Setiap manusia tentu mempunyai tujuan dalam kehidupannya. Dalam mencapai tujuan tersebut, manusia akan berusaha untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya terlebih dahulu. Kebutuhan hidup manusia bersifat mutlak dan harus dipenuhi, sebab tanpa dipenuhinya kebutuhan tersebut, manusia tidak akan dapat menjalankan anktivitasnya, yaitu pemenuhan akan kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan setiap manusia berjenjang, dalam arti, setelah satu kebutuhan dipenuhi, maka akan berusaha semaksimal mungkin untuk dapat memenuhi kebutuhan lainnya.
Manusia dalam menjalankan aktivitas kehidupan, seringkali terjadi persinggungan antara manusia satu dengan yang lain ataupun dengan badan hukum, baik dalam bentuk hubungan antarpribadi maupun transaksi bisnis. Persinggungan tersebut dapat menimbulkan reaksi positif, yaitu reaksi yang tidak menimbulkan kerugian bagi para pihak ataupun reaksi negatif yang mengakibatkan kerugian bagi salah satu pihak, sehingga menyebabkan terjadinya sengketa.[1]
Sengketa dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, di antaranya perbedaan kepentingan ataupun perselisihan antara satu pihak dengan pihak yang lain. Dapat juga disebabkan oleh adanya aturan-aturan kaku yang dianggap sebagai penghalang dan penghambat untuk dapat mencapai tujuan masing-masing pihak.
Sengketa yang terjadi tentunya harus mendapatkan penyelesaian di antara para pihak. Penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui pengadilan (litigasi) atau pun di luar pengadilan (non litigasi). Penyelesaian sengketa melalui pengadilan berpedoman kepada hukum acara yang mengatur persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu sengketa dapat diajukan serta upaya-upaya yang dapat dilakukan. Sedangkan, penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah penyelesaian sengketa yang dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak dan prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang bersengketa.[2]
Begitu pentingnya sengketa untuk diselesaikan secepat dan seefisien mungkin, agar tidak menimbulkan dampak yang lebih besar, maka pada kesempatan ini, penulis akan mengkaji lebih lanjut penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Menurut penulis, penyelesaian sengketa di luar pengadilan memiliki karakteristik khusus dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang telah memiliki sistemnya tersendiri.
Manusia dalam menjalankan aktivitas kehidupan, seringkali terjadi persinggungan antara manusia satu dengan yang lain ataupun dengan badan hukum, baik dalam bentuk hubungan antarpribadi maupun transaksi bisnis. Persinggungan tersebut dapat menimbulkan reaksi positif, yaitu reaksi yang tidak menimbulkan kerugian bagi para pihak ataupun reaksi negatif yang mengakibatkan kerugian bagi salah satu pihak, sehingga menyebabkan terjadinya sengketa.[1]
Sengketa dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, di antaranya perbedaan kepentingan ataupun perselisihan antara satu pihak dengan pihak yang lain. Dapat juga disebabkan oleh adanya aturan-aturan kaku yang dianggap sebagai penghalang dan penghambat untuk dapat mencapai tujuan masing-masing pihak.
Sengketa yang terjadi tentunya harus mendapatkan penyelesaian di antara para pihak. Penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui pengadilan (litigasi) atau pun di luar pengadilan (non litigasi). Penyelesaian sengketa melalui pengadilan berpedoman kepada hukum acara yang mengatur persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu sengketa dapat diajukan serta upaya-upaya yang dapat dilakukan. Sedangkan, penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah penyelesaian sengketa yang dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak dan prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang bersengketa.[2]
Begitu pentingnya sengketa untuk diselesaikan secepat dan seefisien mungkin, agar tidak menimbulkan dampak yang lebih besar, maka pada kesempatan ini, penulis akan mengkaji lebih lanjut penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Menurut penulis, penyelesaian sengketa di luar pengadilan memiliki karakteristik khusus dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang telah memiliki sistemnya tersendiri.
Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.[3] Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa alternatif penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan dan pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada para pihak dan para pihak dapat memilih penyelesaian sengketa yang akan ditempuh yakni melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau meminta penilaian ahli. Hal ini menjadi kehendak bebas sepenuhnya dari para pihak. Kebebasan untuk memilih bentuk penyelesaian yang membedakan antara penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan penyelesaian sengketa melalui pengadilan.
Pada umumnya, asas-asas yang berlaku pada alternatif penyelesaian sengketa, sebagai berikut:
Pada umumnya, asas-asas yang berlaku pada alternatif penyelesaian sengketa, sebagai berikut:
- Asas itikad baik, yaitu keinginan dari para pihak untuk menentukan penyelesaian sengketa yang akan maupun sedang mereka hadapi.
- Asas kontraktual, yakni adanya kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk tertulis mengenai cara penyelesaian sengketa.
- Asas mengikat, yakni para pihak wajib untuk mematuhi apa yang telah disepakati.
- Asas kebebasan berkontrak, yaitu para pihak dapat dengan bebas menentukan apa saja yang hendak diatur oleh para pihak dalam perjanjian tersebut selama tidak bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan. Hal ini berarti pula, kesepakatan mengenai tempat dan jenis penyelesaian sengketa yang akan dipilih.
- Asas kerahasiaan, yaitu penyelesaian atas suatu sengketa tidak dapat disaksikan oleh orang lain karena hanya pihak yang bersengketa yang dapat menghadiri jalannya pemeriksaan atas suatu sengketa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar