Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan

Selasa, 02 Juli 2013

Konsep Pemilikan Tanah Berdasarkan Hukum Barat

Konsep penguasaan dan pemilikan tanah menurut hukum barat berlandaskan pada konsepsi yang liberal yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada individu guna memenuhi kebutuhan masing-masing. Keadaan itu menimbulkan paham individualistik yang ajarannya menekankan pada nilai utama pribadi, sehingga masyarakat hanya merupakan satu sarana untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi. Individualisme yang didasari pada konsepsi liberal seperti di Eropa Barat memandang hak milik perorangan sebagai hak yang tertinggi. Demikian pula, dengan hak milik atas tanah yang merupakan hak penguasaan tanah tertinggi yang disebut dengan Hak Eigendom (eigendom recht). Menurut konsep hukum hukum tanah barat, hak eigendom atas tanah merupakan hak primer yang bersumber pada kedudukan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang mempunyai hak untuk menikmati dan memiliki kekayaan alam yang diciptakan oleh Tuhan baginya.[1]

Hukum tanah barat bersumber dari Burgerlijk Wetboek atau beberapa literatur Indonesia menyebutnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Berhubungan dianutnya asas konkordansi, maka Burgerlijk Wetboek yang berlaku di Belanda kemudian juga diberlakukan di Indonesia. Pengertian hak eigendom dalam Burgerlijk Wetboek adalah hak yang paling sempurna. Dalam sistem hukum tanah barat yang berkonsepsi individualistik, maka hak penguasaan atas tanah yang tertinggi ini adalah hak milik pribadi yang disebut dengan hak eigendom.

Setiap orang yang mempunyai hak eigendom atas tanah dapat berbuat apa saja atas tanah tersebut, baik untuk menjual, menggadaikan, menghibahkan, bahkan merusakkannya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau hak orang lain. Selain itu, berdasarkan konsepsi hukum barat, pada saat tanah masih cukup dan dianggap merupakan tanah tidak bertuan (res nullius), maka atas dasar hak asasi yang dikaruniakan kepadanya oleh sang pencipta, setiap individu dengan cara menguasai secara fisik (occupasi) sebidang tanah tak bertuan, akan menciptakan hubungan hukum antara dirinya dengan tanah tersebut, kemudian menjadi haknya atau eigendomnya.

Konsep hukum barat tersebut mempengaruhi sistem penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia, khususnya pada masa penjajahan Belanda. Dalam masa penjajahan ini, peraturan hukum pertanahan yang diberlakukan sangat dipengaruhi oleh Hukum Barat termasuk peraturan hukum pertanahan. Sebagaimana dipahami, bahwa sifat hukum barat adalah individualistik, maka hukum yang diberlakukan di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) juga bersifat individualistis, yaitu sistem hukum yang berasal dari masyarakat Eropa, khususnya dari Perancis yang kapitalistik yang tercermin dalam Code Civil Perancis. Oleh karena, Belanda pernah dijajah oleh Perancis, maka akibatnya Code Civil Perancis ini pun diberlakukan di Belanda pada tahun 1811 hingga 1 Oktober 1838. Code Civil itu menegaskan bahwa hak milik itu memberikan kemampuan yang seluas-luasnya untuk menikmati benda yang merupakan hak miliknya. Di samping itu memberikan pula penguasaan yang semutlak-mutlaknya atas benda yang dimilikinya.[2]

Secara historis, bahwa ketika Bangsa Belanda untuk pertama kalinya datang ke Indonesia dalam misi perdagangan, mereka belum memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan penguasaan tanah. Barulah ketika Inggris datang ke Indonesia yang kemudian mencoba mencari pembenaran (jutification) secara ilmiah mengenai hubungan kekuasaan mereka dengan tanah di Indonesia, dengan menggunakan suatu teori yang disebut dengan “Teori Domein”. Teori Domein ini untuk pertama kalinya diterapkan oleh Thomas Stamford Raffles. Teori ini diterapkan untuk memberikan landasan hukum dan mempertanggungjawabkan pungutan (pajak) yang diadakannya pada waktu menjabat Lieutenant Governor (Gubernur Jenderal) di Jawa pada masa pemerintahan sisipan Inggris Tahun 1811-1816.[3]

Raffles sebagai gubernur jenderal menginginkan agar langkah politiknya memperoleh pembenaran, baik secara hukum maupun secara ilmiah, maka Raffles memerintahkan kepada Collin Mackenzei untuk mengadakan penelitian mengenai pemilikan tanah di daerah-daerah swapraja di Jawa. Hasilnya menunjukkan bahwa ternyata semua tanah yang dikuasai oleh rakyat adalah milik raja, sedangkan rakyat hanya sekadar memakai dan menggarapnya. Atas dasar hasil laporan itu, maka Raffles menyatakan bahwa tanah-tanah di daerah kekuasaannya semuanya adalah milik Raja di Jawa. [4]

Dengan demikian, karena kekuasaan telah berpindah dari Pemerintah Inggris, maka sebagai akibat hukumnya hak-hak pemilikan atas tanah tersebut dengan sendirinya beralih pula kepada Raja Inggris. Oleh karena itu, tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan oleh rakyat itu bukan miliknya, melainkan milik Raja Inggris, sehingga mereka wajib memberikan sesuatu kepada Raja Inggris sebagaimana sebelumnya diberikan kepada Raja-Raja mereka sendiri. Hal yang menjadi kewajiban untuk diberikan tersebut dikenal dengan istilah landrente Raffles.[5]

Sistem penarikan pajak bumi yang diterapkan oleh Raffles dengan nama landrente itu tidak langsung dibebankan kepada petani, tetapi pada desa. Kepala Desa diberikan kekuasaan untuk menetapkan jumlah sewa yang wajib dibayar oleh tiap petani. Selain itu, Kepala Desa juga diberikan kekuasaan penuh dengan mengadakan perubahan pada pemilikan tanah oleh para petani, jika hal itu diperlukan guna memperlancar landrente. Dalam hal ini, Kepala Desa berwenang untuk mengurangi luasnya atau mencabut penguasaanya, jika petani yang bersangkutan tidak mau atau tidak mampu membayar landrente yang ditetapkan baginya. Tanah yang bersangkutan akan diberikan kepada petani lain yang sanggung untuk memenuhinya.

Teori Domein Raffles ini kemudian diteruskan penerapannya oleh Belanda, terutama untuk membenarkan negara memberikan tanah kepada pihak swasta untuk keperluan memperluas usaha dagangnya. Landasan hukum penerapan teori domein adalah Agrarische Wet yaitu suatu undang-undang keagrariaann yang dibuat di Negeri Belanda yang diundangkan dalam Staatsblad 1870 No. 55 (disingkat dengan S.1870-55) yang bertujuan untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada pihak swasta untuk berkembang di Hindia Belanda, khususnya dalam hal penguasaan hak atas tanah. Berdasarkan ketentuan Agrarische Wet tersebut, maka diundangkanlah suatu peraturan pelaksanaanya dalam suatu Koningklijk Besluit yang lebih dikenal dengan Keputusan Agraria (Agrarische Besluit) yang diundangkan dalam Staatsblad 1870 No. 118.[6]

Boedi Harsono menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam Pasal 1 Agrarische Besluit dimuat suatu pernyataan asas yang sangat penting bagi perkembangan dan pelaksaan Hukum Tanah Administrasi Hindia Belanda. Asas tersebut dinilai kurang kurang menghargai, bahkan mengebiri/”memperkosa” hak-hak rakyat atas tanah yang bersumber pada Hukum Adat. Asas tersebut dikenal dengan “Asas Domein Verklaring” bahwa:

“behoundens opvolging van de tweede en derde bepaling der voormelde wet, blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle ground, waarop niet door anderen regt van eigendom wordt bewezen, domein van de Staat is.”

Jika diterjemahkan, maksudnya adalah dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 2 dan 3 Agrarische Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein (milik) negara.[7]

Pernyataan domein dalam Agrarische Besluit yang semula hanya diberlakukan di Jawa dan Madura, tetapi kemudian diberlakukan juga untuk daerah pemerintahan langsung di luar Jawa dan Madura, dengan suatu ordonansi yang diundangkan dalam S.1875-199a. Sehubungan dengan itu, dalam perundang-undangan agraria dikenal “Pernyataan Domein yang Umum” (Algemene Domein Verklaring). Dengan pernyataan domein ini, maka negara sebagai pemilik tanah, boleh menyewakan tanah kepada pemilik modal swasta bagi usaha perkebunan besar berdasarkan Burgerlijk Wetboek (BW). 

Selain pernyataan domein yang berlaku umum, juga dikenal “Pernyataan Domein yang Khusus” (Special Domein Verklaring) yang menentukan bahwa semua tanah kosong dalam daerah pemerintahan langsung adalah domein negara, kecuali diusahakan oleh penduduk asli dengan hak-hak yang bersumber pada hak membuka hutan. Mengenai tanah-tanah negara ini, kewenangan untuk memutuskan pemberiannya kepada pihak lain hanya ada pada pemerintah, tanpa mengurangi hak yang sudah dipunyai oleh penduduk untuk membukanya.[8]

Berdasarkan asas domein verklaring, maka negara dalam memberikan hak-hak tertentu kepada perusahaan-perusahaan swasta berupa hak erfpacht, opstal, bruiklen, dan lainnya bertindak sebagai pemilik perdata, bukan bertindak sebagai penguasa. Demikian juga terhadap hak eigendom, negara tidak memberikan hak tersebut kepada pemohon, tetapi hak eigendom negara dipindahkan kepada pihak yang memintanya dengan pembayaran harganya kepada negara. Dalam konteks asas domein verklaring, pembuktian kepemilikan hak atas tanah adalah ketika seseorang atau badan hukum berperkara dengan negara mengenai soal kepemilikan tanah, maka yang bersangkutanlah yang berkewajiban untuk membuktikannya, bahwa tanah sengketa adalah miliknya, termasuk ketika negara yang mengajukan gugatan.

Kedudukan hak milik dalam hukum barat yang disebut dengan hak eigendom tersebut sangat kuat. Dalam Buku II Burgerlijk Wetboek yang mengatur hukum benda yang setelah berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peratuaran Dasar-Dasar Pokok Agraria (UUPA) sudah dinyatakan tidak berlaku lagi sepanjang mengenai bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan mengenai hipotik. Pasal 570 BW menegaskan bahwa hak eigendom adalah hak untuk leluasa menikmati kegunaan suatu benda, dan untuk berbuat bebas terhadap benda yang bersangkutan dengan kekuasaan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya, yang ditetapkan oleh pengusa yang berwenang dan tidak mengganggu hak-hak pihak lain, semuanya itu terkecuali pencabutan hak-hak untuk kepentingan umum, dengan pemberian ganti kerugian yang layak menurut peraturan perundang-undangan.[9]

Kewenangan individual yang dimiliki demikian luas dan kuat, sehingga terhadap hak milik atas tanah yang mereka punyai bersifat mutlak (absolut) dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun juga, kecuali apabila hak atas tanah itu akan dimanfaatkan untuk kepentingan umum dengan memberikan ganti kerugian yang layak. 

Footnotes:

[1] Farida Patittingi, 2012, Dimensi Hukum Pulau-Pulau Kecil di Indonesia, Yogyakarta: Rangkang Education, hlm. 95. 
[2] Ibid., hlm. 96. 
[3] Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Op.Cit., hlm. 48-49. 
[4] Ibid. 
[5] Ibid. 
[6] Ibid., hlm. 50. 
[7] Ibid., hlm. 42-43. 
[8] Ibid. 
[9] Sofwan dan Sri Sudewi, 1981, Hukum Perdata: Hukum Benda, Yogyakarta: Liberty, hlm. 42.

Konsep Pemilikan Tanah Berdasarkan Hukum Adat

Konsepsi atau falsafah yang mendasari hukum adat mengenai tanah adalah konsepsi komunalistik religius. Hal itu sejalan dengan pandangan hidup masyarakat Indonesia asli dalam memandang hubungan antara manusia pribadi dengan masyarakat yang selalu mengutamakan/mendahulukan kepentingan masyarakat. Soepomo menjelaskan bahwa di dalam hukum adat, manusia bukan individu yang terasing bebas dari segala ikatan dan semata-semata mengingat keuntungan sendiri, melainkan adalah anggota masyarakat. 

Konsep tanah dalam hukum adat juga dianggap merupakan benda berjiwa yang tidak boleh dipisahkan persekutuannya dengan manusia. Tanah dan manusia, meskipun berbeda wujud dan jati diri, namun merupakan suatu kesatuan yang saling mempengaruhi dalam jalinan susunan keabadian tata alam (cosmos), besar (macro cosmos), dan kecil (micro cosmos). Tanah dipahami secara luas meliputi semua unsur bumi, air, udara, kekayaan alam, serta manusia sebagai pusat, maupun roh-roh di alam supranatural yang terjalin secara menyeluruh dan utuh.[1]

Di dalam hukum adat, yang primer bukanlah individu, melainkan masyarakat. Karena itu, menurut tanggapan hukum adat, kehidupan individu adalah kehidupan yang terutama diperuntukkan buat mengabdi kepada masyarakat. Oleh karena itu, maka hak-hak yang diberikan kepada individu adalah berkaitan dengan tugasnya dalam masyarakat. Berdasarkan konsepsi itu pulalah, maka tanah ulayat sebagai hak kepunyaan bersama dari suatu masyarakat hukum adat dipandang sebagai tanah-bersama.

Tanah bersama sebagai pemberian/anugerah dari suatu kekuatan gaib, bukan dipandang sebagai sesuatu yang diperoleh secara kebetulan atau karena kekuatan daya upaya masyarakat adat tersebut. Oleh karena hak ulayat yang menjadi lingkungan pemberi kehidupan bagi masyarakat adat dipandang sebagai tanah bersama, sehingga semua hak-hak perorangan bersumber dari tanah bersama tersebut. Mengacu pada pemahaman konsepsi di atas, berarti sesungguhnya hak atas tanah menurut hukum adat terdiri dari dua bentuk, yaitu hak ulayat (komunal) dan hak individu.

Hak ulayat merupakan hak penguasaan atas tanah tertinggi dalam hukum adat. Dari hak ulayat, karena proses individualisasi dapat lahir hak-hak perorangan (hak individual). Istilah hak ulayat disebut oleh van Vollen Hoven sebagai beschikkingrecht, oleh Soepomo disebut Hak Pertuan, Teer Haar mengistilahkannya sebagai Hak Pertuanan, dan masyarakat minang menyebutnya dengan kosa kata ulayat.

Menurut Purnadi Purbacaraka[2], hak ulayat adalah hak atas tanah yang dipegang oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat secara bersama-sama (komunal). Dengan ha ulayat ini, masyarakat hukum adat yang bersangkutan menguasai tanah tersebut secara menyeluruh. Menurut Boedi Harsono[3], hak ulayat adalah hak dari suatu masyarakat hukum adat atas lingkungan tanah wilayahnya yang memberi wewenang-wewenang tertentu kepada penguasa adat untuk mengatur dan memimpin penggunaan tanah wilayah masyarakat hukum adat tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hak ulayat adalah hak masyarakat hukum adat terhadap tanah di wilayahnya berupa wewenang menggunakan dan mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan tanah lingkungan wilayahnya di bawah kepemimpinan kepala adat. 

Subyek hak ulayat adalah Masyarakat Hukum Adat, yang di dalamnya ada anggota masyarakat hukum adat dan ada pula Ketua dan para Tetua Adat. Para anggota masyarakat hukum adat secara bersama-sama memiliki hak yang bersifat keperdataan atas wilayah adat tersebut. Ter Haar mengatakan bahwa anggota masyarakat hukum adat dapat mempergunakan hak pertuanannya dalam arti memungut keuntungan dari tanah itu, tentu seizin Ketua Adat. Hak mempergunakan ini jika berlangsung lama dan terus menerus menjadi cara yang menjadikan bagian dari hak ulayat sebagai hak individual. Hal itu yang disebut sebagai proses individualisasi hak ulayat. 

Kewenangan untuk mempergunakan oleh para anggota masyarakat hukum adat itulah yang disebut dalam hak ulayat sebagai ‘berlaku ke dalam’. Selanjutnya, hak ulayat juga ‘berlaku keluar’, dalam arti, orang asing/orang luar hanya boleh memungut hasil dari tanah ulayat setelah memperoleh izin dan membayar uang pengakuan di depan serta uang penggantian di belakang. Kewenangan untuk memungut hasil hutan bersifat terbatas.

Selanjutnya, agar hak ulayat dapat terus lestari sebagai penopang hidup para anggota masyarakat hukum adat, maka Ketua Adat dan para Tetua Adat diberi kewenangan untuk mengatur penguasaan dan penggunaan wilayah adat tersebut. Kewenangan untuk mengatur itulah yang kemudian disebut sebagai aspek publik dari hak ulayat. Herman Soesangobeng mengatakan bahwa kewenangan persekutuan sebagai organisasi dalam menata hubungan antara warga masyarakat dengan semua unsur agrarianya, dirangkum secara umum pada aturan tentang penguasaan dan penggunaan tanah.

Ketentuan itu dalam kepustakaan hukum adat dikelompokkan dalam bagian yang disebut ‘Hukum Tanah’. Pemikiran dasar dalam hukum ini adalah bahwa tanah, termasuk ruang angkasa dan kekayaan alam yang ada di dalamnya adalah kepunyaan bersama dari segenap warga persekutuan atau masyarakat. Kepunyaan bersama itu berbeda dengan ‘milik bersama’ atau ‘pemilikan kolektif’. Karena kepunyaan bersama hanya memberikan kewenangan kepada kelompok untuk menguasai secara bersama, namun pemakaian dan hasilnya dinikmati secara individual baik berupa perorangan maupun keluarga batih (nuclear family). Dengan demikian, kepunyaan bersama itu lebih mencerminkan sifat kebersamaan atau kolektifitas daripada komunal.

Kepunyaan bersama itu juga dilarang untuk dialihkan kepada kelompok lain tanpa persetujuan dari seluruh anggota. Perwujudan dari kepunyaan bersama itu dinyatakan dalam bentuk kekuasaan untuk menguasai tanah secara penuh. Kekuasaan itu, dalam penuturan maupun tulisan sering disebut ‘hak’. Selanjutnya dikatakan bahwa kewenangan dalam kekuasaan oleh persekutuan itu adalah untuk mengatur dalam arti menyediakan, menetapkan penggunaan, serta meletakkan larangan bagi warga maupun orang asing.

Kewenangan itu dalam kosa kata masyarakat Minangkabau disebut ‘ulayat’, masyarakat Ambon disebut ‘patuanan’, masyarakat Jawa disebut wewengkon, dan masyarakat Bali disebut ‘prabumian’. Akan tetapi, kewenangan mengatur itu bukanlah suatu hak, sebab masyarakat atau persekutuan tidak berwenang untuk mengalihkan secara mutlak tanah ulayat kepada pihak lain.[4] Bahkan Van Vollen Hoven ketika pada tahun 1909 menggunakan istilah teknis beschikkingsrecht untuk menggambarkan konsep ‘ulayat’ pun telah dengan tegas menyatakan dalam salah satu sifat dari kewenangan ulayat, yaitu bahwa ‘hak’ ulayat tidak dapat dialihkan. Karena itu, beschikkingen dalam kosa kata bahasa hukum Belanda, ketika digunakan untuk menggambarkan konsep ulayat, tidak dapat diartikan sama dengan penguasaan secara mutlak sehingga dapat mengalihkan hak atas tanah kepada pihak lain. 

Oleh karena itu, Herman Soesangobeng menandaskan bahwa ulayat sebenarnya hanya menggambarkan hubungan kewenangan menguasai pada tingkat tertinggi dari masyarakat atas tanah dalam wilayah hukum (yurisdiksi) persekutuan. Dengan perkataan lain, ulayat hanyalah wadah bagi lahirnya hak atas tanah.[5]

Atas dasar hubungan ulayat maka dimungkinkan timbulnya hak-hak atas tanah. Hak-hak itu dilahirkan berdasarkan proses perhubungan penguasaan nyata, utamanya oleh perorangan dan keluarga sebagai pemegang hak. Pertumbuhan hak atas tanah itu diawali dari pemilihan lahan berdasarkan Hak Wenang Pilih. Hukum adat mengenal hak wenang pilih bagi perseorangan warga persekutuan yang membuka tanah atau menempatkan tanda-tanda pelarangan seperti pagar pada tanahnya.[6]

Kemudian setelah pemberitahuan kepada kepala masyarakat dan pemasangan tanda-tanda larangan maka lahirlah Hak Terdahulu. Hak terdahulu dimiliki oleh pihak yang membuka lahan pertanahan pertama kali. Selanjutnya, setelah membuka hutan dan lahannya diolah serta digarap maka lahir Hak Menikmati. Baru setelah hak menikmati berlangsung cukup lama dan penggarapan lahan dilakukan secara terus menerus maka ia berubah menjadi hak pakai. Akhirnya, setelah penguasaan dan pemakaian itu berlangsung sangat lama sehingga terjadi pewarisan kepada generasi berikutnya, maka hak pakai pun berubah menjadi Hak Milik. Proses lahirnya hak atas tanah ini dalam perkembangannya, para sarjana kemudian menyederhanakan jenis hak-hak perorangan atas tanah dalam Hukum Adat menjadi Hak Milik dan Hak Pakai.

Dengan demikian, jika dilakukan penyederhanaan, maka Hak Penguasaan Atas Tanah menurut Hukum Adat terdiri atas:

  1. Hak Ulayat yang dipegang oleh seluruh Masyarakat Hukum Adat, yang kewenangannya memiliki aspek privat (kewenangan menguasai secara perdata dari para anggota masyarakat hukum adat atas bagian dari tanah ulayat dan aspek publik yang dipegang oleh Ketua Adat dan para Tetua Adat;
  2. Hak Tetua Adat yang dipegang oleh Ketua Adat dan para Tetua Adat, yang berisi kewenangan publik untuk mengatur penguasaan dan penggunaan wilayah adat untuk kelangsungan masyarakat hukum adat itu sendiri;
  3. Hak Perorangan atas Tanah Adat (sebagai proses individualisasi Hak Ulayat), yang terdiri atas:
  • Hak Milik, yaitu hak anggota masyarakat hukum adat yang diperoleh secara turun temurun.
  • Hak Pakai, yaitu hak anggota masyarakat hukum adat yang diperoleh dengan mengolah bagian dari wilayah adat. 
Footnotes

[1] Herman Soesangobeng, 2003, Kedudukan Hakim dalam Hukum Pertanahan dan Permasalahannya di Indonesoa, Yogyakarta: Pusdiklat Mahkamah Agung, hlm. 12-14. 
[2] Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim, 1983, Sendi-Sendi Hukum Agraria, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 25-26. 
[3] Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria.., Op.Cit., hlm. 215. 
[4] Wignjodipoero, Seorojo, 1984, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, hlm. 19. 
[5] Herman Soesangobeng, 2003, Kedudukan..., Op.Cit. 
[6] S. Hendratiningsih, A. Burdiartha dan Andi Hernandi, 2008, Masyarakat dan Tanah Adat di Bali, Jurnal Sosioteknologi Edisi 15 Desember 2008, hlm. 8.

Selasa, 04 Juni 2013

Bawang Goreng Palu dan Perlindungan Hukum Indikasi Geografis

Oleh:
MUSHAWWIR ARSYAD, SH
[P0903212002]

Pendahuluan

Bawang merah atau nama latinnya Allium cepa var aggregatum L. merupakan salah satu jenis tanaman yang biasa digunakan untuk bumbu penyedap dalam masakan, khususnya di daerah Asia termasuk Indonesia. Untuk mengenal lebih lanjut tentang taksonomi tanaman bawang merah, maka tanaman ini dapat diklasifikasikan berdasarkan urutan, sebagai berikut:[1]



· Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
· Sub-Kingdom : Tracheobionta (Tumbuhan Berpembuluh)
· Super Divisi : Spermatophyta (Penghasil Biji)
· Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
· Kelas : Liliopsida (Berkeping satu/monokotil)
· Sub-Kelas : Liliidae
· Ordo : Liliales
· Famili : Liliaceae (Suku bawang-bawangan)
· Genus : Allium
· Spesies : Allium Cepa var.Aggregatum L.

Bawang merah merupakan komoditas yang tergolong sayuran rempah. Di samping sebagai bahan makanan penambah cita rasa, bawang merah juga diperlukan untuk kesehatan tubuh sebagaimana tercantum dalam tabel 1., di mana bawang ini memiliki kandungan fosfor 49 gram dalam 100 gram bahan, kalori 39 gram dalam 100 gram bahan dan mengadung vitamin C, vitamin B1, protein, karbohidrat walaupun jumlahnya sedikit.

KOMPONEN KOMPOSISI
Vitamin (gr) 
Karbohidrat (gr) 
Protein (gr) 
Lemak (gr) 
Vitamin B1 (mg) 
Vitamin C (mg) 
Kalsium, CA (mg) 
Besi, Fe (mg) 
Fosfor, P (mg) 
Energi (kalori) 
Bahan yang dapat dimakan (%)
88,00 
9,20 
1,50 
0,30 
0,03 
2,00 
36,00 
0,80 
40,00 
39,00 
90,99

Bawang merah di samping mengandung mengandung vitamin C, kalium, serat, dan asam folat, kalsium, dan zat besi. Bawang merah juga mengandung zat pengatur tumbuh alami berupa hormon auksin dan giberelin. Kegunaan lain dari bawang merah adalah sebagai obat tradisional, bawang merah dikenal sebagai obat karena mengandung efek antiseptik dan senyawa alliin. Senyawa alliin oleh enzim alliinase selanjutnya diubah menjadi asam piruvat, amonia, dan alliisin sebagai anti mikoba yang bersifat bakterisida.[3]

Bawang merah dapat menurunkan kadar gula dan kolestrol darah, mencegah penebalan dan pengerasan pembuluh darah, serta maag. Senyawa Flavonols mengandung radikal bebas yang kuat dan antioxidan yang dapat mencegah dan melawan penyakit-penyakit cardiovascular dan colorectal cancers.[4] Tidak kurang 25 Flavonols yang berbeda dapat diidentifikasi pada bawang merah dalam bentuk quarcetin dan derivat quarcetin yang mendominasi cultivar bawang merah.[5]

Bawang merah dikenal hampir di setiap negara dan daerah di wilayah tanah air. Kalangan internasional menyebutnya sebagai shallot”. Bawang merah tergolong tanaman semusim, tanamannya berbentuk rumpun, akarnya serabut, batangnya pendek sekali yang hampir tidak nampak. Daunnya memanjang berbentuk silindris, pangkal daun berubah bentuk dan fungsinya yaitu membentuk umbi.

Bawang Merah memiliki bunga majemuk berbentuk tandan yang bertangkai dengan 50-200 kuntum bunga. Pada ujung dan pangkal tangkai mengecil dan dibagian tengah menggembung, bentuknya seperti pipa yang berlubang didalamnya. Tangkai tandan bunga ini sangat panjang, lebih tinggi dari daunnya sendiri dan mencapai 30-50 cm. Bunga bawang merah termasuk bunga sempurna yang tiap bunga terdapat benang sari dan kepala putik. Bakal buah sebenarnya terbentuk dari 3 daun buah yang disebut carpel, yang membentuk tiga buah ruang dan dalam tiap ruang tersebut terdapat 2 calon biji. Buah berbentuk bulat dengan ujung tumpul. Bentuk biji agak pipih. Biji bawang merah dapat digunakan sebagai bahan perbanyakan tanaman secara generatif.[6]

Bawang merah pada dasarnya lebih banyak dibudidayakan di daerah dataran rendah yang beriklim kering dengan suhu yang agak panas, dan cuaca cerah. Tanaman ini tidak menyukai tempat-tempat yang tergenang air, terutama becek. Walaupun demikian, tanaman bawang merah tetap membutuhkan air yang banyak terutama pada saat pembentukan umbi.

Karakteristik Bawang Merah Palu

Pada dasarnya, bawang merah terbagi atas beberapa jenis yang dapat dibedakan berdasarkan karakteristik atau kekhasan yang dimilikinya. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa jenis bawang merah yang memiliki kekhasan, salah satunya yang terdapat di Palu, Sulawesi Tengah. Komoditas ini dikembangkan oleh petani di Kabupaten Donggala terutama di Lembah Palu, sehingga biasa disebut dengan “Bawang Merah Palu”. Penggunaan nama ini kemudian diresmikan oleh Gubernur Sulawesi Tengah pada perayaan Hari Krida Pertanian tahun 2000 di Palu.

Bawang merah varietas Lembah Palu merupakan bahan baku industri pengolahan bawang goreng serta telah menjadi “brand lokal” Palu. Salah satu keunikan bawang ini yang membedakan dengan bawang merah lainnya adalah umbinya mempunyai tekstur yang padat sehingga menghasilkan bawang goreng yang renyah dan gurih serta aroma yang tidak berubah walaupun disimpan lama dalam wadah yang tertutup.[7]

Usaha pertanian Bawang Merah Palu sudah dimulai sejak puluhan tahun yang lalu terutama di sekitar Lembah Palu, Tinombo, Gontarano, dan beberapa daerah lainnya di Kabupaten Donggala. Bawang ini beradaptasi cukup baik pada daerah dataran rendah beriklim kering. Meskipun bawang merah Palu memiliki cita rasa yang khas, ciri-ciri morfologinya tidak banyak berbeda dengan bawang merah lainnya. 

Potensi lahan di Sulawesi Tengah masih cukup luas untuk pengembangan bawang merah yang didukung oleh curah hujan, suhu udara dan tanah yang sesuai serta sarana dan prasarana yang memadai. Khusus untuk Lembah Palu yang merupakan sentra pengembangan komoditas unggulan bawangmerah Palu, potensi lahan tersedia 2.608 ha. 

Tipe iklim di daerah tersebut termasuk E1, E2, dan E3 (menurut klasifikasi Oldeman), bulan kering lebih dari empat bulan, curah hujan rendah (400−1.000 mm/tahun), dan suhu udara tergolong panas (rata-rata 30–35o C). Kondisi ini menurut Rismunandar (1988) sangat cocok untuk pembentukan umbi (suhu 32–34o C).[8]

Bawang Goreng Palu

Pengolahan bawang goreng Palu terutama di sekitar Lembah Palu sudah mulai berkembang dari industri rumah tangga menjadi industri menengah dengan menggunakan mesin pengupas, pencuci, pengiris, dan pengepak. Berkembangnya industri pengolahan tersebut dapat mendorong petani untuk meningkatkan produksi bawang merah baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi.

Bawang merah biasanya digunakan sebagai bumbu penyedap masakan karena aromanya yang khas. Bawang merah Palu sebagian besar dibuat bawang goreng karena bawang goreng yang dihasilkan memiliki cita rasa yang khas dan tetap kering walaupun disimpan lama dalam kemasan yang tertutup rapat. Rasa khas dan kekeringan bawang merah Palu yang tidak sama dengan bawang lainnya menyebabkan bawang ini sangat disukai konsumen.

Bawang goreng khas Palu memang sangat berbeda dengan bawang goreng pada umumnya. Perbedaannya terletak pada jenis bawangnya sendiri, yaitu dikenal dengan bawang batu. Bentuknya kecil dan warnanya tidak semerah bawang merah pada umumnya, namun lebih keras. Menurut beberapa sumber, bawang jenis ini tidak bisa tumbuh di daerah-daerah lain di Indonesia. Bahkan, dari seluruh wilayah yang ada di Sulawesi Tengah, hanya tanah di daerah Palu yang cocok untuk bawang jenis ini. Kontur tanah di daerah Palu yang berpasir membuat bawang batu ini dapat tumbuh dengan subur dan berproduksi dengan baik. Selain itu, pemerintah setempat juga bekerjasama dengan perguruan tinggi dan kelompok tani setempat untuk menjadikan bawang ini sebagai komoditas unggulan dan sekaligus mempermudah para pengusaha untuk mendapatkan bahan baku pembuatan bawang goreng.

Pada tahun 2011, tercatat sekitar 38 industri bawang goreng yang tersebar di Kota Palu dengan berbagai macam merek seperti Garuda Jaya, Cendana, Sri Rejeki, Mustika, Raja, Bunga Kaili, Mahkota Palu, dan sebagainya. Beberapa dari mereka sudah memiliki distributor yang tersebar di seluruh Nusantara, bahkan hingga luar negeri. Selain itu, ada juga yang memasarkan produknya melalui jaringan internet, baik melalui website, blog, ataupun melalui jejaring sosial facebook dan twiter.[9]

Bawang goreng khas Palu memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan bawang goreng lainnya. Aroma bawang goreng ini khas dan lebih gurih jika dibandingkan dengan bawang goreng pada umumnya. Selain itu, teksturnya yang renyah membuat makanan ini dapat dimakan seperti mengonsumsi keripik. Bawang goreng khas Palu juga diproduksi secara higienis dari bawang pilihan yang bermutu, tanpa bahan pengawet, pewarna, maupun bahan perenyah.

Keunggulan lain dari bawang goreng khas Palu adalah dapat bertahan hingga dua tahun karena dikemas dengan menggunakan alumunium foil yang dapat menahan perubahan suhu dari luar sehingga kestabilan humidity atau kelembabannya tetap terjaga. Meskipun disimpan dalam waktu yang lama, bahkan di dalam kulkas sekalipun, bawang goreng khas Palu ini tetap tahan lama, aroma, dan kerenyahannya tetap tidak berkurang. Bagi Anda yang mengidap penyakit kolestrol, tidak perlu khawatir karena bawang goreng khas Palu digoreng dengan menggunakan minyak goreng nonkolestrol. Tidak hanya itu, bawang goreng ini juga sudah mendapatkan sertifikasi dari badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) sehingga aman untuk dikonsumsi.[10]

Bawang merah Palu dipanen setelah berumur 65−70 hari. Setelah dipanen sebaiknya bawang langsung diolah menjadi bawang goreng karena bila ditunda, mutu bawang goreng yang dihasilkan akan menurun. Menurut Hartuti dan Sinaga (1995), penyimpanan dalam bentuk umbi menyebabkan terjadinya berbagai perubahan akibat proses fisiologis, biologis, fisik, kimia, dan mikrobiologis. Selama penyimpanan, senyawa yang menentukan bau dan cita rasa terutama senyawa sulfida akan menguap dari umbi.

Pada awalnya, pengolahan umbi menjadi bawang goreng masih dilakukan dalam skala rumah tangga. Dengan semakin berkembangnya berbagai usaha bisnis makanan yang menggunakan bawang goreng, maka permintaan terhadap bawang goreng Palu semakin meningkat, sehingga para pengusaha mulai mengembangkan usahanya untuk memproduksi bawang goreng dalam skala besar. Beberapa perusahaan mengolah bawang merah Palu menjadi bawang goreng dengan menggunakan mesin pemotong dan penggoreng berkapasitas satu ton bawang basah per hari.

Bawang goreng Palu juga diekspor ke Singapura dan Malaysia serta dipasarkan ke daerah-daerah lain di Indonesia seperti Kalimantan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Jawa. Harga bawang merah Palu sekitar Rp 6.000/kg, sedangkan harga bawang goreng kemasan sekitar Rp 50.000/kg.[11]

Perlindungan Hukum "Indikasi Geografis" Bawang Goreng Palu

Indikiasi geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal barang uang dikaitkan dengan kualitas, reputasi atau karakteristik lain yang sesuai dengan asal geografis barang tersebut. Indikasi Geografis adalah indikasi-indikasi atau tanda yang karena faktor lingkungan geografis, faktor alam, faktor manusia atau kombinasinya, dapat mengidentifikasikan bahwa suatu barang berasal dari suatu daerah, di mana mutu yang dihasilkan, reputasi atau sifat-sifat lain barang tersebut dapat dicirikan secara mendasar terhadap asal geografisnya.

Perlindungan terhadap Indikasi Geografis merupakan hal baru dalam sistem perlindungan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia. Sistem perlindungan terhadap indikasi geografis diatur dalam Perjanjian TRIPs yang mewajibkan negara-negara anggota untuk menyusun peraturan tentang indikasi geografis dengan tujuan memberikan perlindungan hukum terhadap praktik atau tindakan persaingan tidak sehat.[12]

Perlindungan hukum Indikasi Geografis terhadap tanda yang mengidentifikasi suatu wilayah negara atau kawasan atau daerah di dalam wilayah tersebut sebagai asal barang, di mana reputasi, kualitas dan karakterisitik barang tersebut sangat ditentukan oleh faktor geografis. Indonesia merupakan negara mega diversity, negara dengan keragaman budaya dan sumber daya alam. Banyak produk unggulan dihasilkan di Indonesia dan mendapatkan tempat di pasar internasional. Sebagai contoh, Kopi Arabika Kintamani Bali, Java Coffee, Kopi Arabika Mandailing, Lada Putih Muntok, dan tentunya Bawang Merah “Goreng” Palu, serta masih banyak lainnya.[13]

Produk tersebut telah lama dikenal oleh konsumen di berbagai negara. Sejak dahulu hingga sekarang produk tersebut masih diperdagangkan. Dengan semakin ketatnya persaingan, perdagangan suatu produk akan tetap mendapat permintaan tinggi apabila ciri khas dan kualitas bisa dipertahankan serta dijaga konsistensinya. Peningkatan mutu saja kini dirasa tidak cukup untuk menjadikan suatu produk akan tetap bertahan di pasar, tetapi juga bisa menghilangkan produk imitasi yang beredar sehingga eksistensi mutu produk dapat dipertahankan.[14]

Suatu produk yang bermutu khas dan terkenal tentu banyak ditiru orang sehingga perlu diupayakan perlindungan hukum yang memadai bagi produk-produk tersebut. Dalam beberapa kasus telah terbukti bahwa nama produk Indonesia seperti Lada Putih Muntok atau Muntok White Pepper telah banyak digantikn dengan produk serupa dari Vietnam, China, atau daerah lain yang diperdagangkan dengan nama Muntok White Pepper. Contoh lainnya adalah Kopi Arabika Gayo telah didftarkan sebagai merek dagang oleh pihak asing dan akibtnya eksportir asal Gayo yaitu Aceh dilarang memasukkan produknya ke Eropa dengan nama Gayo. Demikian pula yang terjadi dengan Kopi Toraja, yang mana Key Coffee Corporation dari Jepang mendaftarkan merek “Toarco Toraja” dengan nomor pendaftaran 75884722..[15]

Akibat hukum adanya pendaftaran merek Toraja di Jepang, tentunya menghalangi eksportir kopi dari Indonesia untuk memasukkan produk kopi yang menggunakan tanda dengan nama Toraja. Perlindungan hukum Hak Kekayaan Intelektual bersifat teritorial. Ironis bagi pihak Indonesia wilayah geografis dari mana Kopi Toraja itu berasal, manakala pihak asing justru berebut karena nilai aset dan peluang bisnisnya. Walaupun aset tersebut secara de facto telah lama dimiliki, tetapi perlindungannya mensyaratkan kepemilikan yang bersifat yuridis normatif, yaitu pendaftaran kepemilikan. Tentunya pada saat kopi dengan nama dagang beserta gambar rumah adat Toraja terdaftar sebagai Merek di Jepang, perkembangan hukum Merek di Indonesia belum sampai tahap pemahaman konsep perlindungan Indikasi Geografis.[16]

Secara spesifik, indikasi geografis[17] perlu mendapatkan perlindungan, karena:
  1. Indikasi geografis merupakan tanda pengenal atas barang yang berasal dari wilayah tertentu atau nama dari barang yang dihasilkan dari suatu wilayah tertentu dan secara tegas tidak bisa dipergunakan untuk produk sejenis yang dihasilkan dari wilayah lain.
  2. Indikasi geografis merupakan indikator kualitas yang menginformasikan kepada konsumen bahwa barang tersebut dihasilakan dari suatu lokasi tertentu di mana pengaruh alam sekitar menghasilkan kualitas barang dengan karakteristik tertentu yang terus dipertahankan reputasinya.
  3. Indikasi geografis memberikan nilai tambah komersial terhadap produk karena keoriginalitasannya dan limitasi produk yang tidak bisa diproduksi di daerah lain.
  4. Berdasarkan perjanjian TRIPs, indikasi geografis ditetapkan sebagai bagian dari hak milik intelektual yang hak kepemilikannya dapat dipertahankan dari segala tindakan melawan hukum dan persaingan yang tidak sehat.
Oleh karena itu, perlu ada perhatian khusus dari seluruh pihak termasuk pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat agar kejadian sebagaimana dijelaskan di atas tidak terulang. Salah satu yang perlu mendapat perlindungan saat ini adalah “Bawang Goreng Palu” yang telah lama di kembangkan di Lembah Palu, Sulawesi Tenggara.

Footnotes

[1] Plantamor, 2012, Informasi Spesies Bawang Merah, http://www.plantamor.com/index.php?plant=56
[2] Data diperoleh dari Direktorat Gizi, Dep. Kesehatan. 
[3] Ibid. 
[4] Ambarwati, E. Dan P. Yudono, 2003, Keragaan Stabilitas Hasil Bawang Merah. J.Ilmu Pertanian Vol.10 (2), hlm. 1-10. 
[5] Abdul Rahim dkk, Daya Adaptasi dan Potensi Hasil Bawang Merah Varietas Lembah Palu, Makassar: Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, hlm. 2. 
[6] Ibid. 
[7] Limbongan dan Maskar, 2003, Potensi Pengembangan dan Ketersediaan Teknologi Bawang Merah Palu di Sulawesi Tengah, Litbang Pertanian, hlm. 103-108. 
[8] Ibid. 
[10] Ibid. 
[11] Monde, 1987, Pengaruh Berbagai Dosis Pupuk Kandang pada Dua Varietas Bawang Merah, Palu: Fakultas Pertanian Universitas Tadulako. 
[13] Saky Septiono, 2012, Perlindungan Indikasi Geografis dan Potensi Indikasi Geografis Indonesia. http://www.scribd.com/doc/20980646/Perlindungan-Indikasi-Geografis-dan-Daftar-Potensi-Indikasi-Geografis-Indonesia
[14] Ibid. 
[15] Ibid. 
[16] Ardianti Kuncoro, 2012, Perlindungan Indikasi geografis Aset Nasional dari Pendaftaran oleh Negara Lain. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fd1bd073c3a6/perlindungan-indikasi-geografis-aset-nasional-dari-pendaftaran-oleh-negara-lain
[17] Anonim, 2012, Indikasi Geografis, http://haki.unram.ac.id/indikasi-geografis/

Selasa, 07 Mei 2013

Macpherson: Teori Hak Milik

Macpherson membedakan kepemilikan menjadi tiga, yaitu:
a. Milik Pribadi,
b. Milik Umum, dan
c. Milik Negara.
--------------------------
Milik Umum bersubstansi sama dengan konsep “milik pribadi”, yaitu klaim-klaim yang dapat dipaksakan yang dipunyai oleh pribadi-pribadi atas kegunaan dan manfaat suatu benda. Penetapan jalan raya, taman-taman umum sebagai “milik umum” oleh negara, dimaksudkan agar ada jaminan bagi setiap orang untuk menikmati kegunaan barang-barang “milik umum” tersebut. 

Penciptaan hak oleh negara tidaklah membuat hak itu menjadi milik negara tersebut. Dengan demikian sasaran akhir dari konsep “milik umum” dan “milik pribadi” secara substansial memiliki kesamaan, yakni agar setiap orang tetap dapat memperoleh manfaat atas suatu benda. 

Milik negara (state property) justru tidak memberikan kepada warganegara secara perorangan suatu hak langsung untuk menikmati kegunaan, atau suatu hak untuk tidak dikesampingkan dari usaha untuk menikmati benda-benda yang dikuasai oleh negara yang bertindak sebagai suatu lembaga. Misalnya, perusahaan penerbangan Perancis dan Inggris tidak dengan begitu saja dapat dinikmati oleh semua warganegara di negeri-negeri itu. Dengan demikian, milik negara bukan suatu milik umum dan bukan suatu hak pribadi yang tidak boleh dikesampingkan.

Minggu, 05 Mei 2013

Perbedaan Pasal 570 BW dengan Pasal 20 UUPA Mengenai Hak Milik

Guna menarik kesimpulan mengenai perbedaan konsepsi Hak Milik berdasarkan Pasal 570 BW dengan Pasal 20 UUPA, maka terlebih dahulu perlu diketahui mengenai isi ketentuan dari masing-masing pasal tersebut.

Pasal 570 BW menentukan, bahwa:
"Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan suatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang – undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak – hak orang lain; kesemuanya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang –undang dan dengan pembayaran ganti rugi."

Di sisi lain, Pasal 20 UUPA menentukan, bahwa:

  1. Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6.
  2. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Pasal 6 yang dimaksudkan adalah “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial

Dalam Penjelasan Umum UUPA diuraikan bahwa fungsi sosial itu sendiri, bermakna:

“Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan negara. Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat).

Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok : kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya [pasal 2 ayat (3)].

Berhubung dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hal yang sewajarnya bahwa tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah itu (Pasal 15). Dalam melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan kepentingan pihak yang ekonomis lemah.” 


Berdasarkan isi dari ketentuan Pasal 570 BW, maka dapat ditarik unsur-unsurnya yang juga sekaligus dapat dibandingkan dengan Pasal 20 UUPA.

a. Hak untuk menggunakan benda dengan leluasa, asal tidak menyalahi ketentuan yang berlaku.

Pasal 570 BW mengisyaratkan bahwa semua yang memegang hak milik berhak melakukan apapun di atas alas hak tersebut, kecuali ditentukan lain oleh peraturan yang sah. Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria termasuk kategori peraturan yang dalam hal ini, disahkan dan diundangkan pada tanggal 24 September 1960.

Klausa “leluasa, asal tidak melanggar aturan” juga ditemukan di Pasal 20 UUPA. Hal ini tidak tercantum secara eksplisit, karena bunyi pasal tersebut mengharuskan kita melihat lagi aturan Pasal 6 yang mengatur mengenai fungsi sosial tanah. Telah disebutkan di atas bahwa memori penjelasan rancangan UUPA secara panjang lebar menguraikan mengenai fungsi sosial tanah agar pemegang hak milik tetap menghormati hak orang lain, dan tetap memperhatikan kondisi sosial masyarakat agar terjadi pemerataan kesejahteraan.

Pengelolaan bumi, air dan ruang angkasa sebagai pengertian agraria dalam arti luas, harus mengutamakan kepentingan bersama. Bagaimanapun juga, kemerdekaan, sumber daya alam dan potensi yang ada di Indonesia adalah milik seluruh bangsa Indonesia pula. Seluruh elemen akan saling bersinergi dengan baik jika fungsi sosial tanah ini ditaati dengan sepenuhnya.

b. Tidak mengganggu hak orang lain.

Substansi dari ketentuan ini bahwa di atas hak kita terdapat hak orang lain. Mirip dengan fungsi sosial dari tanah yang tersirat dalam Pasal 20.

c. Pencabutan Hak dapat Dilakukan Jika Melanggar Peraturan dan Melanggar Ketentuan Umum

Persoalan pencabutan hak milik yang disebut di UUPA tidak ditemukan di Pasal 20. Ayat (2) Pasal 20 UUPA hanya menyebutkan “hak milik dapat beralih dan dapat dialihkan…”. Pencabutan hak tercantum di UUPA, tetapi bukan di pasal 20, melainkan di pasal 18.

d. Dapat dilakukan ganti rugi

Ganti rugi yang dimaksud adalah ketika suatu hak milik beralih ke pihak lain dengan kondisi bukan karena warisan. Karena, jika suatu tanah hak milik diwariskan, maka tidak ada ganti kerugian. Kematian adalah syarat mutlak pengalihak hak milik secara waris, dan pemegang waris tidak diberi ganti rugi. Ganti rugi dapat diberikan dalam hal peralihan hak karena suatu tanah digunakan untuk pelebaran jalan, pembangunan fasilitas negara berupa gedung, dan lain sebagainya.

Pasal 20 UUPA tidak memuat ketentuan mengenai ganti kerugian. Ketentuan tersebut terdapat di pasal 17 dan pasal 18.

Dengan demikian secara seingkat, dapat pula dibedakan bahwa hak eigendom atas tanah, pemilik (eigenaar) tanah yang bersangkutan mempunyai hak “mutlak” atas tanahnya, mengingat konsepsi hukum Barat dilandasi oleh jiwa dan pandangan hidup yang bersifat individualistis-materialistis. Sedangkan, Pasal 6 UUPA, hak milik mempunyai fungsi sosial, artinya :

a. Hak milik disamping memberi manfaat bagi pemiliknya, harus diusahakan sedapat mungkin bermanfaat bagi orang lain atau kepentingan umum. 
b. Penggunaan hak milik tersebut tidak boleh mengganggu ketertiban dan kepentingan umum.

Kamis, 28 Maret 2013

Alternatif Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999

A. Konsultasi

Pada dasarnya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tidak menjelaskan secara tentang pengertian konsultasi dan bagaimana prosedurnya. Namun, banyak pendapat yang dikemukakan oleh ahli tentang konsultasi. Salah satu definisi konsultasi seperti yang dikemukakan oleh Zins bahwa konsultasi ialah suatu proses yang biasanya didasarkan pada karakteristik hubungan yang sama yang ditandai dengan saling mempercayai dan komunikasi yang terbuka, bekerja sama dalam mengidentifikasikan masalah, menyatukan sumber-sumber pribadi untuk mengenal dan memilih strategi yang mempunyai kemungkinan dapat memecahkan masalah yang telah diidentifikasi, dan pembagian tanggung jawab dalam pelaksanaan dan evaluasi program atau strategi yang telah direncanakan.[1]

Konsultasi menurut wiktionary adalah sebuah pertemuan atau konferensi untuk saling bertukar informasi dan saran. Konsultasi didefinisikan oleh Audit Commission (1999) sebagai sebuah proses dialog yang mengarah kepada sebuah keputusan.[2] Definisi tersebut menyiratkan tiga aspek dalam konsultasi :
  1. Konsultasi adalah sebuah dialog, di dalamnya ada aktifitas berbagi dan bertukar informasi dalam rangka untuk memastikan pihak yang berkonsultasi agar mengetahui lebih dalam tentang suatu tema. Oleh karenanya konsultasi adalah sesuatu yang edukatif dan inklusif.
  2. Konsultasi adalah sebuah proses. Konsultasi adalah sebuah proses yang interaktif dan berjalan.
  3. Konsultasi adalah tentang aksi dan hasil. Konsultasi harus dapat memastikan bahwa pandangan yang dikonsultasikan mengarahkan kepada sebuah pengambilan keputusan. Oleh karenanya konsultasi adalah tentang aksi dan berorientasi kepada hasil.
Layanan konsultasi adalah layanan konseling oleh konselor sebagai konsultan kepada konsulti dengan tujuan memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan konsulti dalam rangka membantu terselesaikannya masalah yang dialami pihak ketiga (konseli yang bermasalah). Pada layanan konsultasi, dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap konsultasi yang dilakukan oleh konselor kepada konsulti dan tahap penanganan yang dilakukan oleh konsulti kepada konseli/pihak ketiga. Maka petugas pada tahap konsultasi adalah konselor, sedangkan petugas pada tahap penanganan adalah konsulti.[3]

Layanan konsultasi mengandung beberapa aspek, yaitu:
  1. Konsultan seseorang yang secara profesional mempunyai kewenangan untuk memberikan bantuan kepada konsulti dalam upaya mengatasi masalah klien.
  2. Konsulti yaitu pribadi atau seorang professional yang secara langsung memberikan bantuan pemecahan masalah terhadap klien.
  3. Klien yaitu pribadi atau organisasi tertentu yang mempunyai masalah.
  4. Konsultasi merupakan proses pemberian bantuan dalam upaya mengatasi masalah klien secara tidak langsung.
Dalam layanan konsultasi ini dapat diperjelas bahwa penanganan masalah yang dialami konseli (pihak ketiga) dilakukan oleh konsulti. Konsulti akan dikembangkan kemampuannya oleh konselor pada saat tahap konsultasi berlangsung yaitu mengembangkan pada diri konsultasi tentang wawasan, pengetahuan, ketrampilan, nilai, dan sikap. Akhir proses konsultasi ini adalah konselor menganggap bahwa konsultasi mampu membantu menangani kondisi atau permasalahan pihak ketiga yang setidaknya menjadi tanggung jawabnya. Konsutasi adalah orang yang ikut bertanggung jawab terhadap masalah yang dialami pihak ketiga.

Terdapat tiga etika dasar konseling yaitu kerahasiaan, kesukarelaan, dan keputusan diambil oleh klien sendiri (kemandirian). Etika dasar ini terkait langsung dengan asas konseling. Asas ini juga berlaku pada layanan konsultasi. Ketiga asas ini diuraikan sebagai berikut:[4]

a). Asas Kerahasiaan

Seorang konselor diwajibkan untuk menjaga kerahasiaan, dengan harapan adanya kepercayaan dari semua pihak maka mereka akan memperoleh manfaat dari pelayanan konsultasi. Asas kerahasiaan pada layanan konsultasi yang dimaksudkan adalah menyangkut jaminan kerahasiaan identitas konsultasi dan pihak ketiga, dan jaminan kerahasiaan terhadap permasalahan yang dialami pihak ketiga.

b). Asas Kesukarelaan

Kesukarelaan yang dimaksudkan pada layanan konsultasi adalah kesukarelaan dari konselor dan konsulti. Konselor secara suka dan rela membantu konsulti untuk membantu mengarahkan bantuan pemecahan masalah yang akan diberikan kepada pihak ketiga. Kesukarelaan konsulti yaitu bersikap sukarela dating sendiri kepada konselor dan kemudian terbuka mengemukakan hal-hal yang terkait dengan konsulti sendiri dan pihak ketiga dengan tujuan agar permasalahan yang dialami pihak ketiga segera terselesaikan.

c). Asas Kemandirian

Pada layanan konsultasi, konsulti diharapkan mencapai tahap-tahap kemandirian berikut:

1) Memahami dan menerima diri sendiri secara positif dan dinamis.
2) Memahami dan menerima lingkungan secara objektif, positif dan dinamis.
3) Mengambil keputusan secara positif dan tepat.
4) Mengarahkan diri sesuai dengan keputusan yang diambil.

B. Negosiasi

Negosiasi adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak-pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan. Atau dengan kata lain negosiasi adalah suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan melalui diskusi formal. Negosiasi merupakan suatu proses saat dua pihak mencapai perjanjian yang dapat memenuhi kepuasan semua pihak yang berkepentingan dengan elemen-elemen kerjasama dan kompetisi. Termasuk di dalamnya, tindakan yang dilakukan ketika berkomunikasi, kerjasama atau memengaruhi orang lain dengan tujuan tertentu.[5]

Negosiasi adalah hal yang biasa dilakukan oleh setiap orang dan dapat dilakukan untuk berbagai macam hal dan kepentingan. Negosiasi merupakan komunikasi dua arah, ketika masing-masing pihak saling mengemukakan keinginannya. Teknik bernegosiasi tentu berbeda bagi setiap orang. Perbedaan teknik bernegosiasi disebabkan oleh berbagai macam faktor, misalnya faktor latar belakang pendidikan, sifat, karakter, dan pengalaman.[6]

Pada umumnya, jika terjadi sengketa maka para pihak yang sedang berkonflik akan memulai suatu komunikasi terlebih dahulu. Dilakukannya komunikasi sebelum negosiasi merupakan hal mutlak yang harus dilakukan. Komunikasi dilakukan oleh para pihak untuk dapat mengetahui pokok permasalahan. Karena jika negosiasi tetap dilakukan tanpa mengetahui duduk permasalahan yang sebenarnya, negosiasi yang dilakukan oleh para pihak akan tidak efektif, sehingga menyebabkan negosiasi panjang dan kemungkinan tidak akan berhasil.

Tahapan Negoisasi menurut William Ury dibagi menjadi empat tahap yaitu:[7]

a). Tahapan Persiapan :

  1. Persiapan sebagai kunci keberhasialan;
  2. Mengenal lawan, pelajari sebanyak mungkin pihak lawan dan lakukan penelitian;
  3. Usahakan berfikir dengan cara berfikir lawan dan seolah-olah kepentingan lawan sama dengan kepentingan anda;
  4. Sebaiknya persiapkan pertanyaan-pertanyaan sebelum pertemuan dan ajukan dalam bahasa yang jelas dan jangan sekali-kali memojokkan atau menyerang pihak lawan;
  5. Memahami kepentingan kita dan kepentingan lawan;
  6. Identifikasi masalahnya, apakah masalah tersebut menjadi masalah bersama?
  7. Menyiapkan agenda, logistik, ruangan dan konsumsi;
  8. Menyiapkan tim dan strategi;
  9. Menentukan BTNA (Best Alternative to A Negitieted Agreement) alternatif lain atau harga dasar (Bottom Line).

b). Tahapan Orientasi dan Mengatur Posisi
  1. Bertukar informasi;
  2. Saling menjelaskan permasalahan dan kebutuhan;
  3. Mengajukan tawaran awal.

c). Tahapan Pemberi Konsesi/Tawar-menawar
  1. Para pihak saling menyampaikan tawaranya, menjelaskan alasanya dan membujuk pihak lain untuk menerimanya;
  2. Dapat menawarkan konsensi, tapi pastikan kita memperoleh sesuatu sebagai imbalanya;
  3. Mencoba memahai pemikiran pihak lawan;
  4. Mengidentifikasi kebutuhan bersama;
  5. Mengembangkan dan mendiskusiakan opsi-opsi penyelesaian.

d). Tahapan Penutup
  1. Mengevaluasi opsi-opsi berdasarkan kriteria obyektif;
  2. Kesepakatan hanya menguntungkan bila tidak ada lagi opsi lain yang lebih baik, bila tidak berhasil mencapai kesepakatan, membatalkan komitmen atau menyatakan tidak ada komitmen.

C. Mediasi

Mediasi sebagai bentuk dari alternative Dispute Rosolutian (ADR), terdapat definisi yang beragam tentang mediasi yang dikemukakan oleh para pakar hukum. Namun secara umum, banyak mengakui bahwa mediasi adalah proses untuk menyelesaikan sengketa dengan melakukan bantuan pihak ketiga. Peran pihak ketiga itu adalah dengan melibatkan diri dari bantuan para pihak dalam mengidientifikasi masalah-masalah yang disengketakan.

Berdasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008, pengertian mediasi disebutkan pasal 1 butir 7, yaitu “Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator”. Berdasarkan uraian tersebut, mediasi merupakan suatu proses yang ditunjukan untuk memungkinkan para pihak yang bersengketa mendiskusikan perbedaan-perbedaan mereka dengan bantuan pihak ketiga yang netral. Tugas utama dari pihak yang netral tersebut (mediator) adalah menolong para pihak memahami pandangan pihak lain sehubungan dengan masalah yang disengketakan. Selanjutnya mediator membantu mereka melakukan penilaian yang objektif dari seluruh situasi untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, guna mengakhiri sengketa yang terjadi.

Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada setiap proses mediasi, mediator memegang peranan yang sangat penting. Mediasi tidak akan terlaksana tanpa usaha seorang mediator untuk mempertemukan keinginan para pihak dan mencari solusi yang sama-sama menguntungkan atas permasalahan yang terjadi.

Dalam praktik, mediator sangat membutuhkan kemampuan personal yang memungkinkannya berhubungan secara menyenangkan dengan para pihak. Kemampuan pribadi yang terpenting adalah sifat tidak menghakimi, yaitu dalam kaitannya dengan cara berfikir masing- masing pihak. Dengan bekal berbagai kemampuan yang dimilikinya, mediator diharapkan dapat menjalankan peranannya untuk menganalisis dan mendiagnosa sengketa yang ada. Kemudian mendisain dan mengendalikan proses mediasi untuk menuntun para pihak mencapai suatu kesepakatan. Adapun hal-hal yang perlu dilakukan oleh seorang mediator dalam praktik, antara lain sebagai berikut:
  1. Melakukan diagnosis konflik,
  2. Mengidientifikasi masalah serta kepentingan-kepentingan kritis para pihak.
  3. Menyusun agenda.
  4. Memperlancar dan mengendalikan komunikasi.
  5. Mengajar para pihak dalam proses dan keterampilan tawar- menawar.
  6. Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting, dan menciptakan pilihan-pilihan untuk memudahkan penyelesaian problem.
Kaitannya dengan itu, tugas mediator adalah mengarahkan dan memfasilitasi lancarnya komunikasi dan membantu para pihak agar memperoleh pengertian tentang perselisihan secara keseluruhan sehingga memungkinkan setiap pihak membuat penilaian yang objektif. Dengan bantuan dan bimbingan mediator, para pihak bergerak kearah negosiasi penyelesaian sengketa mereka.

Menurut Fuller[8] salah seorang pakar hukum menyebutkan bahwa fungsi dari seorang mediator ada 7, yakni:

  1. Sebagai “katalisator”, mengandung pengertian bahwa kehadiran mediator dalam proses perundingan mampu mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi diskusi.
  2. Sebagai “pendidik”, berarti seorang harus berusaha memahami aspirasi, prosedur kerja, keterbatasan politis, dan kendala usaha dari para puhak.
  3. Sebagai “penerjemah”, berarti mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak yang lainnya melalui bahasa atau ungkapan yang baik dengan tanpa mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul.
  4. Sebagai “nara sumber” berarti seorang mediator harus mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia.
  5. Sebagai “penyandang berita jelek”, berarti seorang mediator harus menyadari bahwa para pihak dalam proses perundingan dapat bersikap emosional. Untuk itu, mediator harus mengadakan pertemuan terpisah dengan pihak-pihak terkait untuk menampung berbagai usulan.
  6. Sebagai “agen realitas”, berarti mediator harus berusaha memberikan pengertian secara jelas kepada salah satu pihak bahwa sasarannya tidak mungkin/ tidak masuk akal tercapai melalui perundingan.
  7. Sebagai “kambing hitam”, berarti seorang mediator harus siap disalahkan, misalnya dalam membuat kesepakatan hasil perundingan.
D. Konsiliasi

Konsiliasi adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian. Dalam menyelesaikan perselisihan, konsiliator memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidak memihak kepada yang bersengketa. Selain itu, konsiliator tidak berhak untuk membuat keputusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak sehingga keputusan akhir merupakan proses konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan di antara mereka.

Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini adalah melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketanya secara damai. Konsiliasi dan mediasi sulit untuk dibedakan. Istilahnya acapkali digunakan dengan bergantian. Namun menurut Behrens, ada perbedaan antara kedua istilah ini, yaitu konsiliasi lebih formal dari pada mediasi. Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seorang individu atau suatu badan yang disebut dengan badan atau komisi konsiliasi. Komisi konsiliasi bisa sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang berfungsi untuk menetapkan persyaratan-persyaratanpenyelesaian yang diterima oleh pihak, namun putusannya tidak mengikat para pihak.

Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap, yaitu tahap tertulis dan tahap lisan. Dalam tahap pertama, sengketa yang diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan konsiliasi. Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya. Berdasarkan fakta-fakta yang diperolehnya, konsiliator atau badan konsiliasiakan menyerahkan laporannya kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan-usulan penyelesaian sengketanya. Usulan ini sifatnya tidak mengikat. Oleh karena itu, diterima tidaknya usulan tersebut bergantung sepenuhnya kepada para pihak.

Penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi menggunakan intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang melakukan intervensi ini biasanya adalah negara, namun bisa juga sebuah komisi yang dibentuk oleh para pihak. Komisi konsiliasi yang dibentuk oleh para pihak dapat saja terlembaga atau bersifat ad hoc, yang kemudian memberikan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun keputusan yang diberikan oleh komisi konsiliasi ini tidak mengikat para pihak.

Tujuan dari pertemuan konsiliasi adalah untuk membawa pihak yang berkepentingan untuk bersama sama mencari jalan keluar untuk menyelesaikan perselisihan. Konsiliasi mencari jalan tengah yang bisa diterima kedua belah pihak untuk menyelesaikan permasalahan, supaya kedua belah pihak dapat melewati perselisihan tersebut. Karena proses konsiliasi memperbolehkan kedua belah pihak yang berselisih untuk membicarakan masalah mereka, maka ini memungkinkan bagi salah satu pihak untuk mendapatkan pengertian yang lebih baik atas pihak yang lain. Ini dapat membantu menghilangkan salah pengertian yang dikarenakan prasangka atau informasi yang tidak benar untuk mencapai perubahan sikap yang nyata. Semua informasi yang didapatkan dalam proses konsiliasi akan dijaga kerahasiaannya dan tidak akan dibuat sebagai bagian dari proses peradilan.

Pertemuan konsiliasi adalah pertemuan suka rela. Jika pihak yang bersangkutan mencapai perdamaian, maka perjanjian perdamaian yang ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan merupakan kontrak yang mengikat secara hukum. Perdamaian dalam pertemuan konsiliasi dapat berupa permintaan maaf, perubahan kebijaksanaan dan kebiasaan, memeriksa kembali prosedur kerja, memperkerjakan kembali, ganti rugi uang, dan sebagainya.

E. PENILAIAN AHLI
 
Penilaian Ahli adalah suatu upaya mempertemukan pihak yang berselisih dengan cara menilai pokok sengketa yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang ahli di bidang terkait dengan pokok sengketa untuk mencapai persetujuan. Penilaian ahli berupa keterangan tertulis yang merupakan hasil telaahan ilmiah berdasarkan keahlian yang dimiliki untuk membuat terang pokok sengketa yang sedang dalam proses. Penilaian ahli ini dapat diperoleh dari seseorang atau Tim ahli yang dipilih secara ad hoc.

Referensi:

[1] Yetty Wira Cettarawati, Penyuluhan dan Konsultasi. adingpintar.files.wordpress.com/2012/03/penyuluhan-dan-konsultasi.pdf, 2013.
[2] Ibid.
[3] Ovi Daedev, Layanan Konsultasi, http://ovidaedev.blogspot.com/2012/05/layanan-konsultasi.html, 2012.
[4] Ibid.
[5] Wikipedia, Negosiasi, http://id.wikipedia.org/wiki/Negosiasi, 2012.
[6] Jimmy Joses Sembiring, Cara Menyelesaikan...., Op.Cit., hlm. 15.
[7] Gunawan wijaya, Alternative Penyelesaian Sengketa, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
[8] Suyud Margono, Alternative Dispute Resolution (ADR) dan Arbitrase. Cetakan ke-2 , Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, hlm. 60-61.

Pengantar Alternatif Penyelesaian Sengketa

Setiap manusia tentu mempunyai tujuan dalam kehidupannya. Dalam mencapai tujuan tersebut, manusia akan berusaha untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya terlebih dahulu. Kebutuhan hidup manusia bersifat mutlak dan harus dipenuhi, sebab tanpa dipenuhinya kebutuhan tersebut, manusia tidak akan dapat menjalankan anktivitasnya, yaitu pemenuhan akan kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan setiap manusia berjenjang, dalam arti, setelah satu kebutuhan dipenuhi, maka akan berusaha semaksimal mungkin untuk dapat memenuhi kebutuhan lainnya.

Manusia dalam menjalankan aktivitas kehidupan, seringkali terjadi persinggungan antara manusia satu dengan yang lain ataupun dengan badan hukum, baik dalam bentuk hubungan antarpribadi maupun transaksi bisnis. Persinggungan tersebut dapat menimbulkan reaksi positif, yaitu reaksi yang tidak menimbulkan kerugian bagi para pihak ataupun reaksi negatif yang mengakibatkan kerugian bagi salah satu pihak, sehingga menyebabkan terjadinya sengketa.[1]

Sengketa dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, di antaranya perbedaan kepentingan ataupun perselisihan antara satu pihak dengan pihak yang lain. Dapat juga disebabkan oleh adanya aturan-aturan kaku yang dianggap sebagai penghalang dan penghambat untuk dapat mencapai tujuan masing-masing pihak.

Sengketa yang terjadi tentunya harus mendapatkan penyelesaian di antara para pihak. Penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui pengadilan (litigasi) atau pun di luar pengadilan (non litigasi). Penyelesaian sengketa melalui pengadilan berpedoman kepada hukum acara yang mengatur persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu sengketa dapat diajukan serta upaya-upaya yang dapat dilakukan. Sedangkan, penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah penyelesaian sengketa yang dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak dan prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang bersengketa.[2]

Begitu pentingnya sengketa untuk diselesaikan secepat dan seefisien mungkin, agar tidak menimbulkan dampak yang lebih besar, maka pada kesempatan ini, penulis akan mengkaji lebih lanjut penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Menurut penulis, penyelesaian sengketa di luar pengadilan memiliki karakteristik khusus dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang telah memiliki sistemnya tersendiri.
 
Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.[3] Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa alternatif penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan dan pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada para pihak dan para pihak dapat memilih penyelesaian sengketa yang akan ditempuh yakni melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau meminta penilaian ahli. Hal ini menjadi kehendak bebas sepenuhnya dari para pihak. Kebebasan untuk memilih bentuk penyelesaian yang membedakan antara penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan penyelesaian sengketa melalui pengadilan.

Pada umumnya, asas-asas yang berlaku pada alternatif penyelesaian sengketa, sebagai berikut:
  1. Asas itikad baik, yaitu keinginan dari para pihak untuk menentukan penyelesaian sengketa yang akan maupun sedang mereka hadapi.
  2. Asas kontraktual, yakni adanya kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk tertulis mengenai cara penyelesaian sengketa.
  3. Asas mengikat, yakni para pihak wajib untuk mematuhi apa yang telah disepakati.
  4. Asas kebebasan berkontrak, yaitu para pihak dapat dengan bebas menentukan apa saja yang hendak diatur oleh para pihak dalam perjanjian tersebut selama tidak bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan. Hal ini berarti pula, kesepakatan mengenai tempat dan jenis penyelesaian sengketa yang akan dipilih.
  5. Asas kerahasiaan, yaitu penyelesaian atas suatu sengketa tidak dapat disaksikan oleh orang lain karena hanya pihak yang bersengketa yang dapat menghadiri jalannya pemeriksaan atas suatu sengketa.
Referensi:

[1] Jimmy Joses Sembiring, Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, & Arbitrase, Jakarta: Visi Media, 2011, hlm. 1.
[2] Ibid., hlm. 2.
[3] Lihat Pasal 1 angka 10 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Kamis, 21 Maret 2013

Penyelesaian Kasus Sengketa Simpanan H. Thahir di Bank Sumitomo Singapura

Haji Achmad Thahir atau yang lebih dikenal dengan H. Thahir adalah nama yang cukup populer di tahun 1975-an. Di masa kepresidenan Soeharto, H. Tharir menjabat sebagai Asisten Umum Direktur Utama Pertamina yang saat bersamaan Pertamina dipimpin oleh Ibnu Sutowo. Sepeninggal H. Tharir pada tanggal 23 Juli 1976, menimbulkan kontroversial di dunia hukum, sebab ternyata H. Tharir memiliki simpanan rekening di Bank Sumitomo Singapura bernilai Rp 153 milyar rupiah.

Kartika yang merupakan istri keempat dari H. Thahir mengakui bahwa harta simpanan di Bank Sumitomo tersebut adalah harta bersama dengan H. Thahir (joint account). Namun, sebelum Kartika datang, ternyata Ibrahim Thahir bersama empat saudaranya yang merupakan anak H. Thahir dari istri pertamanya sudah lebih dahulu meminta uang tersebut diblokir. Hal ini memang belum cukup menampakkan adanya kepastian, sebab pada 6 Nopember 1975, lebih dari setahun seteleh pembukaan rekening, H. Thahir meminta pihak Bank Sumitomo mentransfer semua rekeningnya ke dalam rekening bersama (and/or) Thahir-Kartika. Dan pada 11 Nopember 1975, Sumitomo meminta rekonfirmasi perihal transfer tersebut, hingga pada 23 Juli 1976 H. Thahir meninggal dunia dan tidak pernah memberikan jawaban atas rekonfirmasi dari Bank Sumitomo.

Belakangan, dua saudara tiri Ibrahim Thahir dari istri kedua ayahnya ikut bergabung dengan Ibrahim Thahir. Karena ketidakjelasan siapa yang berhak atas simpanan uang tersebut, Bank Sumitomo melimpahkan permasalahan itu ke Pengadilan Tinggi Singapura untuk menentukan kepada siapa ia akan memberikan uang itu apakah kepada Kartika atau anak tiri dari H. Thahir.

Di sisi lain, Pemerintah Indonesia (Pertamina) tidak tinggal diam menyikapi kasus ini, sebab diduga harta simpanan tersebut adalah hasil korupsi H. Thahir yang berasal dari Komisi perusahaan-perusahaan kontraktor yang tidak disetor ke dalam keuangan Pertamina. Perusahaan-perusahaan tersebut yaitu Siemens, Klockner, dan Ferrosthal. Akhirnya, Indonesia membentuk tim yang diketuai oleh L.B. Moerdani yang beranggotakan Letnan Kolonel Teddy Rusdy, Soehadibroto (Kejaksaan Agung), Dicky Turner (Pertamina) dan Albert Hasibuan (pengacara). Tim ini bertugas mengembalikan uang hasil korupsi tersebut kembali ke negara.

Kasus ini diselesaikan melalui Pengadilan Tinggi Singapura, meskipun sesungguhnya masing-masing pihak yang bersengketa adalah warga negara Indonesia, namun objek sengketanya berada di Singapura. Dan Singapura tentu paling tidak memliki kepentingan atas kasus ini. Penyelesaian kasus ini berkaitan dengan choice of forum dan choice of law. Choice of forum atau pilihan forum yang dipilih adalah melalui pengadilan (litigasi) meskipun sesungguhnya di luar pengadilan masih ada jalur non-litigasi. Namun, mungkin karena sebelumnya dalam perjanjian penyimpanan uang di Bank Sumitomo telah ditentukan jalur penyelesaian sengketanya, maka dipilihlah jalur pengadilan.

Selain itu, penyelesaian sengketa ini juga berkaitan dengan choice of law atau pilihan hukum. Choice of law menentukan hukum manakah yang harus diberlakukan untuk mengatur atau menyelesaikan persoalan-persoalan yuridis yang mengandung unsur asing. Pada kasus ini unsur asing tersebut adalah Bank Sumitomo yang berkedudukan di Singapura. Pilihan hukum terjadi karena ada pertentangan seolah-olah kedaulatan negara sedang berkonflik, sehingg dalam memilih hukum yang harus dipakai. Pada kasus ini, choice of law yang digunakan adalah Hukum Indonesia, sebab para pihak yang bersengketa adalah berkewarganegaraan Indonesia.

Hingga pada akhirnya, setelah 16 tahun perkara ini berlangsung, pada 3 Desember 1992, Hakim Pengadilan Tinggi Singapura Lai Kew Chai memutuskan bahwa pertamina berhak atas uang deposito H. Thahir yang jumlahnya sekitar 78 juta dollar yang berkembang dari 35 juta dollar di tahun 1976.