Jumat, 30 November 2012

Aliran Pemikiran Hukum: Sosiologis

Aliran sosiologis memandang hukum sebagai “kenyataan sosial”, bukan sebagai kaidah. Oleh karena itu, jika dibandingkan dengan postivisme mengenai persamaan dan perbedaan kedua aliran tersebut, dapat dilihat sebagai berikut:[1]
  1. Positivisme memandang hukum tidak lain adalah kaidah-kaidah yang tercantum dalam perundang-undanganm sedangkan sosiologisme memandang hukum sebagai kenyataan sosial dengan mempelajari tentang bagaimana dan mengapa dari tingkah laku sosial yang berhubungan hukum dan pranata-pranata hukum.
  2. Kaum positivis melihat “law in books”, sedangkan kaum sosiologis memandang “law in action”.
  3. Positivisme memandang hukum sebagai sesuatu yang otonom dan mandiri, sedangkan sosiologisme hukum memandang hukum bukan sesuatu yang yang otonom melainkan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor non-hukum yang ada dalam masyarakat, seperti faktor ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
  4. Positivisme hanya mempersoalkan hukum sebagai das sollen, sedangkan sosiologisme memandang hukum sebagai das sein.
  5. Positivisme cenderung berpandangan yuridis-dogmatik, sedangkan sosiologisme hukum berpadangan empiris. Mereka ingin melakukan pemahaman secara sosiologis terhadap fenomena hukum. Jadi, interpretative under standing of social conduct (suatu usaha untuk memahami objeknya dari segi tingkah laku sosial).
  6. Metode yang digunakan kaum positivis adalah preskriptif yaitu menerima hukum positif dan penerapannya, sedangkan metode yang digunakan oleh penganut sosiologisme hukum adalah deskriptif.
Metode deskriptif oleh kaum sosiologis mengkaji hukum dengan menggunakan teknik-teknik; survei lapangan; observasi perbandingan; analisis statistik, dan eksperimen.

Para penganut aliran sosiologis di bidang ilmu hukum dapat dibedakan antara yang menggunakan sociology of law sebagai kajiannya dan yang menggunakan sociological jurisprudence sebagai kajiannya.

Sociology of law lahir dan berkembang di Italia dan pertama kali diperkenalkan oleh Anzilotti, sehingga berkonotasi Eropa Daratan. Sedangkan, sociological jurispredence lahir dan berkembang di Amerika Serikat, sehingga berkonotasi Anglo Saxon. Sociology of law merupakan sosiologi tentang hukum, karena itu ia merupakan cabang sosiologi. Di sisi lain, socilogical jurispredence adalah ilmu hukum sosiologi karena itu merupakan cabang ilmu hukum.[2]

Referensi


[1] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum (Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat), Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hlm. 118-119.
[2] Ibid., hlm. 119.

Kamis, 29 November 2012

Aliran Pemikiran Hukum: Antropologis

Antropologi merupakan kajian atau ilmu yang terpisah dari hukum. Secara harfiah, antropologi berarti “the study of man” (studi tentang manusia) yang muncul sekitar abad ke-19. Salah satu objek kajian utama antropologi adalah kultur.

Dalam kacamata antropologi, tempat hukum di dalam kultur masyarakat sangat luas. Hukum meliputi suatu pandangan masyarakat tentang kebutuhannya untuk bertahan (survive), yang mengatur produksi dan distribusi kekayaan dan metodenya untuk melindungi masyarakat terhadap kekacauan internal dan musuh dari luar.

Menurut Prof. T.O. Ihromi, objek kajian antropologis tentang hukum adalah:[1]
a. Hukum bukan barat;
b. Hukum dalam masyarakat yang belum kompleks;
c. Hukum tidak tertulis; dan
d. Hukum rakyat/lokal.

Milanowski melihat bahwa pranata-pranata (institutions) sebagai kelompok yang disatukan di dalam kewajiban-kewajiban umum, yang menggunakan suatu bentuk yang pantas dari aparat dan membutuhkan suatu mekanisme dari pelaksanaan hukum yang di dasarkan pada unsur-unsur yang bersifat timbal balik dan pengaruh yang sistematis dari kewajiban-kewajiban hukum. Milanowski menganut pandangan bahwa hukum dipertahankan dan ditaati berdasarkan tekanan prinsip timbal balik dan prinsip publisitas yang ada dalam struktur masyarakat. Apa yang dimaksudknan oleh Milanoski pada dasarnya bukanlah hukum, melainkan kebiasaan.[2]

Ajaran Paul Bohannan yang paling khas dan terkenal adalah “a double legitimacy”. Ia berpandangan bahwa seluruh kaidah hukum berasal dari kaidah-kaidah non-hukum lain yang sudah ada sebelumnya. Tidak ada kaidah hukum yang langsung lahir sebagai kaidah hukum, tetapi keseluruhannya melalui proses legitimasi kembali (double legitimacy).[3]

Bagi, Bohannan, hukum sebaiknya dipikirkan sebagai seperangkat kewajiban-kewajiban yang mengikat dipandang sebagai hak oleh satu pihak dan diterima sebagai kewajiban oleh pihak lain. Hukum telah dilegitimasi kembali dalam pranata-pranata hukum agar masyarakat dapat terus berfungsi dengan cara teratur berdasarkan aturan-aturan yang dipertahankan melalui cara tersebut.[4]

Referensi

[1] Ihromi, Antropologi dan Hukum, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984, hlm. 29.
[2] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Edisi Kedua), Bogor Selatan: Ghalia Indonesia, 2008, hlm. 211.
[3] Ibid., hlm. 212.
[4] Ibid.,

Aliran Pemikiran Hukum: Sejarah/Historis

Karl Friedrich von Savigny
Inti ajaran historisme atau aliran sejarah adalah bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari jiwa rakyat yang oleh murid Savigny yaitu G. Puchta dinamainya Volkgeist; hukum tumbuh bersama-sama dengan kekuatan dari rakyat, dan pada akhirnya ia mati jika bangsa itu kehilangan kebangsaannya. Ucapan Savigny yang terkenal adalah “des Recht vird nicht gemacht, es ist un wird mes dem Volke”.

Dengan demikian, penganut historisme menolak pandangan bahwa hukum itu dibuat. Bagi mereka, hukum itu ditemukan dalam masyarakat. Mereka jelas sangat mengagumkan masa lampau. Terdapat hubungan organis antara hukum jiwa rakyat. Hukum yang benar-benar hidup hanyalah hukum kebiasaan. Ciri khas adalah ketidakpercayaan pada pembuat undang-undang, serta ketidakpercayaan pada kodifikasi.

Salah satu kritik terhadap ajaran historis ini adalah karena memberikan nilai yang terlalu tinggi terhadap jiwa bangsa sebagai sumber hukum. Padahal “ukuran jiwa bangsa” di dalam suatu masyarakat modern yang kompleks sangatlah abstrak dan sukar didefinisikan. Selain itu, iklim globalisasi sudah semakin menyulitkan bagi kita untuk membuat ukuran jiwa bangsa. 
 
Referensi 

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum (Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hlm. 114-115.

Aliran Pemikiran Hukum: Utilitis

Jeremy Bentham
Aliran utilitis atau utilitarianisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum bergantung pada, apakah hukum tersebut memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Akan tetapi, jika tidak mungkin tercapai, maka diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa).[1]

Menurut Jeremy Bentham, tujuan hukum dan wujud keadilan adalah untuk mewujudkan "the greatest happiness of the greatest number" (mewujudkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya orang. Lebih lanjut, menurut Rudolf van Jhering, tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Kepentingan-kepentingan yang dimaksud sebagai pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan, tetapi kepentingan individu dijadikan sebagai bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain. [2]

Selain kedua tokoh tersebut di atas, John Stuart Mill juga mengemukakan “actions are right in proportion as they tend to promote man’s happiness, and worng as they tend to promote the reserve of happiness”. Yang dapat diartikan bahwa tindakan-tindakan hendaknya ditujukan terhadap pencapaian kebahagiaan dan keliru jika ia menghasilkan sesuatu yang merupakan kebalikan dari kebahagiaan.[3]

Referensi


[1] Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995, hlm. 117.
[2] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Edisi Kedua), Bogor Selatan: Ghalia Indonesia, 2008, hlm.204.
[3] Ibid., hlm. 207.

Rabu, 28 November 2012

Aliran Pemikiran Hukum: Positivisme


Aliran hukum positif lahir sebagai sebuah antitesa dari teori hukum alam. Aliran hukum positif memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, das Sein dan das Sollen). Dalam kacamata positivis, tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law is a command of the lawgivers). Bahkan bagian dari Aliran Hukum Positif yang dikenal dengan nama Legisme, berpendapat lebih tegas bahwa hukum itu identik dengan undang-undang.[1]

Positivisme hukum dapat dibedakan dalam dua corak, yaitu 1) Aliran hukum positif analitis (Analytical jurisprudence) yang dipelopori oleh John Austin dan 2) Aliran hukum murni (Reine Rechtslehre) yang dipelopori oleh Hans Kelsen.

1. Aliran Hukum Positif Analitis: John Austin (1790-1859)[2]

John Austin
Hukum adalah perintah dari penguasa negara. Hakikat hukum terletak pada unsur “perintah”. Pihak superior menentukan apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Kekuasaan dari superioritas memaksa orang lain untuk taat. Ia memberlakukan hukum dengan cara menakut-nakuti dan mengarahkan tingkah laku orang lain ke arah yang diinginkannya. Hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil atau sebaliknya.

Austin pertama-tama membedakan hukum dalam dua jenis yaitu hukum dari Tuhan untuk manusia (the divine laws) dan hukum yang dibuat oleh manusia. Mengenai hukum yang dibuat oleh manusia kemudian dapat dibedakan lagi ke dalam hukum yang sebenarnya dan hukum yang tidak sebenarnya. Hukum dalam arti yang sebenarnya ini disebut juga dengan hukum positif meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum hukum yang disusun oleh manusia secara individu untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur yaitu:

a. Perintah (command);
b. Sanksi (sanction);
c. Kewajiban (duty); dan
d. Kedaulatan (soveregnity).

2. Aliran Hukum Murni: Hans Kelsen (1881-1973)

Hans Kelsen
Menurut Hans Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang non-yuridis, seperti unsursosiologis, politis, historis, bahkan etis. Pemikiran inilah yang dikenal dengan Teori Hukum Murni (Reine Rechtlehre) dari Hans Kelsen. Jadi hukum adalah suatu Sollenskategorie (kategori keharusan/ideal), bukan Seinskategorie (kategori faktual). Hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah “bagaimana hukum itu seharusnya” (what the law ought to be), tetapi “apa hukumnya” (what the law is). Dengan demikian, walaupun hukum itu Sollenskategorie, yang dipakai adalah hukum positif (Ius Constitutum), bukan yang dicita-citakan (Ius Constituendum). [3]

Menurut Friedman, esensi ajaran Hans Kelsen adalah sebagai berikut:[4]
  • Tujuan teori hukum seperti halnya ilmu adalah untuk mengurangi kekalutan serta meningkatkan kesatuan;
  • Teori hukum adalah ilmu, dan bukan kehendak. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, dan bukan tentang hukum yang seharusnya ada;
  • Ilmu hukum adalah normatif dan bukan ilmu alam;
  • Teori hukum sebagai suatu teori tentang norma-norma, tidaklah berurusan dengan persoalan efektivitas norma-norma hukum;
  • Suatu teori tentang hukum sifatnya formal, merupakan suatu teori tentang cara pengaturan dan isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik; serta
  • Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah sama halnya dengan hubungan antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.
Referensi

[1] Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995, hlm. 113-114.
[2] Ibid, hlm. 114-115.
[3] Ibid, hlm, 115.
[4] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum (Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hlm. 112.

Aliran Pemikiran Hukum: Studi Hukum Kritis

Menurut Dragan Milanovic, gerakan studi hukum kritis (critical legal study) adalah teori hukum yang terletak antara teori hukum sociological jurisprudence dan teori hukum legal realism. Gerakan ini sejak tahun 1977 yang melakukan kritik terhadap institusi formal hukum dan pertanyaan kritisnya adalah “apakah betul aparat penegak hukum itu netral?”. Menurut Howard Davies dan David Holdcroft, gerakan studi hukum kritis adalah spesies dari skeptisme radikal (radical scepticism).[1]

Selain itu, menurut Ian McLeod, gerakan studi hukum kritis merupakan aspek dari gerakan intelektual yang disebut “post-modernisme”. Gerakan ini berpendapat bahwa sistem hukum dan penegak hukum merupakan produk dari lingkungan sosial (products of the social environment) yang menghasilkan hukum tersebut. Konsekuensinya adalah objektivitas itu tidak mungkin (objectivity is impossible).[2]

Kaum post-modern bila membahas tentang masyarakat dan peranan hukum dalam masyarakat biasanya mengkritisi terhadap formaslisme, essensialisme, statisme. Utopianisme, dan bahkan demokrasi. Teori kritis, baik yang estetik maupun etik berusaha menyumbangkan ide-ide fundamental tentang kebenaran baik yang ditemukan dalam konsepsi-konsepsi transendental tentang kebenaran maupun terhadap penerimaan terhadap tempat/posisi diri di tengah suatu analisis. Adapun pokok bahasan post-modern berkaitan dengan analisa tentang:[3]

1. Individu sebagai agen moral;
2. Orang sebagai penyandang hak dan kewajiban; dan
3. Individu sebagai pemain dalam sistem hukum.

Referensi

[1] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum (Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hlm. 130.
[2] Ibid.
[3] Ibid., hlm. 131.

Aliran Pemikiran Hukum: Hukum Alam

Teori hukum alam dapat dikatakan sebagai sebuah paradigma yang paling tua dan sekaligus paling besar pengaruhnya bagi perkembangan ilmu hukum sampai hari ini. Teori-teori hukum yang dikembangkan setelah periode hukum alam sesungguhnya merupakan pengembangan/ penyempurnaan saja dari paradigma hukum alam. Dalam teori hukum alam, hukum dianggap sebagai nilai universal yang selalu hidup di setiap sanubari manusia, masyarakat, maupun negara. Hal ini disebabkan karena hukum niscaya harus tunduk pada batasan-batasan moral yang menjadi guideline bagi hukum itu sendiri.

Bahkan disebutkan bahwa di atas sistem hukum positif negara, ada sebuah sistem hukum yang lebih tinggi (lex divina), bersifat Ketuhanan yang berdasarkan atas akal budi atau hukum alam itu sendiri, sehingga hukum alam lebih superior dibandingkan dengan hukum negara. Hal ini terjadi karena adanya keabsahan dari norma-norma yang bukan makna dari tindakan kemauan manusia; karena itu nilai-nilai yang dibentuk adalah sama sekali tidak sewenang-wenang (arbitraiy), subjektif, atau pun relatif. Hukum alam tampil sebagai suatu hukum yang dari akal budi (reason) manusia dan menyalurkan hasrat penyelidikan tentang tindakan kemauan dari seseorang yang menampilkan diri (bertindak) sebagai legislator moral atau hukum. [1]

Kekuatan utama dari paradigma/aliran ini tidak hanya bertumpu pada nilai moralitas semata, namun juga berorientasi pada pencapaian nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Para pemikir hukum alam berkeyakinan bahwa keadilan merupakan sebuah nilai esensial (essential value) dari hukum, bahkan keduanya sering diidentikkan sebagai sebuah nilai yang tunggal dan menyatu. Hukum memiliki banyak tujuan dalam dirinya, karena hukum tidak hanya berfungsi sebagai sebuah alat untuk menegakkan keadilan (as a tool), namun juga berfungsi sebagai “cermin” rasa keadilan dan kedaulatan rakyat dalam suatu negara. [2]

Keadilan merupakan tujuan utama dari aliran hukum alam. Menurut Plato (427-347 SM) yang juga merupakan murid dari Socrates (399 SM), kekuatan moral adalah unsur dari hakikat hukum, sebab tanpa adanya moralitas, maka hukum akan kehilangan supremasi dan independensinya. Keadilan atau ketidakadilan menurut hukum akan diukur oleh nilai moralitas yang mengacu pada harkat dan martabat manusia. Moral tidak lain merupakan anasir yang memungkinkan hukum memiliki sifat universal dan karena hukum dimengerti sebagai yang menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik, kesejahteraan bersama, dan keadilan sosial.[3]

Lebih lanjut, Aristoteles berpendapat bahwa keadilan haruslah dibagikan oleh negara kepada setiap penduduk/warga negara dan hukum yang baik adalah hukum yang menjaga agar keadilan sampai kepada semua orang tanpa terkecuali dan non-diskriminatif. Secara eksplisit, Aristoteles menyatakan bahwa “keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak”.[4] Plato dan Aristoteles merupakan pelopor dari paradigma hukum alam yang banyak memengaruhi pikiran-pikiran filsuf Romawi Kuno seperti St. Agustinus dan Thomas Aquinas, yang keduanya merupakan tokoh-tokoh pembaruan hukum alam.

St. Agustinus
St. Agustinus menekankan pentingnya keadilan dalam setiap hembusan napas hukum negara. Dia mengatakan bahwa “hukum yang tidak adil sama sekali bukan hukum”. St. Agustinus juga membedakan antara hukum ilahi (jus divinum) dan hukum manusia (jus humana). Apa yang disebut dengan hukum alam adalah hukum ilahi, sedangkan jus humana adalah kebiasaan (customs).[5] 
Thomas Aquinas
Di sisi lain, Thomas Aquinas menyatakan bahwa: “semua hukum buatan manusia dalam penalarannya memiliki kedudukan sebagai yang diturunkan dari hukum alam, jika suatu aspek hukum tidak diturunkan oleh hukum alam, maka hukum tersebut cacat sebagai hukum, hukum tersebut tidak dapat memberikan keadilan dan itu bukanlah hukum.” Thomas Aquinas menggambarkan hukum alam sebagai puncak hierarki hukum abadi, dimaknai suatu pengaturan rasional atas segala sesuatu di mana Tuhan yang menjadi penguasa alam semesta.

Dari penjelasan di atas, dapat terlihat bahwa hukum alam sebenarnya bukan suatu jenis hukum, tetapi penamaan seragam untuk banyak ide yang dikelompokkan menjadi satu nama, yaitu “Hukum Alam”. Esensi dari hukum alam dapat disimpulkan sebagai berikut:[6]
  1. Merupakan ideal-ideal yang menuntut perkembangan hukum dan pelaksanaannya,
  2. Suatu dasar dalam hukum yang bersifat moral, yang menjaga jangan sampai terjadi suatu pemisahan secara total antara “yang ada sekarang” dan “yang seharusnya”,
  3. Suatu metode untuk menemukan hukum yang sempurna,
  4. Isi dari hukum yang sempurna, yang dapat dideduksikan melalui akal, Suatu kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum.

Referensi


[1] B. Arief Sidharta, Hukum dan Logika, Bandung: Alumni, 2000, hlm. 35.
[2] Moh. Mahfud MD, Bahan Kuliah Politik Hukum, Program Pascasarjana UII, hlm. 12.
[3] W. Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktik, Bandung: Remaja Karya, 1986, hlm. 134.
[4] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum..., Op.Cit., hlm. 163.
[5] Rapar, Filsafat Politik Agustinus, Jakarta: Rajawali Pers, 1989, hlm. 7.
[6] Pendapat Dias dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum...., Op.Cit., hlm. 231.

Senin, 19 November 2012

Politik Hukum di Indonesia

Ringkasan Buku:
Judul Buku: Politik Hukum di Indonesia
Karya : Mahfud MD.

Diringkas oleh:
Andi Kurniawati, S.H.

Jika hukum diibaratkan rel dan politik diibaratkan lokomotif, maka sering terlihat lokomotif itu keluar dari rel yang seharusnya (Sri Soemantri Martosoewignjo) 

Perumpaan diatas dapat sedikit menggambarkan mengenai relasi antara politik dan hukum.. Hukum itu sendiri merupakan suatu ilmu yang kompleks sehingga hukum dapat dipelajari dari berbagai sudut pandang termasuk dari sudut pandang politik. Hukum dan politik masing-masing merupakan ilmu yangberdiri sendiri dan mandiri, namun keduanya memiliki keterikatan satu sama lain dimana satu disiplin ilmu tidak memiliki makna apa-apa tanpa melibatkan disiplin hukum yang lain. 


A. Pengertian Politik Hukum 

Seiring dengan perkembangannya, beberapa pakar mencoba untuk mendifinisikan politik hukum itu sendiri diantara lain : 

1. Satjipto Rahardjo 
Politik Hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara – cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat. 

2. Padmo Wahjono disetir oleh Kotam Y. Stefanus
Politik Hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan criteria untuk menghukumkan sesuatu ( menjadikan sesuatu sebagai Hukum ). Kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum dan penerapannya. 

3. L. J. Van Apeldorn 
Politik hukum sebagai politik perundang – undangan .Politik Hukum berarti menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang – undangan . ( pengertian politik hukum terbatas hanya pada hukum tertulis saja. 

4. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto 
Politik Hukum sebagai kegiatan – kegiatan memilih nilai- nilai dan menerapkan nilai – nilai. 

5. Moh. Mahfud MD. 
Politik Hukum ( dikaitkan di Indonesia ) adalah sebagai berikut : 

a) Bahwa definisi atau pengertian hukum juga bervariasi namun dengan meyakini adanya persamaan substansif antara berbagai pengertian yang ada atau tidak sesuai dengan kebutuhan penciptaan hukum yang diperlukan. 

b) Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada, termasuk penegasan Bellefroid dalam bukunya Inleinding Tot de Fechts Weten Schap in Nederland 

Mengutarakan posisi politik hukum dalam pohon ilmu hukum sebagai ilmu. Politik hukum merupakan salah satu cabang atau bagian dari ilmu hukum, menurutnya ilmu hukum terbagi atas : 
-Dogmatika Hukum 
-Sejarah Hukum 
-Perbandingan Hukum 
-Politik Hukum 
-Ilmu Hukum Umum 

Berdasarkan karyanya Mahfud mencoba melihat hukum dari sisi yuridis sosio-politis, yaitu menghadirkan sistem politik sebagai variabel yang mempengaruhi rumusan dan pelaksanaan hukum. Berdasarkan hasil penelitiannya, Mahfud berkesimpulan bahwa suatu proses dan konfigurasi politik rezim tertentu akan sangat signifikan pengaruhnya terhadap suatu produk hukum yang kemudian dilahirkan. Dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis, produk hukumnya berkarakter responsif atau populistik, sedangkan di negara yang berkonfigurasi politiknya otoriter, produk hukumnya berkarakter ortodoks atau konservatif atau elitis. Pernyataan tersebut dapat disajikan da;am gambar sebagai berikut : 

Variabel bebas Variabel Terpengaruh 

konfigurasi politik ---------------> Karakter Produk Hukum 

Demokratis ---------------------> Responsif/Populistik 

Otoriter ------------------------> Konservatif/Ortodoks/Elitis 

B. Sifat Politik Hukum 
Politik hukum bersifat lokal dan partikular yang hanya berlaku dari dan untuk negara tertentu saja. Hal ini disebabkan karena perbedaan latar belakang kesejarahan, pendangan dunia (world-view), sosio-kultural dan political will dari masing-masing pemerintah. Meskipun begitu, politik hukum suatu negara tetap memperhatikan realitas dan politik hukum internasional. Perbedaan politik hukum suatu negara tertentu dengan negara lain inilah yang menimbulkan istilah politik hukum nasional. 

Menurut Bagi Manan , seperti yang dikutip oleh Kotan Y. Stefanus dalam bukunya yang berjudul “ Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan Negara ” bahwa Politik Hukum terdiri dari : 

1. Politik Hukum yang Bersifat Tetap (permanen) 
Berkaitan dengan sikap ilmu hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijaksanaa pembentukan dan penegakan hukum. Bagi bangsa Indonesia, politik hukum tetap antara lain : 

a. Terdapat satu sistem hukum yaitu Sistem hukum nasional 
Setelah 17 Agustus 1945, maka politik huku yang berlaku adalah politik hukum nasional, artinya telah terjadi unifikasi hukum (berlakunya satu sistem hukum diseluruh wilayah Indonesia). Sistem hukum nasional tersebut terdiri dari : 

1) Hukum Islam (yang dimasukkan adalah asas-asasnya) 
2) Hukum Adat (yang dimasukkan adalah asas-asasnya) 
3) Hukum Barat (yang dimasukkan adalah sistematiknya) 
4) Sistem hukum yang dibangun adalah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 : 

a) Tidak ada hukum yang memberi hak istimewa pada warga negara tertentu berdasarkan pada suku, ras, dan agama. Kalaupun ada perbedaan semata-mata didasarkan pada kepentingan nasional dalam rangka kesatuan dan persatuan bangsa. 

b) Pembentukan hukum memperhatikan kemajemukan masyaraka. Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan hukum , sehingga masyarakat harus ikut berpartisipasi dalam pembentukan hukum . Hukum adat dan hukum yang tidak tertulis lainnya diakui sebagai subsistem hukum nasional sepanjang nyata-nyata hidup dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat. 

b. Politik Hukum yang bersifat temporer. 
Dimaksudkan sebagai kebijaksanaan yang ditetapkan dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan . 

C. Politik Hukum Nasonal 
Politik hukum nasional adalah kebijakan dasar penyelenggara negara (Republik Indonesia) dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. 

Karakteristik politik hukum nasional adalah lebijakan atau arah yang akan dituju oleh politik hukum nasional dalam masalah pembangunan hukum nasional. sebagi bentuk dari kristalisasi kehendak-kehendak rakyat. Untuk itu kita perlu untuk menengok kembali rumusan politik hukum nasional yang terdapat dalam GBHN. Pada butir ke-2 TAP MPR No IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara tentang arah kebijakan bidang hukum dikatakan : 

Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadau dengan mengakui menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakasilan gender dan ketidak sesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi. 

Berdasarkan kutipan diatas ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik : 1) sistem hukum naisonal yang dibentuk hendaknya bersifat menyeluruh dan terpadu ; 2) sistem hukum nasional yang dibentuk tetap mengakui dan menghormati eksistensi hukum dan agama adat ;Berdasarkan kutipan diatas ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik : 1) sistem hukum naisonal yang dibentuk hendaknya bersifat menyeluruh dan terpadu ; 2) sistem hukum nasional yang dibentuk tetap mengakui dan menghormati eksistensi hukum dan agama adat ;) melakukan pembaharuan terhadap warisan hukum kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif dan tidak sesuai dengan tujuan reformasi. 

Fakta membuktikan bahwa kendati tidak menyebutkan politik hukum kodifikasi dan unifikasi, pemerintah tetap berupaya melakukan kebijakan tersebut. hanya saja, seiring dengan perkembangan sosial-politik dan kesadaran hukum masyarakat, kebijakan tentang unifikasi hukum mengalami tantangan dari banyak pihak. setelah menerima kritik yang bertubi-tubi dan mengalami puncaknya ketika disahkan pemberlakuan peradilan ISLAM, mahkamah Syar’iyah, di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, (1) Tampaknya ada kecenderungan kuat Indonesia tidak lagi menganut politik hukum unifikasi, tetapi telah beralih ke pluralisme hukum ; 2) berbeda debga politik unifikasi yang cenderung diitinggalkan, politik hukum kodifikasi masi tetap dilakukan. 

D. Politik hukum sebagai Kajian Hukum Tata Negara 
Berdasarkan pengertian Politik Hukum yaitu, kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Dalam definisi ini terdapat penyelenggara negara, dan yang kita ketahui adalah penyelenggara negara adalah pemerintah yang dalam pengertian luas mencakup kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. 

Tujuan negara yang dicita-citakan dapat dilihat dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertivab dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Apa yang terdapat dalam pembukaan itu kemudian dijabarkan lebih rinci pada pasal-pasal UUD 10945 tersebut, dan dioperasionalkan dalam bentuk undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lain yang ada dibawahnya. 

Pemerintahan atau lembaga negara serta cita-cita suatu negara merupakan bagian dari studi hukum tata negara . Artinya hal-hal yang berkaitan dengan politik hukum dalam pengertian teoritis dan praktis (menyangkut makna dan jiwa sebuah tata hukum, dan “teknik hukum” yang menyangkut cara membentuk hukum) kini menjadi kajian dalam disiplin ilmu tersebut. Hal ini sesuai dengan pnegrtian hukum tata negara yang dikemukakan oleh C. Van Vollenhoven dalam sebuah tulisan yang berjudul Thorbecke en het Administratief Reacht (1919) yang mengatakan bahwa hukum tata negara adalah rangkaian peraturan hukum, yang mendirikan badan-badan sebagai alat (organ) suatu negara dengan memberikan wewenang kepada badan-badan itu, dan yang membagi-bagi pekerjaan pemerintah kepada banyak alat negara, baik yang tinggi maupun yang rendah kedudukannya. 

E. Politik Hukum Internasional
Para pemikir aliran kritis-konstruktivis pada dasarnya memahami politik hukum internasional dari dasar struktur kostitusional pembuatan perjanjian internasional, di mana negara dipandang sebagai sebuah entitas yang diakui secara hukum (juridically recognised) dan penciptaa norma-norma mengenai pengakuan dan keadilan prosedural yang digunakan dalam pembuatan perjanjian. Tujuan ideal dari struktur tersebut adalah terciptanya norma-norma pengikat yang bersifat mutual, yang akan membawa negara-negara yang terlibat perjanjian ke dalam keputusan yang didasari atas saling pengertian, tanpa paksaan. 

Pandangan ini lebih lanjut mendorong negara untuk terlibat dalam pergaulan internasional, disertai dengan norma-norma seperti saling pengertian, saling percaya, compliance, dan penghindaran atas bentuk-bentuk kecurangan dan penggunaan paksaan dan kekerasan. Berdasarkan sudut pandang ahli-ahli seperti Habernas dan Wendt, terciptalah suatu kerangka kerja kritis-konstruktivis yang terintegrasi untuk dapat memahami dinamika dalam ptaran negosiasi tentang perubahan iklim. 

Perjanjian internasional merupakan wujud dari politik hukum internasional, dimana politik hukum dijadikan sebuah alat untuk melakukan sebuah perjanjian antara negara ataupun organisasi dunia. Politik hukum merupakan sebuah dasar untuk menentukan arah kebijakan suatu negara. Termasuk dalam membuat suatu perjanjian internasional seperti halnya, Amerika yang menolak untuk menandatangani UNCLOS (United Nation Convention Of The Law On The Sea) dimana perjanjian tersebut merupakan pengakuan atas adanya negara-negara kepulauan termasuk hak-hak yang dimiliki oleh negara kepulauan tersebut. Amerika Serikat memandang bahwa perjanjian tersebut sama sekali tidak memberikan manfaat untuknya sehingga politik yang merupakan alat untuk menentukan arah kebijakannya tidak mengakui adanya UNCLOS tersebut walaupun dalam hal ini Amerika Serikat hanya melakukan pengakuan secara diam-diam. 

Referensi 

Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari. 2004. Dasar-dasar Politik Hukum. Jakarta : Raja Grafindo, Persada 
http:// sulhamidzic.com/politik- hukum-internasional-penjelasan-dari-sudut-pandang-kritis-konstruktivis/ 

Senin, 12 November 2012

Hukum Otonom : Philippe Nonet dan Philip Selznick

Hukum otonom lahir atas sebuah reaksi dari hukum represif dan untuk membatasi kesewenang-wenangan penguasa. Hukum otonom tidak mempermasalahkan dominasi kekuasaan dalam orde yang ada maupun orde yang hendak dicapai. Hukum otonom merupakan model hukum “the rule of law”. 

Konsep the rule of law merupakan reaksi negara atas gagasan-gagasan keterbukaan yang kerap datangnya dari masyarakat luas. Atas nama hukum, desakan-desakan demikian dapat diredam. Di sisi lain, dalam tipe negara hukum otonom, tertib hukum juga diguanakan untuk menjinakkan perilaku represif negara. Jadi, tipe hukum otonom ini ingin menjadi penengah bagi msayarakat dan penguasa agar kedua kekuatan itu tidak saling tumpang tindih atau berbenturan secara destruktif. Untuk itulah, konsep the rule of law mengedepankan penyelesaian masalah melalui prosedur-prosedur tertentu. Keadilan pun pada akhirnya cukup dilihat sebagai keadilan prosedural di mana sesuatu akan dianggap adil sepanjang sesuai dengan prosedur-prosedur yang telah ditetapkan. Selain itu, pada tipe hukum otonom, hukum sudah terpisah dari politik. 

Hukum otonom berorientasi kepada mengawasi kekuasaan represif. Dalam arti ini, hukum otonom merupakan antitesa dari hukum represif dalam cara yang sama seperti “kekuasaan oleh hukum” yaitu hukum hanya sebagai suatu sarana untuk memerintah berhubungan dengan kekuasaan berdasarkan hukum. 

Hukum otonom memfokuskan perhatiannya pada kondisi sosial empiris dari kekuasaan berdasar hukum realitas-realitas institusional dalam mana cita-cita ini dijewantahkan yaitu potensi-potensi khusus institusi-institusi ini untuk memberikan sumbangan kepada kepantasan dalam kehidupan sosial, tetapi juga batasan-batasannya. 

Sifa-sifat yang paling penting dari hukum otonom adalah penekanan kepada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi dan swasta. Selain itu, terdapat pengadilan yang dapay didatangi secara bebas yang tidak dapat dimanipulasi oleh kekuasaan politik dan ekonomi serta bebas daripadanya dan yang memiliki otoritas eksklusif untuk mengadili pelanggar hukum baik oleh para pejabat umum maupun oleh individu-individu swasta. 

Hukum otonom menunjukkan tiga kelemahan khas yang sama sekali membatasi potensial hukum untuk memberi sumbangan kepada keadilan sosial, yaitu sebagai berikut: 
  1. Perhatian yang terlalu besar terhadap aturan-aturan dan kepantasan prosedural mendorong suatu konsep yang sempit tentang peranan hukum. Mematuhi aturan-aturan dengan ketat dilihat sebagai suatu tujuan tersendiri dan hukum menjadi terlepas dari tujuan. Hasilnya adalah legalisme dan formalisme birokrasi; 
  2. Keadilan prosedural dapat menjadi pengganti keadilan substantif; serta 
  3. Penekanan atas kepatuhan terhadap hukum akan melahirkan pandangan tentang hukum sebagai suatu sarana kontrol sosial, ia mengembangkan suatu mentalitas hukum dan tata tertib diantara rakyat dan ia mendorong ahli-ahli hukum untuk mengadopsi suatu sikap yang konservatif. 
Kelemahan-kelemahan ini akan menghambat realisasi kekuasaan secara benar berdasarkan hukum yang dicita-citakan. Namun demikian, hukum otonom mengandung suatu potensi untuk perkembangan lebih lanjut dengan mana kelemahan-kelemahan ini akan dapat diatasi.

Referensi:

Philippe Nonet dan Philip Selznick. 2011. Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, Harper & Law, 1978, Cetakan IV (Terjemahan oleh Raisul Muttaqien). Bandung: Nusa Media.

http://sosiologihukum-comte2.blogspot.com/2011_06_01_archive.html