Mushawwir Arsyad
Mushawwir Arsyad bersama Andi Kurniawati ketika memenangi kompetisi karya tulis di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar di Tahun 2009 silam |
Pada tanggal 20 September 2011 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah Indonesia mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggara Pemilu sebagai bentuk revisi atas UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Salah satu poin penting yang tertuang dalam uu baru tersebut adalah memberikan jalan kepada kader partai politik (parpol) untuk menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Padahal sebelumnya, ketentuan yang termaktub dalam UU No. 27 Tahun 2007 tidak ada celah apapun yang memungkinkan jabatan tersebut di atas bagi kader parpol.
Bagi saya ini adalah suatu bentuk tindakan DPR yang notabene juga adalah gabungan dari kader-kader parpol untuk semakin memperluas kekuasaan parpol terhadap negara. Padahal saat ini, tercatat bahwa hampir seluruh lembaga negara dan lembaga publik telah didominasi oleh parpol. Mungkin saja ini sebagai akses baru untuk menambah pemasukan partai, akan tetapi, yang harus lebih diperhatikan dan diwaspadai adalah apakah penyelenggaraan pemilu di tahun mendatang akan terselenggara dengan baik? Kepentingan politik pasti akan sangat memengaruhi. Dan kisruh internal KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan akan sangat sulit terhindarkan di masa mendatang.
Sebagai suatu contoh kecil adalah ketika kader-kader dari satu atau beberapa parpol yang memenangi pemilu, sedangkan kader yang tergabung dalam KPU berasal dari partai politik lain yang statusnya adalah oposisi, tentu akan menimbulkan permasalahan. Hal ini, disebabkan adanya kepentingan politik.
Pertanyaan lainnya, siapakah yang akan menjadi wasit jika terjadi konflik, jika Bawaslu dan Dewan Kehormataan di dalamnya ada kader partai politik. Padahal yang berkonflik mungkin saja adalah partai-partai politik.
Sebenarnya, substansi ketentuan UU No. 22 Tahun 2007 mengenai hal ini sudah sangat baik dan ketat. UU ini menegaskan bahwa “calon anggota KPU dari Parpol harus sudah tidak mengikuti aktivitas parpol selama lima tahun dan anggota KPU dilarang menerima jabatan di BUMN lima tahun setelah bertugas”. Ketentuan ini dapat diiterpretasikan bahwa kader parpol tidak boleh menjadi anggota KPU, kecuali dia melepaskan statusnya sebagai kader selama 5 tahun, yang berarti dia bukan kader parpol.
Fenomena ini menjadi suatu hal yang lucu di negeri ini dan patut untuk disoroti secara bersama-sama. Apalagi kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap kapasitas kader-kader dan visi parpol itu sendiri semakin tergerus.(arsyad_shawir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar