Rabu, 20 Februari 2013

Tinjauan Umum tentang "Sengketa"

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “sengketa” diartikan sebagai pertentangan atau konflik, konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Sengketa juga dapat diartikan sebagai pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi/pemahaman berbeda tentang suatu kepetingan yang dapat menimbulkan akibat hukum.

Sesungguhnya, masyarakat umum tidak awam lagi dengan kata sengketa. Setiap hari masyarakat dapat melihat dan mendengar baik melalui media atau secara langsung di sekitar masyarakat sendiri sering terjadi sengketa. Sengketa yang banyak terjadi sejalan dengan peradaban manusia yang semakin kompleks sedangkan sumber daya alam semakin menipis. Sebagai contoh, sengketa yang paling marak di masyarakat adalah sengketa di bidang pertanahan.

Sengketa dapat terjadi dalam ruang lingkup manapun, baik dalam lingkup keluarga, daerah, nasional, hingga internasional dan hampir untuk segala barang berpotensi disengketakan. Banyaknya sengketa yang terjadi menuntut adanya mekanisme penyelesaian sengketa. Sesungguhnya, penyelesaian sengketa secara damailah yang dinginkan yang bertujuan mencegah dan menghindarkan kekerasan dalam suatu persengketaan antar individu, kelompok, organisasi, bahkan negara sekalipun.

Penyelesaian bersifat segera, karena jika tidak ditanggapi dengan segera, maka sengketa berpotensi menimbulkan permasalahan yang semakin besar. Secara umum, proses penyelesaian sengketa dapat ditempuh dengan dua mekanisme yaitu litigasi melalui pengadilan atau non-litigasi yang dilakukan di luar pengadilan baik secara arbitrase, mediasi, negosiasi, maupun konsoliasi.

Maraknya sengketa yang terjadi tentu menimbulkan banyak dampak yang negatif. Namun, terlepas dari itu semua, sengketa juga dapat menimbulkan paling tidak tiga dampak yang bersifat positif, antara lain:
  1. Dengan adanya sengketa, maka tidak akan terjadi kesewenang-wenangan oleh pihak tertentu yang cenderung lebih kuat terhadap pihak yang lemah baik secara ekonomi maupun sosial. Sengketa yang banyak terjadi di Indonesia misalnya di bidang pertanahan selalu terjadi antara pengusaha yang memiliki kekuatan ekonomi besar terhadap rakyat biasa. Pihak yang merasa hak-haknya dirugikan dapat mensengketakan hak-haknya baik secara litigasi dan non-litigasi.
  2. Dengan semakin kompleksnya sengketa baik secara kualitas (substansi) maupun kuantitas (jumlah), maka proses penyelesaian sengketa pun berkembang secara metode. Jika dahulu proses penyelesaian sengketa diselesaikan secara litigasi, maka kemudian berkembang hingga pada non-litigasi. Tidak hanya sampai disitu, sebab secara teknis penyelesaiannya juga akan semakin berkembang sesuai dengan jenis sengketanya. 
  3. Di bidang akademik, dituntut untuk melakukan penelitian dan mengemukakan metode-metode baru penyelesaian sengketa yang didukung dengan teori-teori.

Selasa, 19 Februari 2013

Analisis Kasus Mobil Nasional "TIMOR"


Di era 1990-an Pemerintah Indonesia memperkenal sebuah Program Intensif yang dikenal dengan Paket Kebijakan Otomotif 1993. Produsen mobil diperbolehkan memilih kebijakan sendiri atas komponen mana yang akan menggunakan produk lokal dan akan mendapatkan potongan bea masuk atau bahkan dibebaskan dari bea masuk, jika berhasil mencapai tingkat kandungan komponen lokal tertentu. Program ini telah dijalani oleh Toyota dengan merek “Kijang” generasi ketiganya (1986-1996) di mana kandungan lokalnya sudah mencapai 47%. Begitu pula yang dilakukan oleh Indomobil yang mengeluarkan “Mazda MR” (MR adalah singkatan Mobil Rakyat).[1]

Tahun 1996, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk mempercepat Program Intensif dengan memperkenalkan program Mobil Nasional dengan mengatur bahwa untuk mendapatkan pembebasan bea masuk, perusahaan harus mencapai tingkat kandungan lokal sebesar 20% di tahun pertama, 40% di tahun kedua, dan 60% di tahun ketiga.

Hingga akhir tahun 2012, tercatat 13 Mobil Nasional Indonesia, baik yang sudah tidak diproduksi, sedang diproduksi, maupun yang sifatnya masih sekadar prototype. Mobil-mobil tersebut, yaitu:[2]
  1. Esemka Digdaya [diproduksi oleh murid SMK Neg. 1 Singosari, Malang];
  2. Esemka SUV Rajawali [diproduksi oleh SMK di Solo bekerja sama dengan PT Solo Manufaktur Kreasi];
  3. Mobnas AG-Tawon [diproduksi oleh PT Super Gasindo Jaya bekerja sama dengan murid SMK Banten];
  4. Komodo [diproduksi oleh PT Fin Tetra Indonesia asal Cimahi];
  5. Moko/Mobil Toko [diproduksi oleh murid SMK Makassar atas dukungan Pemprov Sulawesi Selatan yang bekerja sama dengan PT Industri Nasional Kereta Api];
  6. Marlip/Marmut Lipi [mobil listrik yang dikembangkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan dipasarkan oleh PT Marlip Indo Mandiri];
  7. Arina/Armada Indonesia [dikembangkan oleh Universitas Negeri Serang (Unnes)];
  8. Wakaba/Wahana Karya Bangsa [dikembangkan oleh Universitas Pasundan];
  9. Boneo [diproduksi oleh PT Boneo Daya Utama];
  10. GEA/Gulirkan Energi Alternatif [diproduksi oleh PT Industri Kereta Api (INKA)];
  11. Kancil/Kendaraan Niaga Cilik Irit Lincah [diproduksi oleh PT Karunia Abadi Niaga Citra Indah Lestari (Kancil);
  12. Maleo [diarsiteki oleh B.J. Habibie];
  13. Timor/Teknologi Industri Mobil Rakyat [diproduksi oleh PT Timor Putra Nasional].
Awalnya, mobil Maleo yang diarsiteki oleh B.J. Habibie pada tahun 1996 diancang-ancang menjadi mobil nasional Indonesia yang terjangkau dengan patokan harga ditarget tidak lebih dari Rp 30 juta. Untuk mencapai target, Habibie merancangnya mulai dari mesin yang berkapasitas 1300 cc dan komponen lokal di atas 80%. Guna mematangkan rencana tersebut, Habibie menggandeng pabrikan mobil dari Australia untuk melakukan riset dengan satu unit mobil sebagai contoh dan akhirnya dihasilkan. Namun, dana untuk proyek itu, kemudian tersedot oleh proyek mobnas Timor milik Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto), sehingga proyek mobnas Maleo pun terhenti.[3]

Surat Instruksi Presiden No. 2 Tahun 1996 tentang Program Mobil Nasional dikeluarkan untuk memperbaiki sistem deregulasi untuk menyambut adanya pasar bebas tahun 2003. PT Timor Putra Timor Nasional yang bermitra dengan KIA Motors dari Korea Selatan adalah perusahaan pertama yang mendapatkan pembebasan bea masuk barang mewah melalui program ini. PT TPN dipercaya untuk memproduksi mobil nasional yang bernama “Timor” (akronim dari Teknologi Industri Mobil Rakyat).
Mobil Timor

Timor adalah merek mobil yang dipasarkan di Indonesia yang merupakan versi sama dengan mobil dari Korea Selatan yakni Kia Sephia. Mobil ini dimaksudkan sebagai mobil nasional Indonesia layaknya Proton di negara Malaysia. Oleh karenanya, mobil dengan merek Timor dibebaskan dari pajak-pajak dan bea lainnya yang biasa dikenakan pada mobil-mobil lain yang dijual di Indonesia.[4]

Lahirnya mobil Timor sebagai mobil nasional menimbulkan polemik dan akibat hukum yang sangat besar, khususnya di bidang ekonomi dunia. Timor memperoleh banyak kemudahan dan perlakuan khusus/istimewa. Hal ini terlihat dari sikap pemerintah yang memaksakan untuk mengeluarkan berbagai peraturan dan kebijakan yang sesungguhnya merusak tatanan mekanisme pasar.

Kerjasama yang dilakukan oleh Indonesia dengan Korean International Automotive (KIA) dinilai sebagai bentuk diskriminasi hukum di bidang perekonomian dunia. Salah satu negara pengekspor produk otomotif yaitu Jepang kemudian melakukan pengaduan/gugatan ke World Trade Organization (WTO). Gugatan Jepang bermula dengan dikeluarkannya Inpres No. 2 Tahun 1996 yang menunjuk PT Timor Putra Nasional sebagai pionir yang memproduksi Mobnas. Namun, karena belum dapat memproduksi di dalam negeri, maka keluarlah Keputusan Presiden No. 42 Tahun 1996 tentang Pembuatan Mobil Nasional yang membolehkan PT Timor Putra Nasional untuk mengimpor mobil nasional yang kemudian diberi merek “Timor” dalam bentuk jadi atau completely build up (CBU) dari Korea Selatan.[5]

Hak istimewa atas pajak dan bea terhadap PT Timor Putra Nasional diberikan dengan syarat menggunakan komponen lokal hingga 60% dalam tiga tahun sejak mobil nasional pertama dibuat. Namun, bila mana penggunaan komponen lokal yang ditentukan secara bertahap yaitu 20% pada tahun pertama dan 60% pada tahun ketiga tidak terpenuhi, maka PT Timor Putra Nasional harus menanggung beban pajak banrang mewah dan bea masuk barang impor. Namun, mengenai komponen yang menjadi syarat utama agaknya diabaikan, sebab pada faktanya Timor masuk ke Indonesoa dalam bentuk jadi dari Korea Selatan tanpa bea masuk apa pun termasuk biaya pelabuhan dan lainnya.

Hal ini mendatangkan reaksi dari beberapa pihak yaitu Jepang, Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa. Namun, Jepanglah yang paling berusaha keras karena mempunyai kepentingan kuat dalam idustri otomotifnya yang telah menguasai hampir 90% pangsa mobil di Indonesia. Reaksi lain dari Amerika dan beberapa negara Eropa gelisah karena mereka berencana menanamkan investasi dalam industri otomotif di Indonesia. Akhirnya terjadi dialog antara Jepang dengan Pemerintah Indonesia namun tidak menghasilkan kesepakatan apa pun. Kemudian, tindakan lanjutan dari Jepang yaitu melalui Wakil Menteri Perdagangan Internasional dan Industri menyatakan bahwa mereka akan membawa masalah ini ke WTO.

Gugatan Jepang ke WTO atas Indonesia terdiri dari tiga poin, yaitu:[6]
  1. Perlakuan khusus impor mobil dari KIA Motor Korea yang hanya memberi keuntungan pada satu negara. Kebijakan ini melanggar Pasal 10 General Agreement on Traffis and Trade (GATT) mengenai perlakuan bebas tarif masuk barang impor.
  2. Perlakuan bebas pajak atas barang mewah yang diberikan kepada produsen mobil nasional selama dua tahun. Kebijakan ini melanggar Pasal 3 ayat (2) GATT.
  3. Menghendaki perimbangan muatan lokal seperti intensif.
  • Mengizinkan pembebasan tarif impor,
  • Membebaskan pajak barang mewah di bawah program mobil nasional sesuai dengan pelanggaran Pasal 3 ayat (1) GATT dan Pasal 3 Kesepakatan perdagangan Multilateral.
Pada 4 Oktober 1996, Pemerintah Jepang resmi mengadukan Indonesia ke WTO yang didasarkan pada Pasal 22 ayat (1) GATT. Inti dari pengaduan Jepang adalah ingin agar masalah sengketa dagangnya dengan Indonesia diselesaikan sesuai dengan kesepakatan perdagangan multilateral sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam WTO bahwa jika dalam tempo lima sampai dengan enam bulan setelah pengaduan ke WTO belum dapat diselesaikan, maka Jepang akan membawa perkara tersebut ke tingkat yang lebih tinggi.[7]

Setelah enam bulan tidak ada penyelesaian sejak Jepang secara resmi mengadukan Indonesia ke WTO melalui pembentukan Dispute Settlement Body (DSB) atau sidang bulanan pada penyelesaian sengketa. Pembentukan panel pun dilakukan, setelah upaya penyelesaian mengalami jalan buntu. Panel yang beranggotakan 3-5 orang inilah yang akan memeriksa pengaduan dan saksi-saksi. Dan dalam tempo enam bulan, panel akan menyerahkan rekomendasi yang akan diserahkan kepada DSB yang pada akhirnya keputusan hasil panel akan disahkan oleh DSB satu tahun kemudian.

Setiap negara anggota WTO sesungguhnya dalam menyelenggarakan perdagangan internasional harus berdasarkan prinsip-prinsip WTO. Perdagangan bebas menuntut semua pihak untuk memahami persetujuan perdagangan internasional dengan segala implikasinya terhadap perkembangan ekonomi nasional secara menyeluruh. Persetujuan-persetujuan yang ada dalam kerangka WTO bertujuan untuk menciptakan sistem perdagangan dunia yang mengatur masalah-masalah perdagangan agar lebh bersaing secara terbuka, adil (fair), dan sehat.

Hal-hal tersebut terkandung dalam prinsip-prinsip WTO, antara lain:
  1. Perlakuan yang sama untuk semua anggota atau asas non diskriminasi (Most Favoured Nations Treatment). Prinsip ini diatur dalam Pasal I GATT 1994 yang mensyaratkan segala komitmen yang telah dibuat dan ditandatangani dalam rangka GATT harus diperlakukan secara sama kepada semua negara anggota WTO.
  2. Pengikatan tarif (Tariff Binding), Prinsip ini diatur dalam Pasal II GATT 1994 yang mana setiap negara anggota GATT/WTO harus memiliki daftar produk yang tingkat bea masuk atau tarifnya harus diikat (legally bound). Pengikatan atas tarif ini dimaksudkan untuk menciptakan “prediktibilitas” dalam hal bisnis perdagangan internasional/ekspor. Artinya, negara tidak diperkenankan untuk sewenang-wenang mengubah atau menaikkan tingkat tarif bea masuk.
  3. Perlakuan Nasional (National Treatment), Prinsip ini diatur dalam Pasal III GATT 1994 yang mensyaratkan bahwa suatu negara tidak diperkenankan untuk memperlakukan secara diskriminasi antara produk impor dengan produk dalam negeri (produk yang sama) dengan tujuan untuk melakukan proteksi. Jenis-jenis tindakan yang dilarang berdasarkan ketentuan ini, yaitu:
  • pungutan dalam negeri;
  • undang-undang;
  • peraturan dan persyaratan yang mempengaruhi penjualan;
  • penawaran penjualan;
  • pembelian;
  • transportasi;
  • distribusi atau penggunaan produk;
  • pengaturan tentang jumlah yang mensyaratkan campuran;
  • pemrosesan atau penggunaan produk-produk dalam negeri.

4. Perlindungan hanya melalui tarif. Prinsip ini diatur dalam Pasal XI dan mensyaratkan bahwa perlindungan atas industri dalam negeri hanya diperkenankan melalui tarif.

5. Perlakuan khusus dan berbeda bagi negara-negara berkembang (Special and Differential Treatment for Developing Countries).

Permasalahan mobil nasional yang diadukan ke WTO oleh Jepang terhadap Indonesia berdasarkan penilaian bahawa kebijakan Pemerintah Indonesia sebagai bentuk diskriminasi dan oleh karenanya telah melanggar prinsip-prinsip perdagangan bebas. Indonesia yang secara resmi bergabung dengan WTO dengan meratifikasi Konvensi WTO melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 secara hukum terikat dengan ketentuan-ketentuan GATT termasuk prinsip-prinsip:[8]

1. Prinsip penghapusan hambatan kuatitatid (non tariff barriers/non tarif measures) berdasarkan Artikel XI Paragraf 1 GATT 1994.

Pada prinsipnya GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industri domestik melalui tarif dan tidak melalui upaya perdagangan lainnya. Perlindungan melalui tarif ini menunjukkan dengan jelas mengenai tingkat perlindungan yang diberikan dan masih dimungkinkan adanya kompetisi yang sehat. Prinsip ini dilakukan untuk mencegah terjadinya proteksi perdagangan yang bersifat non-tarif karena dapat merusak tatanan perekonomian dunia.

2. Prinsip National Treatment yang diatur dalam Artikel III paragraf 4 GATT 1994.

Berdasarkan prinsip ini, produk yang diimpor ke dalam suatu negara harus diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri. Dengan prinsip ini pula dimaksudkan bahwa negara yang tergabung ke dalam WTO tidak boleh membeda-bedakan perlakuan terhadap pelaku bisnis domestik/lokal dan pelaku bisnis asing, terlebih terhadap sesama anggota WTO. Prinsip ini berlaku luas dan berlaku terhadap semua macam pajak dan pungutan-pungutan lainnya. Prinsip ini juga memberikan suatu perlindungan terhadap proteksionisme sebagai akibat upaya-upaya atau kebijakan administratif atau legislatif.

WTO memutuskan bahwa Indonesia telah melanggar Prinsip-Prinsip GATT yaitu National Treatment dan menilai kebijakan mobil nasional tidak sesuai dengan spirit perdagangan bebas yang diusung WTO. Oleh karena itu, WTO menjatuhkan putusan kepada Indonesia untuk menghilangkan subsidi serta segala kemudahan yang diberikan kepada PT Timor Putra Nasional selaku produsen mobil timor dengan menimbang bahwa:[9]
  1. Penghapusan bea masuk dan pernghapusan pajak barang mewah yang oleh pemerintah hanya diberlakukan pada PT. Mobil Timor nasional merupakan suatu perlakuan yang diskriminatif dan tentu saja akan sangat merugikan para investor yang telah terlebih dahulu menanamkan modalnya dan menjalankan usahanya di Indonesia. Dengan diberlakukannya penghapusan bea masuk dan pajak barang mewah terhadap mobil timor, hal ini dapat menekan biaya produksi sehingga membuat harga mobil timor di pasaran menjadi lebih murah, hal tersebut akan mengancam posisi investor asing yang tidak dapat menrunkan harga jual produknya, dalam persaingan pasar yang tidak sehat seperti itu, investor asing pasti akan sangat dirugikan.
  2. Untuk menciptakan suatu perdagangan bebas yang efektif dan efisien, GATT dalam aturan aturannya telah berusaha menghapuskan segala hambatan dalam perdagangan internasional, antara lain adalah hambatan-hambatan perdagangan Non Tarif, oleh karena itu kebijakan Pemerintah Indonesia yang menetapkan keharusan aturan persyaratan kandungan local terhadap investor asing dinilai sebagai upaya pemerintah dalam menciptakan suatu hambatan peragangan non tarif guna memproteksi pasar dalam negeri dari tekanan pasar asing. Kebijakan tersebut merupakan salah satu strategi pemerintah untuk memproteksi pasar Mobil Timor agar tidak kalah bersaing dengan produsen mobil dari luar negeri. Instrumen kebijakan tersebut tentunya sangat merugikan pihak produsen mobil dari luar negeri, dan dapat menciptakan suatu iklim persaingan yang tidak sehat.

[1] Sephia. 2012. Sejarah Mobil Timor, http://parkirantimor.wordpress.com/2011/01/25/
[2] Blog Otomotif. 2012. Daftar 13 Mobil Nasional. http://blogotomotif.com/gallery/daftar-13-mobil-nasional-indonesia.htm
[3] Ibid.
[4] Wikipedia, 2012, Timor (Mobil), http://id.wikipedia.org/wiki/Timor_%28mobil%29
[5] Bimo Adi, 2012, Analisis Kasus Mobil Nasional, http://bimoadiwicaksono.blogspot.com/2010/08/analisis-kasus-mobil-nasional.html
[6] Ibid,
[7] Ibid.
[8]Armasyah Effendy, 2012, Hukum Dagang Internasional: Sengketa Mobil Timor “WTO” http://armansyaheffendy.wordpress.com/category/cakrawala-hati/ilmu-hukum/  
[9] Podium, 2013, Mobil Timor, http://www.podiuminteraktif.com/berita-1870-partai-nasrep-dan-mobil-timor.html

Senin, 04 Februari 2013

Cerita Lucu: Pembantu Gaul

Seorang Nyonya bertanya pada pembantunya. "Ineem kenapa baru masuk kerja hari ini? Kamu tuh y..., ngak ada kabar juga, ngak minta izin dulu...!!!"
Inem: "Lohh? Maaf Nyonya...' kan saya udah update status di Facebook, bilang "Mau Keluar Kota Dulu"...., malahan Tuan juga komen tuhhh.. katanya "gaa apa2.., tapi cepat pulang y.., miss u."
Hahahahaaahaha...,