Kamis, 28 Maret 2013

Alternatif Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999

A. Konsultasi

Pada dasarnya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tidak menjelaskan secara tentang pengertian konsultasi dan bagaimana prosedurnya. Namun, banyak pendapat yang dikemukakan oleh ahli tentang konsultasi. Salah satu definisi konsultasi seperti yang dikemukakan oleh Zins bahwa konsultasi ialah suatu proses yang biasanya didasarkan pada karakteristik hubungan yang sama yang ditandai dengan saling mempercayai dan komunikasi yang terbuka, bekerja sama dalam mengidentifikasikan masalah, menyatukan sumber-sumber pribadi untuk mengenal dan memilih strategi yang mempunyai kemungkinan dapat memecahkan masalah yang telah diidentifikasi, dan pembagian tanggung jawab dalam pelaksanaan dan evaluasi program atau strategi yang telah direncanakan.[1]

Konsultasi menurut wiktionary adalah sebuah pertemuan atau konferensi untuk saling bertukar informasi dan saran. Konsultasi didefinisikan oleh Audit Commission (1999) sebagai sebuah proses dialog yang mengarah kepada sebuah keputusan.[2] Definisi tersebut menyiratkan tiga aspek dalam konsultasi :
  1. Konsultasi adalah sebuah dialog, di dalamnya ada aktifitas berbagi dan bertukar informasi dalam rangka untuk memastikan pihak yang berkonsultasi agar mengetahui lebih dalam tentang suatu tema. Oleh karenanya konsultasi adalah sesuatu yang edukatif dan inklusif.
  2. Konsultasi adalah sebuah proses. Konsultasi adalah sebuah proses yang interaktif dan berjalan.
  3. Konsultasi adalah tentang aksi dan hasil. Konsultasi harus dapat memastikan bahwa pandangan yang dikonsultasikan mengarahkan kepada sebuah pengambilan keputusan. Oleh karenanya konsultasi adalah tentang aksi dan berorientasi kepada hasil.
Layanan konsultasi adalah layanan konseling oleh konselor sebagai konsultan kepada konsulti dengan tujuan memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan konsulti dalam rangka membantu terselesaikannya masalah yang dialami pihak ketiga (konseli yang bermasalah). Pada layanan konsultasi, dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap konsultasi yang dilakukan oleh konselor kepada konsulti dan tahap penanganan yang dilakukan oleh konsulti kepada konseli/pihak ketiga. Maka petugas pada tahap konsultasi adalah konselor, sedangkan petugas pada tahap penanganan adalah konsulti.[3]

Layanan konsultasi mengandung beberapa aspek, yaitu:
  1. Konsultan seseorang yang secara profesional mempunyai kewenangan untuk memberikan bantuan kepada konsulti dalam upaya mengatasi masalah klien.
  2. Konsulti yaitu pribadi atau seorang professional yang secara langsung memberikan bantuan pemecahan masalah terhadap klien.
  3. Klien yaitu pribadi atau organisasi tertentu yang mempunyai masalah.
  4. Konsultasi merupakan proses pemberian bantuan dalam upaya mengatasi masalah klien secara tidak langsung.
Dalam layanan konsultasi ini dapat diperjelas bahwa penanganan masalah yang dialami konseli (pihak ketiga) dilakukan oleh konsulti. Konsulti akan dikembangkan kemampuannya oleh konselor pada saat tahap konsultasi berlangsung yaitu mengembangkan pada diri konsultasi tentang wawasan, pengetahuan, ketrampilan, nilai, dan sikap. Akhir proses konsultasi ini adalah konselor menganggap bahwa konsultasi mampu membantu menangani kondisi atau permasalahan pihak ketiga yang setidaknya menjadi tanggung jawabnya. Konsutasi adalah orang yang ikut bertanggung jawab terhadap masalah yang dialami pihak ketiga.

Terdapat tiga etika dasar konseling yaitu kerahasiaan, kesukarelaan, dan keputusan diambil oleh klien sendiri (kemandirian). Etika dasar ini terkait langsung dengan asas konseling. Asas ini juga berlaku pada layanan konsultasi. Ketiga asas ini diuraikan sebagai berikut:[4]

a). Asas Kerahasiaan

Seorang konselor diwajibkan untuk menjaga kerahasiaan, dengan harapan adanya kepercayaan dari semua pihak maka mereka akan memperoleh manfaat dari pelayanan konsultasi. Asas kerahasiaan pada layanan konsultasi yang dimaksudkan adalah menyangkut jaminan kerahasiaan identitas konsultasi dan pihak ketiga, dan jaminan kerahasiaan terhadap permasalahan yang dialami pihak ketiga.

b). Asas Kesukarelaan

Kesukarelaan yang dimaksudkan pada layanan konsultasi adalah kesukarelaan dari konselor dan konsulti. Konselor secara suka dan rela membantu konsulti untuk membantu mengarahkan bantuan pemecahan masalah yang akan diberikan kepada pihak ketiga. Kesukarelaan konsulti yaitu bersikap sukarela dating sendiri kepada konselor dan kemudian terbuka mengemukakan hal-hal yang terkait dengan konsulti sendiri dan pihak ketiga dengan tujuan agar permasalahan yang dialami pihak ketiga segera terselesaikan.

c). Asas Kemandirian

Pada layanan konsultasi, konsulti diharapkan mencapai tahap-tahap kemandirian berikut:

1) Memahami dan menerima diri sendiri secara positif dan dinamis.
2) Memahami dan menerima lingkungan secara objektif, positif dan dinamis.
3) Mengambil keputusan secara positif dan tepat.
4) Mengarahkan diri sesuai dengan keputusan yang diambil.

B. Negosiasi

Negosiasi adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak-pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan. Atau dengan kata lain negosiasi adalah suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan melalui diskusi formal. Negosiasi merupakan suatu proses saat dua pihak mencapai perjanjian yang dapat memenuhi kepuasan semua pihak yang berkepentingan dengan elemen-elemen kerjasama dan kompetisi. Termasuk di dalamnya, tindakan yang dilakukan ketika berkomunikasi, kerjasama atau memengaruhi orang lain dengan tujuan tertentu.[5]

Negosiasi adalah hal yang biasa dilakukan oleh setiap orang dan dapat dilakukan untuk berbagai macam hal dan kepentingan. Negosiasi merupakan komunikasi dua arah, ketika masing-masing pihak saling mengemukakan keinginannya. Teknik bernegosiasi tentu berbeda bagi setiap orang. Perbedaan teknik bernegosiasi disebabkan oleh berbagai macam faktor, misalnya faktor latar belakang pendidikan, sifat, karakter, dan pengalaman.[6]

Pada umumnya, jika terjadi sengketa maka para pihak yang sedang berkonflik akan memulai suatu komunikasi terlebih dahulu. Dilakukannya komunikasi sebelum negosiasi merupakan hal mutlak yang harus dilakukan. Komunikasi dilakukan oleh para pihak untuk dapat mengetahui pokok permasalahan. Karena jika negosiasi tetap dilakukan tanpa mengetahui duduk permasalahan yang sebenarnya, negosiasi yang dilakukan oleh para pihak akan tidak efektif, sehingga menyebabkan negosiasi panjang dan kemungkinan tidak akan berhasil.

Tahapan Negoisasi menurut William Ury dibagi menjadi empat tahap yaitu:[7]

a). Tahapan Persiapan :

  1. Persiapan sebagai kunci keberhasialan;
  2. Mengenal lawan, pelajari sebanyak mungkin pihak lawan dan lakukan penelitian;
  3. Usahakan berfikir dengan cara berfikir lawan dan seolah-olah kepentingan lawan sama dengan kepentingan anda;
  4. Sebaiknya persiapkan pertanyaan-pertanyaan sebelum pertemuan dan ajukan dalam bahasa yang jelas dan jangan sekali-kali memojokkan atau menyerang pihak lawan;
  5. Memahami kepentingan kita dan kepentingan lawan;
  6. Identifikasi masalahnya, apakah masalah tersebut menjadi masalah bersama?
  7. Menyiapkan agenda, logistik, ruangan dan konsumsi;
  8. Menyiapkan tim dan strategi;
  9. Menentukan BTNA (Best Alternative to A Negitieted Agreement) alternatif lain atau harga dasar (Bottom Line).

b). Tahapan Orientasi dan Mengatur Posisi
  1. Bertukar informasi;
  2. Saling menjelaskan permasalahan dan kebutuhan;
  3. Mengajukan tawaran awal.

c). Tahapan Pemberi Konsesi/Tawar-menawar
  1. Para pihak saling menyampaikan tawaranya, menjelaskan alasanya dan membujuk pihak lain untuk menerimanya;
  2. Dapat menawarkan konsensi, tapi pastikan kita memperoleh sesuatu sebagai imbalanya;
  3. Mencoba memahai pemikiran pihak lawan;
  4. Mengidentifikasi kebutuhan bersama;
  5. Mengembangkan dan mendiskusiakan opsi-opsi penyelesaian.

d). Tahapan Penutup
  1. Mengevaluasi opsi-opsi berdasarkan kriteria obyektif;
  2. Kesepakatan hanya menguntungkan bila tidak ada lagi opsi lain yang lebih baik, bila tidak berhasil mencapai kesepakatan, membatalkan komitmen atau menyatakan tidak ada komitmen.

C. Mediasi

Mediasi sebagai bentuk dari alternative Dispute Rosolutian (ADR), terdapat definisi yang beragam tentang mediasi yang dikemukakan oleh para pakar hukum. Namun secara umum, banyak mengakui bahwa mediasi adalah proses untuk menyelesaikan sengketa dengan melakukan bantuan pihak ketiga. Peran pihak ketiga itu adalah dengan melibatkan diri dari bantuan para pihak dalam mengidientifikasi masalah-masalah yang disengketakan.

Berdasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008, pengertian mediasi disebutkan pasal 1 butir 7, yaitu “Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator”. Berdasarkan uraian tersebut, mediasi merupakan suatu proses yang ditunjukan untuk memungkinkan para pihak yang bersengketa mendiskusikan perbedaan-perbedaan mereka dengan bantuan pihak ketiga yang netral. Tugas utama dari pihak yang netral tersebut (mediator) adalah menolong para pihak memahami pandangan pihak lain sehubungan dengan masalah yang disengketakan. Selanjutnya mediator membantu mereka melakukan penilaian yang objektif dari seluruh situasi untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, guna mengakhiri sengketa yang terjadi.

Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada setiap proses mediasi, mediator memegang peranan yang sangat penting. Mediasi tidak akan terlaksana tanpa usaha seorang mediator untuk mempertemukan keinginan para pihak dan mencari solusi yang sama-sama menguntungkan atas permasalahan yang terjadi.

Dalam praktik, mediator sangat membutuhkan kemampuan personal yang memungkinkannya berhubungan secara menyenangkan dengan para pihak. Kemampuan pribadi yang terpenting adalah sifat tidak menghakimi, yaitu dalam kaitannya dengan cara berfikir masing- masing pihak. Dengan bekal berbagai kemampuan yang dimilikinya, mediator diharapkan dapat menjalankan peranannya untuk menganalisis dan mendiagnosa sengketa yang ada. Kemudian mendisain dan mengendalikan proses mediasi untuk menuntun para pihak mencapai suatu kesepakatan. Adapun hal-hal yang perlu dilakukan oleh seorang mediator dalam praktik, antara lain sebagai berikut:
  1. Melakukan diagnosis konflik,
  2. Mengidientifikasi masalah serta kepentingan-kepentingan kritis para pihak.
  3. Menyusun agenda.
  4. Memperlancar dan mengendalikan komunikasi.
  5. Mengajar para pihak dalam proses dan keterampilan tawar- menawar.
  6. Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting, dan menciptakan pilihan-pilihan untuk memudahkan penyelesaian problem.
Kaitannya dengan itu, tugas mediator adalah mengarahkan dan memfasilitasi lancarnya komunikasi dan membantu para pihak agar memperoleh pengertian tentang perselisihan secara keseluruhan sehingga memungkinkan setiap pihak membuat penilaian yang objektif. Dengan bantuan dan bimbingan mediator, para pihak bergerak kearah negosiasi penyelesaian sengketa mereka.

Menurut Fuller[8] salah seorang pakar hukum menyebutkan bahwa fungsi dari seorang mediator ada 7, yakni:

  1. Sebagai “katalisator”, mengandung pengertian bahwa kehadiran mediator dalam proses perundingan mampu mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi diskusi.
  2. Sebagai “pendidik”, berarti seorang harus berusaha memahami aspirasi, prosedur kerja, keterbatasan politis, dan kendala usaha dari para puhak.
  3. Sebagai “penerjemah”, berarti mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak yang lainnya melalui bahasa atau ungkapan yang baik dengan tanpa mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul.
  4. Sebagai “nara sumber” berarti seorang mediator harus mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia.
  5. Sebagai “penyandang berita jelek”, berarti seorang mediator harus menyadari bahwa para pihak dalam proses perundingan dapat bersikap emosional. Untuk itu, mediator harus mengadakan pertemuan terpisah dengan pihak-pihak terkait untuk menampung berbagai usulan.
  6. Sebagai “agen realitas”, berarti mediator harus berusaha memberikan pengertian secara jelas kepada salah satu pihak bahwa sasarannya tidak mungkin/ tidak masuk akal tercapai melalui perundingan.
  7. Sebagai “kambing hitam”, berarti seorang mediator harus siap disalahkan, misalnya dalam membuat kesepakatan hasil perundingan.
D. Konsiliasi

Konsiliasi adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian. Dalam menyelesaikan perselisihan, konsiliator memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidak memihak kepada yang bersengketa. Selain itu, konsiliator tidak berhak untuk membuat keputusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak sehingga keputusan akhir merupakan proses konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan di antara mereka.

Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini adalah melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketanya secara damai. Konsiliasi dan mediasi sulit untuk dibedakan. Istilahnya acapkali digunakan dengan bergantian. Namun menurut Behrens, ada perbedaan antara kedua istilah ini, yaitu konsiliasi lebih formal dari pada mediasi. Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seorang individu atau suatu badan yang disebut dengan badan atau komisi konsiliasi. Komisi konsiliasi bisa sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang berfungsi untuk menetapkan persyaratan-persyaratanpenyelesaian yang diterima oleh pihak, namun putusannya tidak mengikat para pihak.

Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap, yaitu tahap tertulis dan tahap lisan. Dalam tahap pertama, sengketa yang diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan konsiliasi. Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya. Berdasarkan fakta-fakta yang diperolehnya, konsiliator atau badan konsiliasiakan menyerahkan laporannya kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan-usulan penyelesaian sengketanya. Usulan ini sifatnya tidak mengikat. Oleh karena itu, diterima tidaknya usulan tersebut bergantung sepenuhnya kepada para pihak.

Penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi menggunakan intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang melakukan intervensi ini biasanya adalah negara, namun bisa juga sebuah komisi yang dibentuk oleh para pihak. Komisi konsiliasi yang dibentuk oleh para pihak dapat saja terlembaga atau bersifat ad hoc, yang kemudian memberikan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun keputusan yang diberikan oleh komisi konsiliasi ini tidak mengikat para pihak.

Tujuan dari pertemuan konsiliasi adalah untuk membawa pihak yang berkepentingan untuk bersama sama mencari jalan keluar untuk menyelesaikan perselisihan. Konsiliasi mencari jalan tengah yang bisa diterima kedua belah pihak untuk menyelesaikan permasalahan, supaya kedua belah pihak dapat melewati perselisihan tersebut. Karena proses konsiliasi memperbolehkan kedua belah pihak yang berselisih untuk membicarakan masalah mereka, maka ini memungkinkan bagi salah satu pihak untuk mendapatkan pengertian yang lebih baik atas pihak yang lain. Ini dapat membantu menghilangkan salah pengertian yang dikarenakan prasangka atau informasi yang tidak benar untuk mencapai perubahan sikap yang nyata. Semua informasi yang didapatkan dalam proses konsiliasi akan dijaga kerahasiaannya dan tidak akan dibuat sebagai bagian dari proses peradilan.

Pertemuan konsiliasi adalah pertemuan suka rela. Jika pihak yang bersangkutan mencapai perdamaian, maka perjanjian perdamaian yang ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan merupakan kontrak yang mengikat secara hukum. Perdamaian dalam pertemuan konsiliasi dapat berupa permintaan maaf, perubahan kebijaksanaan dan kebiasaan, memeriksa kembali prosedur kerja, memperkerjakan kembali, ganti rugi uang, dan sebagainya.

E. PENILAIAN AHLI
 
Penilaian Ahli adalah suatu upaya mempertemukan pihak yang berselisih dengan cara menilai pokok sengketa yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang ahli di bidang terkait dengan pokok sengketa untuk mencapai persetujuan. Penilaian ahli berupa keterangan tertulis yang merupakan hasil telaahan ilmiah berdasarkan keahlian yang dimiliki untuk membuat terang pokok sengketa yang sedang dalam proses. Penilaian ahli ini dapat diperoleh dari seseorang atau Tim ahli yang dipilih secara ad hoc.

Referensi:

[1] Yetty Wira Cettarawati, Penyuluhan dan Konsultasi. adingpintar.files.wordpress.com/2012/03/penyuluhan-dan-konsultasi.pdf, 2013.
[2] Ibid.
[3] Ovi Daedev, Layanan Konsultasi, http://ovidaedev.blogspot.com/2012/05/layanan-konsultasi.html, 2012.
[4] Ibid.
[5] Wikipedia, Negosiasi, http://id.wikipedia.org/wiki/Negosiasi, 2012.
[6] Jimmy Joses Sembiring, Cara Menyelesaikan...., Op.Cit., hlm. 15.
[7] Gunawan wijaya, Alternative Penyelesaian Sengketa, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
[8] Suyud Margono, Alternative Dispute Resolution (ADR) dan Arbitrase. Cetakan ke-2 , Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, hlm. 60-61.

Pengantar Alternatif Penyelesaian Sengketa

Setiap manusia tentu mempunyai tujuan dalam kehidupannya. Dalam mencapai tujuan tersebut, manusia akan berusaha untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya terlebih dahulu. Kebutuhan hidup manusia bersifat mutlak dan harus dipenuhi, sebab tanpa dipenuhinya kebutuhan tersebut, manusia tidak akan dapat menjalankan anktivitasnya, yaitu pemenuhan akan kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan setiap manusia berjenjang, dalam arti, setelah satu kebutuhan dipenuhi, maka akan berusaha semaksimal mungkin untuk dapat memenuhi kebutuhan lainnya.

Manusia dalam menjalankan aktivitas kehidupan, seringkali terjadi persinggungan antara manusia satu dengan yang lain ataupun dengan badan hukum, baik dalam bentuk hubungan antarpribadi maupun transaksi bisnis. Persinggungan tersebut dapat menimbulkan reaksi positif, yaitu reaksi yang tidak menimbulkan kerugian bagi para pihak ataupun reaksi negatif yang mengakibatkan kerugian bagi salah satu pihak, sehingga menyebabkan terjadinya sengketa.[1]

Sengketa dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, di antaranya perbedaan kepentingan ataupun perselisihan antara satu pihak dengan pihak yang lain. Dapat juga disebabkan oleh adanya aturan-aturan kaku yang dianggap sebagai penghalang dan penghambat untuk dapat mencapai tujuan masing-masing pihak.

Sengketa yang terjadi tentunya harus mendapatkan penyelesaian di antara para pihak. Penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui pengadilan (litigasi) atau pun di luar pengadilan (non litigasi). Penyelesaian sengketa melalui pengadilan berpedoman kepada hukum acara yang mengatur persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu sengketa dapat diajukan serta upaya-upaya yang dapat dilakukan. Sedangkan, penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah penyelesaian sengketa yang dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak dan prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang bersengketa.[2]

Begitu pentingnya sengketa untuk diselesaikan secepat dan seefisien mungkin, agar tidak menimbulkan dampak yang lebih besar, maka pada kesempatan ini, penulis akan mengkaji lebih lanjut penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Menurut penulis, penyelesaian sengketa di luar pengadilan memiliki karakteristik khusus dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang telah memiliki sistemnya tersendiri.
 
Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.[3] Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa alternatif penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan dan pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada para pihak dan para pihak dapat memilih penyelesaian sengketa yang akan ditempuh yakni melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau meminta penilaian ahli. Hal ini menjadi kehendak bebas sepenuhnya dari para pihak. Kebebasan untuk memilih bentuk penyelesaian yang membedakan antara penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan penyelesaian sengketa melalui pengadilan.

Pada umumnya, asas-asas yang berlaku pada alternatif penyelesaian sengketa, sebagai berikut:
  1. Asas itikad baik, yaitu keinginan dari para pihak untuk menentukan penyelesaian sengketa yang akan maupun sedang mereka hadapi.
  2. Asas kontraktual, yakni adanya kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk tertulis mengenai cara penyelesaian sengketa.
  3. Asas mengikat, yakni para pihak wajib untuk mematuhi apa yang telah disepakati.
  4. Asas kebebasan berkontrak, yaitu para pihak dapat dengan bebas menentukan apa saja yang hendak diatur oleh para pihak dalam perjanjian tersebut selama tidak bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan. Hal ini berarti pula, kesepakatan mengenai tempat dan jenis penyelesaian sengketa yang akan dipilih.
  5. Asas kerahasiaan, yaitu penyelesaian atas suatu sengketa tidak dapat disaksikan oleh orang lain karena hanya pihak yang bersengketa yang dapat menghadiri jalannya pemeriksaan atas suatu sengketa.
Referensi:

[1] Jimmy Joses Sembiring, Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, & Arbitrase, Jakarta: Visi Media, 2011, hlm. 1.
[2] Ibid., hlm. 2.
[3] Lihat Pasal 1 angka 10 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Kamis, 21 Maret 2013

Penyelesaian Kasus Sengketa Simpanan H. Thahir di Bank Sumitomo Singapura

Haji Achmad Thahir atau yang lebih dikenal dengan H. Thahir adalah nama yang cukup populer di tahun 1975-an. Di masa kepresidenan Soeharto, H. Tharir menjabat sebagai Asisten Umum Direktur Utama Pertamina yang saat bersamaan Pertamina dipimpin oleh Ibnu Sutowo. Sepeninggal H. Tharir pada tanggal 23 Juli 1976, menimbulkan kontroversial di dunia hukum, sebab ternyata H. Tharir memiliki simpanan rekening di Bank Sumitomo Singapura bernilai Rp 153 milyar rupiah.

Kartika yang merupakan istri keempat dari H. Thahir mengakui bahwa harta simpanan di Bank Sumitomo tersebut adalah harta bersama dengan H. Thahir (joint account). Namun, sebelum Kartika datang, ternyata Ibrahim Thahir bersama empat saudaranya yang merupakan anak H. Thahir dari istri pertamanya sudah lebih dahulu meminta uang tersebut diblokir. Hal ini memang belum cukup menampakkan adanya kepastian, sebab pada 6 Nopember 1975, lebih dari setahun seteleh pembukaan rekening, H. Thahir meminta pihak Bank Sumitomo mentransfer semua rekeningnya ke dalam rekening bersama (and/or) Thahir-Kartika. Dan pada 11 Nopember 1975, Sumitomo meminta rekonfirmasi perihal transfer tersebut, hingga pada 23 Juli 1976 H. Thahir meninggal dunia dan tidak pernah memberikan jawaban atas rekonfirmasi dari Bank Sumitomo.

Belakangan, dua saudara tiri Ibrahim Thahir dari istri kedua ayahnya ikut bergabung dengan Ibrahim Thahir. Karena ketidakjelasan siapa yang berhak atas simpanan uang tersebut, Bank Sumitomo melimpahkan permasalahan itu ke Pengadilan Tinggi Singapura untuk menentukan kepada siapa ia akan memberikan uang itu apakah kepada Kartika atau anak tiri dari H. Thahir.

Di sisi lain, Pemerintah Indonesia (Pertamina) tidak tinggal diam menyikapi kasus ini, sebab diduga harta simpanan tersebut adalah hasil korupsi H. Thahir yang berasal dari Komisi perusahaan-perusahaan kontraktor yang tidak disetor ke dalam keuangan Pertamina. Perusahaan-perusahaan tersebut yaitu Siemens, Klockner, dan Ferrosthal. Akhirnya, Indonesia membentuk tim yang diketuai oleh L.B. Moerdani yang beranggotakan Letnan Kolonel Teddy Rusdy, Soehadibroto (Kejaksaan Agung), Dicky Turner (Pertamina) dan Albert Hasibuan (pengacara). Tim ini bertugas mengembalikan uang hasil korupsi tersebut kembali ke negara.

Kasus ini diselesaikan melalui Pengadilan Tinggi Singapura, meskipun sesungguhnya masing-masing pihak yang bersengketa adalah warga negara Indonesia, namun objek sengketanya berada di Singapura. Dan Singapura tentu paling tidak memliki kepentingan atas kasus ini. Penyelesaian kasus ini berkaitan dengan choice of forum dan choice of law. Choice of forum atau pilihan forum yang dipilih adalah melalui pengadilan (litigasi) meskipun sesungguhnya di luar pengadilan masih ada jalur non-litigasi. Namun, mungkin karena sebelumnya dalam perjanjian penyimpanan uang di Bank Sumitomo telah ditentukan jalur penyelesaian sengketanya, maka dipilihlah jalur pengadilan.

Selain itu, penyelesaian sengketa ini juga berkaitan dengan choice of law atau pilihan hukum. Choice of law menentukan hukum manakah yang harus diberlakukan untuk mengatur atau menyelesaikan persoalan-persoalan yuridis yang mengandung unsur asing. Pada kasus ini unsur asing tersebut adalah Bank Sumitomo yang berkedudukan di Singapura. Pilihan hukum terjadi karena ada pertentangan seolah-olah kedaulatan negara sedang berkonflik, sehingg dalam memilih hukum yang harus dipakai. Pada kasus ini, choice of law yang digunakan adalah Hukum Indonesia, sebab para pihak yang bersengketa adalah berkewarganegaraan Indonesia.

Hingga pada akhirnya, setelah 16 tahun perkara ini berlangsung, pada 3 Desember 1992, Hakim Pengadilan Tinggi Singapura Lai Kew Chai memutuskan bahwa pertamina berhak atas uang deposito H. Thahir yang jumlahnya sekitar 78 juta dollar yang berkembang dari 35 juta dollar di tahun 1976.

Rabu, 20 Maret 2013

Hukum Ekonomi

Pembangunan ekonomi yang semakin meningkat bersamaan dengan meningkatnya pula hubungan ekonomi yang bahkan melampaui batas-batas negara, membawa perkembangan aliran modal asing/teknologi yang menunjukkan adanya satu rangkaian kegiatan di bidang ekonomi dengan seperangkat aturan hukumnya. Berdasarkan faktor tersebut, maka hukum ekonomi sebagai perangkat norma-norma yang mengatur kegiatan di bidang ekonomi mendapat tempat yang strategis.

Hukum Ekonomi secara umum dapat diartikan sebagai keseluruhan norma-norma yang dibuat oleh pemerintah atau penguasa sebagai satu personifikasi dari masyarakat yang mengatur kehidupan ekonomi di mana kepentingan individu dan kepentingan masyarakat saling berhadapan. Dalam norma-norma ini, pemerintah mencoba memasukkan ketentuan-ketentuan yang lebih ditekankan kepada kepentingan masyarakat, bahkan apabila perlu membatasi kepentingan dan hak-hak individu.[1]

Hukum ekonomi merupakan suatu hubungan sebab akibat atau pertalian peristiwa ekonomi yang saling berhubungan satu dengan yang lain dalam kehidupan ekonomi sehari-hari dalam masyarakat/ lahirnya hukum ekonomi disebabkan oleh meningkatnya pertumbuhan dan perkembangan perekonomian dimasyarakat.

Sunaryati Hartono, SH., mengemukakan bahwa Hukum Ekonomi merupakan penjabaran Hukum Ekonomi Pembangunan dan Hukum Ekonomi Sosial, sehingga Hukum Ekonomi memiliki dua aspek, yaitu:[2]
  1. Aspek pengaturan usaha-usaha pembangunan ekonomi dalam arti peningkatan kehidupan ekonomi nasional secara keseluruhan.
  2. Aspek pengaturan usaha-usaha pembagian hasil pembangunan ekonomi secara merata di antara seluruh lapisan masyarakat, sehingga setiap warga negara dapat menikmati hasil pembangunan ekonomi itu sesuai dengan sumbangannya kepada usaha pembangunan ekonomi tersebut.
Lebih lanjut, Sunaryati Hartono menyatakan bahwa Hukum Ekonomi Indonesia dibedakan menjadi:[3]
  1. Hukum Ekonomi Pembangunan yang menyangkut pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi Indonesia secara nasional.
  2. Hukum Ekonomi Sosial, yang menyangkut pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara pembagian hasil pembangunan ekonomi nasional itu secara adil dan merata sesuai dengan martabat kemanusian (hak asasi manusia) Indonesia.
Pengembangan eksistensi Hukum Ekonomi menyangkut aspek penting, yaitu:
  1. Menampung perkembangan kegiatan ekonomi yang tidak dapat diatur dalam cabang hukum yang ada dan memang tidak dapat ditampung dalam cabang hukum yang ada, karena materi dan sifat kegiatan ekonomi itu sendiri.
  2. Memantapkan pengaturan hukum yang berkaitan dengan bidang hukum ekonomi yang terdapat pada peraturan cabang-cabang hukum yang lain seperti Ketentuan Perjanjian dalam Burgerlijk Wetboek, Undang-Undang Perburuhan pada Hukum Perburuhan, dan sebagainya.
  3. Modernisir hukum yang mengatur kegiatan ekonomi, sehingga interaksi pembangunan ekonomi dapat berperan secara serasi dengan pembangunan hukum.
Atas dasar tersebut di atas, Hukum Ekonomi mempunyai peranan dalam pengaturan bidang ekonomi modern yang tidak dicakup dalam peraturan perundang-undangan yang ada, serta dapat memantapkan pengaturan yang berkaitan dengan bidang ekonomi yang terdapat pada cabang hukum yang lain.

Orientasi atau substansi Hukum Ekonomi harus sejalan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pancasila, meliputi aspek-aspek hukum yang mempunyai kaitan dengan kegiatan ekonomi. Dalam arti sempit, mencakup kegiatan ekonomi yang mempunyai sifat pembangunan atau perkembangan ekonomi.

Berdasarkan pendekatan pembangunan tersebut, maka Hukum Ekonomi mempunyai orientasi pembangunan sehingga pengkajian hukum ini sering ditegaskan sebagai mengkaji Hukum Ekonomi Pembangunan. Pendekatan ini juga searah dengan fungsi hukum sebagai agent for modernization dan sebagai tool of social engineering.

Atas dasar itu pulalah, dalam kajian Hukum Ekonomi diuraikan bidang-bidang yang secara menyeluruh menjadi ruang lingkup pengaturan-pengaturan Hukum Ekonomi seperti Penanaman Modal Asing, pengalihan teknologi, pengembangan golongan ekonomi lemah, perusahaan multinasional, pasar modal, pembaharuan Undang-Undang Penanaman Modal Asing, dan sebagainya.

Secara khusus, beberapa hal yang dapat dijadikan perbandingan dalam pengkajian Hukum Ekonomi, yaitu:[4]
  1. Eksistensi Hukum Ekonomi dalam perkembangan sekarang lebih mudah dipahami di negara dengan sistem hukum Anglo Saxon. Di negara ini, sistem hukumnya berdasarkan pada Hukum Kebiasaan (Common Law). Dengan sistem ini, penyesuaian hukum dengan perkembangan kebiasaan lebih mudah diselenggarakan dan munculnya Hukum Ekonomi tidak dapat menjadi persoalan, melainkan secara evolusi tumbuh bersama perkembangan kebiasaan itu. Pengotakan hukum dalam bidang-bidang secara ketat yang dilakukan dalam sistem Hukum Kontinental seperti ke dalam Hukum Dagang dan Hukum Perdata, tidak dialami secara kaku dalam sistem hukum Anglo Saxon. Karena itu, eksistensi Hukum Ekonomi di negara dengan sistem hukum Anglo Saxon tidak menjadi soal, seperti di negara dengan sistem Eropa Kontinental.
  2. Di negara dengan sistem Hukum Kontinental, eksistensi hukum yang baru harus dapat meyakinkan baik secara mikro maupun makro, dapat menunjukkan justifikasi eksistensinya serta hubungannya dengan perangkat hukum lainnya. Di sini, pertimbangan hukum yang telah ada dan pembagian kerja/ruang lingkup pengaturan dari masing-masing bidang hukum dengan bidang Hukum Ekonomi perlu dibakukan.
  3. Atas dasar itu, banyak kalangan yang masih belum secara yakin menyebutkan eksistensi Hukum Ekonomi dan dengan secara hati-hati dan menghidarkan tabrakan dengan ruang lingkup bidang hukum yang lain. Penyebutan Hukum Ekonomi Pembangunan, Hukum Ekonomi Sosial, Hukum Ekonomi Internasional, Hukum Ekonomi dan Pembangunan, dan sebagainya merupakan manifestasi dari kekurangyakinan tersebut. Di luar negeri juga dialami hal yang sama, sehingga ditemui istilah seperti: economic law, Social Economish Recht, dan sebagainya.
  4. Negeri Belanda yang sistem hukumnya menjadi pola sistem hukum Indonesia, ternyata telah mengalami proses pengembangan Hukum Ekonomi yang tidak sederhana, sehingga apa yang dialami di Indonesia sekarang ini memang wajar dan dapat dipahami. Namun, orientasi penyerasian interaksi pembangunan hukum dan pembangunan ekonomi mendorong kegiatan pengkajian untuk memproses eksistensi Hukum Ekonomi secara lebih cepat dan baku.
_________________________
[1] Sumantoro, Hukum Ekonomi, Depok: Universitas Indonesia Press, 1986, hlm. 18.
[2] Sunaryati Hartono, Tentang Pengertian dan Luas Lingkup Hukum Ekonomi Indonesia, Hukum Ekonomi Pembangunan dan Hukum Ekonomi Sosial, Jakarta: BPHN, 1978, hlm. 20.
[3] Ibid.
[4] Sumantoro, Hukum Ekonomi...., Op.Cit., hlm. 46-47.