Senin, 17 Desember 2012

Eksistensi Hukum Internasional

Hukum internasional merupakan keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintas batas negara, antara negara dengan negara, dan negara dengan subjek hukum lain yang bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain.[1] Namun demikian, masih banyak pihak termasuk ahli hukum yang mempertanyakan eksistensi hukum internasional saat ini. Salah satu diantaranya adalah John Austin. Selain itu, penulis lain yang juga mempertanyakan karakter hukum internasional adalah Hobbes, Pufendorf, dan Bentham.

Pandangan John Austin (1790-1859) terhadap Hukum Internasional diwarnai oleh teorinya mengenai hukum pada umumnya. Menurut teori Austin ini, hukum stricto sensu dihasilkan dari keputusan-keputusan formal yang berasal dari badan legislatif yang benar-benar berdaulat, yang secara politis berkedudukan paling tinggi atau paling tidak terdapat otoritas yang berdaulat demikian, maka kaidah-kaidah tersebut tidak dapat digolongkan dalam kaidah-kaidah hukum, melainkan hanya kaidah-kaidah dengan validitas moral atau etika semata-mata.[2]

Penerapan teori umum ini terhadap Hukum Internasional, karena tidak ada yang dapat dinamakan otoritas yang memiliki kekuatan legislatif atau otoritas secara tegas berkuasa atas masyarakat negara-negara dan karena hingga saat ini, kaidah-kaidah Hukum Internasional hampir secara eksklusif bersifat kebiasaan. Oleh karena itu, John Austin menyimpulkan bahwa Hukum Internasional bukan hukum yang sebenarnya, melainkan hanya “moralitas internasional positif” (positive international morality) yang dapat disamakan dengan kaidah-kaidah yang mengikat suatu kelompok atau masyarakat. Lebih lanjut, Austin menggambarkan hukum internasional terdiri dari “opini-opini atau sentimen-sentimen yang berlangsung di antara bangsa-bangsa pada umumnya”. Pandangan ini sesuai dengan klasifikasinya mengenai tiga kategori hukum, yaitu Hukum Tuhan (devine law), hukum positif (positive law), dan moralitas positif (positive morality).[3]

Adanya beberapa ahli hukum dan masyarakat awam yang ragu akan eksistensi hukum internasional, didasarkan pada perbandingan dengan hukum nasional dalam suatu negara. Jika dibandingkan tentu saja kekuatan hukum kedua sistem tersebut sangat berbeda. Sistem Hukum Internasional tidak mengenal adanya kekuasaan tertinggi yang dapat memaksakan keputusan-keputusannya kepada negara-negara, tidak ada badan legislatif internasional yang membuat ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat langsung negara-negara anggota disamping tidak adanya angkatan bersenjata untuk melaksanakan sanksi-sanksi kepada negara-negara pelanggar hukum.

Namun, disamping itu semua, sesungguhnya eksistensi Hukum Internasional tidak perlu diragukan lagi. Negara-negara tetap percaya bahwa Hukum Internasional itu ada. Negara-negara menghormati dan mematuhi hukum internasioanal, karena kepatuhan tersebut diperlukan untuk mengatur hubungannya antara satu dengan yang lain dan untuk melindungi kepentingan sendiri.

Selain itu, lembaga dan aparat penegak hukum serta sanksi hukum memang penting artinya, tetapi bukanlah merupakan faktor yang paling menentukan adanya hukum. Eksistensi suatu hukum sebenarnya lebih ditentukan oleh sikap dan pandangan serta kesadaran hukum dan masyarakat. Apabila masyarakat merasakan, menerima, dan menaati suatu kaidah hukum disebabkan karena memang sesuai dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan dan masyarakat, terlepas ada atau tidaknya lembaga ataupun aparat penegak hukum, maka kaidah itu sudah dapat dipandang sebagai kaidah hukum. Meskipun tidak ada lembaga ataupun aparat yang membuat, melaksanakan, maupun memaksakannya, tetapi jika kaidah itu diterima dan ditaati karena sesuai dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan, maka masyarakat akan memandangnya sebagai hukum.

Ada beberapa bukti nyata eksistensi Hukum Internasional sebagai hukum yang ada/ sebenarnya yaitu semakin berkembang pesatnya Hukum Internasional di bidang Hak Asasi Manusia (HAM), misalnya terdapat:
  1. The Universal Declaration of Human Right;
  2. International Convenant on Economics;
  3. Social and Cultural Rights (ICESCR);
  4. The International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR); serta
  5. Convention of Elimination and Descrimination Against Women (CEDAW).
Kesemuanya adalah produk Hukum Internasional yang mana mewajibkan semua negara mematuhinya, bahkan konvenan tersebut memerintahkan negara-negara untuk mengadopsi isi konvenan dan mengaturnya dalam hukum nasional masing-masing negara.[4]

Beberapa bukti nyata lain akan eksistensi hukum internasional adalah ketika terjadi perundingan internasional, negara dalam hubungannya dengan negara lain tetap tunduk pada prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum perjanjian internasional (the law of trieties), demikian pula jika berhasil disepakati, maka mereka pun tunduk dan menaati isi perjanjian sebagai kaidah hukum internasional. Bahkan negara-negara yang sedang berperang pun menaati prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum perang internasional (hukum humaniter).

Adanya lembaga-lembaga penyelesaian hukum seperti arbitrase dan berbagai pengadilan internasional yang senantiasa menggunakan argumentasi-argumentasi hukum dalam penyelesaikan sengketa yang ditanganinya. Dalam praktik Hukum Internasional dapat diterima dan diadaptasi ke dalam hukum nasional negara-negara. Tidak ada satu negara pun dalam membuat hukum nasionalnya tanpa melihat kaidah Hukum Internasional yang ada. Sebagai contoh dapat dikemukakan mengapa Indonesia hanya menetapkan batas laut teritorialnya 12 mil laut saja? Bukankan bila ditetapkan sampai 200 atau mungkin 500 mil maka wilayah Indonesia akan menjadi lebih luas? Indonesia tidak dapat menetapkan demikian karena hukum internasional yang ada menentukan bahwa lebar laut teritorial hanya 12 mil. Bila Indonesia membuat lebih dari itu tidak akan diakui dan akan diprotes oleh masyarakat internasional.

Sebenarnya menurut penulis, bagi masyarakat awam sesungguhnya tidak meragukan eksistensi hukum internasional, melainkan yang menjadi pokok dan utama adalah di mana penegakan Hukum Internasional itu? Mengapa Hukum Internasional tidak dapat menyelesaikan perang atau invasi suatu negara terhadap negara lain yang berdaulat? Atau yang paling hangat bagi bangsa Indonesia, mengapa konflik sengketa Blok Ambalat tidak dapat menemui titik terang hingga kini? Dan masih banyak kasus lainnya.

Sebagai contoh, tindakan yang diambil oleh Amerika Serikat terhadap Irak. Dalam teori jelas bahwa tidakan tersebut melanggar prinsip dalam Hukum Internasional yakni kedaulatan negara. Bukankah kedaulatan negara adalah jaminan suatu negara tersebut merdeka sekaligus merupakan fungsi dari negara yang berati negara tidak dapat menjalankan dan melaksanakan yurisdiksinya keluar dari wilayahnya yang dapat mengganggu kedaulatan negara lain. Dengan demikian, dalam kajian hukum internasional tersebut apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat tentu saja tidak dapat dibenarkan.

Perumusan yang dilakukan oleh American Institute of International Law yang berhasil merumuskan Declaration of the Rights and Duties of Nations, yang disusul dengan sebuah kajian yang berjudul Fundamental Rights and Duties of American Republics dan dirampungkannya Konvensi Montevideo 1933 tentang Hak dan kewajiban Negara yang disusun oleh Komisi Hukum Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa sedikit banyak telah melahirkan beberapa prinsip mengenai hak dan kewajiban negara.

Hal itu antara lain tercermin dalam beberapa Hak Negara, yaitu:
  1. Hak atas kemerdekaan, serta
  2. Hak untuk melaksanakan Jurisdiksi terhadap wilayah, orang dan benda yang berada di dalam wilayahnya.
Di samping itu, kewajiban negara yang dimaksudkan salah satu yang terpenting adalah kewajiban untuk tidak melakukan intervensi terhadap masalah-masalah yang terjadi di negara lain. Melihat kasus penyerangan Amerika Serikat terhadap Irak, maka dapat dinilai bahwa tindakan tersebut telah melanggar kaidah hukum internasional, terlebih ternyata sampai saat ini tidak ada bukti konkret yang dapat disampaikan kepada masyarakat internasional oleh Amerika Serikat mengenai keberadaan senjata pemusnah massal milik Irak.

Lebih lanjut, penolakan hukum internasional sebagai hukum yang sebenarnya selain didasarkan pada pandangan John Austin juga didasarkan pada ketiadaan sanksi. Namun demikian, sekali lagi bahwa sanksi sangat luas cakupannya, dan tidak sebatas hukum pidana. Sanksi sangat kerap dilihat sebagai hukuman pencabutan kebebasan (hukuman penjara), dan hukuman penghilangan nyawa. Mereka mengabaikan adanya berbagai macam dan bentuk sanksi yang dapat dijatuhkan oleh masyarakat internasional jika terjadi pelanggaran hukum internasional. Sanksi tersebut dapat berwujud tuntutan permintaan maaf (satisfaction), ganti rugi (compensation/pecuniary), serta pemulihan keadaan pada kondisi semula (repartition). Disamping itu ada pula sanksi yang wujudnya kekerasan seperti pemutusan hubungan diplomatik, embargo, pembalasan, sampai ke perang.

Keberadaan sanksi dalam hukum internasional juga ditegaskan oleh Hans Kelsen dalam karyanya “Principles of International Law”. Menurutnya, hukum internasional adalah hukum yang sebenarnya (the true law) karena hukum ini memberikan sanksi, seperti penggunaan pembalasan (reprisal), perang dan penggunaan sanksi-sanksi ini sah sebagai tindakan pembalasan (counter-measures) terhadap kesalahan menurut hukum (legal wrong).[5]

Contoh, ketika Irak menginvasi Kuwait 1990-1991 Hukum Internasional sangatlah keras terhadapnya. Masyarakat internasional menyatakan bahwa tindakan tersebut unlawful bukan immoral atau unacceptible. Berbagai sanksi dijatuhkan pada Irak, bahkan penjatuhan sanksi itu justru yang melanggar Hukum Internasional karena tidak ada kejelasan sampai kapan sanksi akan berlangsung. Lebih dari itu sanksi sangat mencampuri urusan dalam negeri Irak dan mencabut hak-hak Irak untuk mengembangkan diri. Demikian halnya dengan Iran, meskipun belum ada bukti bahwa Iran mengembangkan senjata pemusnah masal dan menurut Iran apa yang dilakukkannya hanya untuk tujuan damai dan pengembangan ilmu pengetahuan, akan tetapi berbagai macam sanksi sudah diterapkan tehadap Iran.[6]

Mayoritas negara mematuhi hukum internasional. Jumlah pelanggaran yang terjadi jauh lebih sedikit dibandingkan dengan ketaatan yang terjadi. Ketaatan yang terjadi tidak pernah dipublikasikan sehingga membentuk opini bahwa hukum internasional yang ada hanyalah pelanggaran-pelanggaran tanpa sanksi hukum.

Kondisi Hukum Internasional termasuk penegakannya sangat kental dengan pengaruh politik dunia yang sangat kuat. Ketika Amerika Serikat melakukan pelanggaran atas Hukum Internasional, maka negara mana yang akan mengucilkan atau mengembargonya mengingat Amerika Serikat adalah negara besar yang hampir menguasai seluruh sendi politik dan ekonomi dunia. Lagi pula, tidak adanya lembaga supra-nasional semakin menguatkan politik dunia saat ini. Dan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) hanya dihuni oleh lima negara besar yang salah satunya adalah Amerika Serikat.

Apa yang dipublikasikan oleh berbagai media masa tidaklah mewakili keseluruhan. Hukum internasionl bukan hanya masalah Amerika Serikat, Irak, Israel, dan Palestina saja, dimana Amerika serta Israel senantiasa melanggar Hukum Internasional tanpa sanksi apapun. Hukum internasional sangatlah luas. Adanya pelanggaran tidak dapat digunakan untuk menarik kesimpulan bahwa Hukum Internasional tidak ada. Demikian halnya, tidak adanya sanksi sampai saat ini untuk Amerika dan Israel juga tidak dapat dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa Hukum Internasional bukanlah hukum.

Footnotes

[1] Pengertian ini dikemukakan oleh Mochtar Kusumatmadja dalam: Alma Manuputy, dkk, Hukum Internasional, Makassar: Pusat Penerbitan Fakultas Hukum Unhas, 2008: hlm. 7.
[2] Mahendra Putri Kurnia, Hukum Internasional (Kajian Ontologis), Kalimantan Timur: Universitas Mulawarman, 2008, hlm. 82.
[3] Ibid.
[4] Ibid., hlm. 83.
[5] Sefriani, Ketaatan Masyarakat Internasional Terhadap Hukum Internasional dalam Perspektif Filsafat Hukum, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2011.
[6] Ibid.

Kamis, 06 Desember 2012

Aliran Pemikiran Hukum: Freirechtlehre (Hukum Bebas)

Freirechtslehre atau aliran hukum bebas adalah penentang keras Positivisme Hukum. Dalam penentangan terhadap positivisme hukum, freirechtslehre sejalan dengan kaum Realis Amerika Serikat. Hanya saja jika aliran Realisme menitikberatkan pada penganalisaan hukum sebagai kenyataan dalam masyarakat, maka freirechtslehre tidak berhenti sampai di situ.

Sudikno Mertokusumo
Menurut Sudikno Mertokusumo[1], penemuan hukum bebas bukanlah peradilan yang tidak terikat pada undang-undang. Hanya saja, undang-undang bukan merupakan pernanan utama, tetapi sebagai alat bantu untuk memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum, dan yang tidak perlu harus sama dengan penyelesaian undang-undang. Aliran hukum bebas berpendapat bahwa hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, melainkan menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa yang konkret, sehingga persitiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim.[2]

Referensi


[1] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Edisi Ke-3, Yogyakarta: Liberty, 1991, hlm. 158.
[2] Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995, hlm. 149.

Selasa, 04 Desember 2012

Aliran Pemikiran Hukum: Realis

A. Realisme Hukum 
Aliran realis di bidang hukum tumbuh dari aliran realis dalam pemikiran filsafat umum. Aliran realis berkembang dari ajaran James dan Dewey. James dikenal sebagai pencetus teori pragmatis, suatu filsafat positif yang menolak “sistem tertutup dan berlaku absolut dan asli” dan beralih pada pandangan tentang “fakta-fakta, tindakan, dan kekuasaan (powers)”. Ini mengandung arti bahwa dimungkinkannya untuk melawan hal-hal yang sifatnya dogmatik, artifisial, dan menganggap ada kebenaran mutlak. Sedangkan, esensi ajaran Dewey adalah memandang pentingnya studi empiris yang didasarkan pada penyelidikan probabilitas/kemungkinan.

Dari kedua ide pakar realisme tersebut di atas, menimbulkan pemikiran realis khusus di bidang hukum, yang pada dasarnya dapat dibedakan antara realisme Amerika Serikat dan realisme Skandinavia. Para yuris yang beraliran realis pada umumnya berpendapat bahwa hukum yang sesungguhnya dibangun dari suatu studi tentang hukum dalam pelaksanaannya (the law in action). Bagi penganut realisme yuridis, “law is as law does”.[1]

Karakteristik dari pendekatan yang digunakan oleh kaum realis yuridis terhadap masalah-masalah hukum, adalah:[2]
  1. Suatu investigasi ke dalam unsur-unsur khas yang terdapat dalam kasus-kasus hukum;
  2. Suatu kesadaran tentang faktor-faktor irasional dan tidak logis di dalam proses lahirnya putusan pengadilan;
  3. Suatu penilaian terhadap aturan-aturan hukum melalui evaluasi terhadap konsekuensi penerapan aturan hukum itu;
  4. Memperlihatkan hukum dalam kaitannya dengan faktor politik, ekonomi, dan lain-lain.

B. Realisme Amerika Serikat
Oliver Wendell Holmes
Sebagaimana dikatakan oleh Oliver Wendell Holmes Jr., dugaan-dugaan tentang apa yang diputuskan oleh pengadilan itulah yang disebut dengan hukum. Pendapat Holmes ini menggambarkan secara tepat pandangan realis Amerika yang pragmatis.

Pendekatan pragmatis tidak percaya pada bekerjanya hukum menurut ketentuan-ketentuan hukum di atas kertas. Hukum bekerja mengikuti persitiwa-peristiwa konkret yang muncul. Oleh karena itu, dalil-dalil hukum yang universal harus diganti dengan logika yang fleksibel dan eksperimental sifatnya. Hukum pun tidak mungkin bekerja menurut disiplinnya sendiri. Perlu ada pendekatan interdisipliner dengan memanfaatkan ilmu-ilmu seperti ekonomi, sosilogi, kriminologi, dan psikologi. Dengan penyelidikan terhadap faktor sosial berdasarkan pendekatan tersebut dapat disinkronkan antara apa yang dikehendaki hukum dan fakta –fakta (realita) kehidupan sosial. Semua itu diarahkan agar hukum dapat bekerja secara lebih efektif.[3]

Sumber hukum utama aliran ini adalah putusan hakim, sebagaimana diungkapkan oleh John Chipman Gray: “All the law is judge made law”, semua yang dimaksudkan dengan hukum adalah putusan hakim. Hakim lebih sebagai penemu hukum dari pada pembuat hukum yang mengandalkan peraturan perundang-undangan.[4]

C. Realisme Skandinavia
Aliran Realisme Skandinavia bersama-sama dengan Aliran Realisme Amerika Serikat merupakan suatu penolakan umum terhadap “das sollen” (“the ought”) dalam studi hukum dan juga menolak spekulasi metafisik dalam penyelidikan kenyataan-kenyataan dari sistem hukum. Akan tetapi, berbeda dengan Realisme Amerika Serikat, maka Realisme Skandinavia lebih menitikberatkan perhatiannya pada aspek-aspek perilaku hakim dari pada pertanyaan-pertanyaan tentang hukum yang tumbuh dari perhatian pada sifat hak-hak dan kewajiban-kewajiban subjek subjek hukum.[5]

Filsafat dasar dari Realisme Skandinavia adalah suatu penolakan dari konsep “kejiwaan”; fenomena mental, demikian mereka sebutkan yang tidak lebih dari pada reaksi-reaksi otak. Mereka mengistilahkannya dengan “ideas” yaitu hanya rasionalisasi tentang eksistensi objektif belaka; berekspresi verbal belaka tentang reaksi-reaksi terhadap kenyataan-kenyataan eksternal dan lingkungannya.[6]

Referensi

[1] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum (Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hlm 124.
[2] Ibid. hlm. 125.
[3] Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995, hlm. 136.
[4] Ibid,
[5] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat...., Op.Cit., hlm. 129.
[6] Ibid.