh utilitarinisme. Sekalipun, John Rawls sendiri lebih sering dimasukkan dalam kelompok penganut Realisme Hukum[4].
Begitu pentingnya nilai keadilan dalam masyarakat menuntut agar nilai-nilai tersebut dapat diwujudkan serta hidup terutama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam ukuran negara. masing-masing memiliki teori keadilannya sendiri yang mungkin saja berbeda satu dengan yang lainnya, dan tidak terkecuali Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pancasila sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara menunjukkan hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka. Konsekuensi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah membuka ruang membentuk kesepakatan masyarakat bagaimana mencapai cita-cita dan nilai-nilai dasar tersebut. Kesepakatan tersebut adalah kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basic of goverment) dan kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).[5]
Pancasila merupakan dasar negara dan landasan ideologi Indonesia. Dalam penerapan keadilan di Indonesia, Pancasila sangat berperan penting sebagai dasar keadilan sebagaimana disebutkan pada sila ke-2 dan sila ke-5. Sila ke-2 yang berbunyi “kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung delapan makna, yaitu:[6]
- Mengakui persamaan derajat persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
- Saling mencintai sesama manusia.
- Mengembangkan sikap tenggang rasa.
- Tidak semena-mena terhadap orang lain.
- Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
- Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
- Berani membela kebenaran dan keadilan.
- Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
- Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong-royong.
- Bersikap adil.
- Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
- Menghormati hak-hak orang lain.
- Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
- Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
- Tidak bergaya hidup mewah.
- Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
- Suka bekerja keras.
- Menghargai hasil karya orang lain.
- Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Menurut Notohamidjojo[8], keadilan sosial menuntut supaya manusia hidup dengan layak dalam masyarakat. Masing-masing harus diberi kesempatan menurut menselijke waardigheid (kepatutan kemanusiaan). Pembangunan dan pelaksanaan pembangunan tidak hanya perlu mengandalkan dan mewujudkan keadilan, melainkan juga kepatutan. Istilah kepatutan kemanusiaan dapat pula disebut dengan kepatutan yang wajar atau proporsional.
Keadilan sangat berkaitan erat dengan hak. Hanya saja dalam teorisi keadilan bangsa Indonesia, hak tidak dapat dipisahkan dengan pasangan anatominya yaitu kewajiban. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab dengan tegas mengamanatkan keserasian antara hak dan kewajiban sebagai manusia yang hidup bermasyarakat. Keadilan hanya akan tegak dalam masyarakat yang beradab atau sebaliknya dan hanya masyarakat beradab yang dapat menghargai keadilan.
Keserasian hak dan kewajiban menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk berdimensi monodualistis yaitu sebagai makhluk individual dan makhluk sosial (kolektif). Pengertian adil bagi bangsa Indonesia pun tidak serta merta mengarah kepada suatu maksimum penggunaan barang bagi suatu komunitas (average utility, dihitung per kapita) menurut utilitarianisme atau ke arah suatu maksimum penggunaan barang secara merata dengan tetap memperhatikan kepribadian tiap-tiap orang menurut teori keadilan dari John Rawls. Sesuai dengan keseimbangan hak dan kewajiban, maka keadilan dengan demikian menuntut keserasian antara nilai spiritualisme dan materialisme, individualisme dan kolektivisme, pragmatisme dan voluntarisme, acsetisisme dan hedonisme, empirisme dan intuisionisme, rasionalisme dan romantisme.[9]
Pengertian keadilan sosial jauh lebih luas dibandingkan keadilan hukum. Keadilan sosial bukan sekadar berbicara tentang keadilan dalam arti tegaknya peraturan perundang-undangan atau hukum, namun berbicara lebih luas tentang hak warga negara dalam sebuah negara. Keadilan sosial adalah keadaan dalam mana kekayaan dan sumberdaya suatu negara didistribusikan secara adil kepada seluruh rakyat. Dalam teori ini, terkandung makna bahwa pemerintah dibentuk oleh rakyat untuk melayani kebutuhan seluruh rakyat dan pemerintah yang tidak memenuhi kesejahteraan warga negaranya adalah pemerintah yang tidak berlaku adil.
Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang kehidupan, baik materil maupun spiritual. Hal ini berarti keadilan itu tidak hanya berlaku bagi orang kaya saja, tetapi berlaku pula bagi orang miskin, bukan hanya untuk para pejabat, tetapi untuk rakyat biasa pula, dengan kata lain seluruh rakyat Indonesia baik yang berada di wilayah kekuasaan Republik Indonesia maupun bagi Warga Negara Indonesia yang berada di negara lain. [10]
Dalam konteks pembangunan Indonesia, keadilan inipun tidak bersifat sektoral, tetapi meliputi semua lapangan, baik dalam ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. Hanya dengan demikian akan dapat dipenuhi tujuan nasional yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.
[1] Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim
Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu
Hukum, Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat,
Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hlm. 367-368.
[3] Ibid.
[4] Notohamidjojo, Kata Pengantar Rahasia Hukum, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1973, hlm. 167.
[5] Ahmad Zaenal Fanani, Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat
Hukum dan Islam, Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 2010, hlm. 5.
[7] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 156-157.
[8] Ibid,.
[9] Utilitarianisme merupakan suatu aliran pemikiran hukum yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan diartikan sebagai kebahagiaan (happiness).
[10] Realisme Hukum merupakan aliran pemikiran hukum yang melihat hukum sebagai hasil dari kekuatan sosial dan alat kontrol sosial.
Artikel yang bagus. Semoga semakin rajin dalam menulis artikel-artikel hukum lainnya.
BalasHapusTerima kasih atas doanya. tulisan di http://tnrlawfirm.blogspot.com/ juga sangat membantu..,
Hapus